Segala yang diberikan Tuhan adalah hadiah, sekalipun hal yang memberatkan. Tugasmu hanya perlu menerima, baik atau tidaknya tak bisa dielakkan. ~ Adios
***
Sarapan adalah ritual setiap manusia yang sangat jarang sekali dilewatkan. Pagi ini meja makan yang berukuran besar, lebih tepatnya mampu menampung lebih dari enam orang itu hanya terisi oleh dua orang; diriku sendiri berseragam SMA dengan name-tag yang bertuliskan Kinara Kayshila dan lelaki berusia empat puluh tahunan awal yang duduk di kursi utama, Papah.
Kami sibuk menyantap makanan masing-masing tanpa ada percakapan hangat yang mencerminkan seorang anak dan ayah, yang terdengar hanya sebatas suara dentingan antara sendok dan garpu yang saling bersinggungan, selebihnya mungkin suara detik jam yang berpacu hampir seirama dengan detak jantungku.
Di rumahku sudah menjadi hal lumrah, dua manusia duduk di dalam satu meja yang sama, namun seolah berjauhan bahkan seperti tidak saling mengenal, karena keduanya sama-sama sibuk berkutat dengan pikirannya masing-masing.
“Uang untuk bulan ini sudah saya transfer ke rekening kamu, tinggal dicek saja.”
Gerakan tanganku melambat dan kepalaku sedikit mendongak menatap Papah dengan menunjukkan ekspresi datar, detik berikutnya aku hanya mengangguk singkat sebagai respons, tidak pernah ada ucapan terima kasih untuk uang bulanan yang selalu ia beri tanpa pernah jatuh tempo.
Papah menyimpan alat makannya dan beranjak pergi meninggalkan meja makan usai menyelesaikan kalimatnya. Mataku menatap kepergiannya, dan setelah Papah benar-benar pergi, aku menyambar tas sekolahku yang berada di kursi samping, lalu berjalan menuju kamar yang berada di rumah bagian belakang, lebih tepatnya dekat gudang. Kamarnya cukup luas namun tempatnya saja yang berada terlalu jauh dari pintu utama.
Dengan hati-hati aku membuka pintu supaya tidak menimbulkan suara terlalu keras. Pertama kali pintu terbuka netraku sudah bisa menangkap seorang perempuan yang terbaring lemah di atas kasur berukuran besar dengan mata terpejam.
Meski berat, aku menyeret kakiku dengan paksa untuk mendekat ke arah Bunda, perempuan yang ditakdirkan tidak seberuntung manusia lain. Bunda mengidap penyakit kanker otak sejak tiga tahun lalu, entah apa salah Bunda, hingga Tuhan tega memberinya penyakit itu.
Aku duduk di sebelah Bunda dengan tangan yang menggenggam erat jemarinya. Mataku tidak bisa berpaling dari wajah Bunda yang damai, seketika genangan air menumpuk di pelupuk mataku, sekuat mungkin aku menahan untuk tidak membiarkan genangan itu tumpah.
Kuangkat jemari Bunda untuk dicium, detik itu juga Bunda membuka matanya dan tersenyum menatapku, tangannya yang satu lagi terangkat untuk mengusap pucuk kepalaku dengan lembut.
“Bunda—“ Suaraku tercekat di tenggorokan, seketika kalimat-kalimat yang ingin aku suarakan tiba-tiba meluap begitu saja, bibirku seolah beku, akhirnya aku hanya bisa diam menyaksikan senyuman Bunda yang semakin hari semakin membuatku tak berdaya.
Bunda tersenyum hangat dengan tatapannya yang menabrak mataku. “Kinar, sayang, kamu harus bisa tumbuh dengan baik, supaya Bunda enggak merasa gagal menjadi seorang ibu,” ucap Bunda dengan suara parau yang membuat hatiku sedikit berdenyut nyeri.
Sungguh, air mata yang sedari tadi berusaha kubendung akhirnya menetes juga. Aku kalah. Suara Bunda yang begitu terdengar lemah di telingaku, membuat kekuatanku hilang separuhnya.
Terkadang aku ingin menyalahkan Tuhan atas kondisi Bunda, karena Ia begitu tega membuat Bunda menderita, namun Bunda selalu melarangku untuk berpikir seperti itu, karena bagi Bunda segala yang di berikan Tuhan adalah hadiah, sekalipun hal yang memberatkan.