Adiwira: Lahirnya Kesatria Pelindung Bumi

Jun Prakoso
Chapter #1

Bab 1: Benda Terbang Tak Dikenal

Primus Setiono sudah menjalani profesi sebagai pelatih bela diri di sasananya selama dua tahun. Dia menguasai beberapa jenis bela diri baik pencak silat dari Indonesia maupun seni bela diri dari negara-negara Asia lainnya. Dia mencintai seni bela diri. Berbagai ragam bela diri dia tekuni semenjak sekolah menengah dan saat beberapa tahun menjadi tentara. Untuk bertugas sebagai pasukan khusus, seorang prajurit harus memahami sedikitnya dua seni bela diri, sedangkan Primus menguasai tiga, empat... atau lebih banyak daripada itu. Dia sendiri tidak menghitungnya. Pokoknya banyak aliran dari berbagai ragam bela diri dia kuasai.

Tidak ada masalah dengan kariernya sebagai tentara. Keberanian, kemampuan dan keunggulan keakutannya diakui rekan-rekan dan atasannya. Teman-teman tentaranya mengatakan Primus seperti terlahir untuk menjadi seorang tentara. Tetapi dia sendiri memutuskan untuk berhenti.

Bekerja sebagai tentara sebenarnya sesuai dengan postur badannya yang tinggi besar. Seratus delapan puluh lima sentimeter itu jauh di atas rata-rata orang Indonesia. Badannya sudah secara alami memiliki otot yang kekar, bahkan sebelum dilatih sebagai tentara. Otot data, otot bisep dan trisep, otot abdomen, otot punggung, otot paha, dan otot kaki --- semakin terbentuk dengan tegas ketika dia secara rutin menjalani latihan fisik yang keras dan berlatih angkat beban di fasilitas kebugaran di barak.

Tapi Primus akhirnya memutuskan berhenti, karena ada sesuatu yang ingin dicarinya. Tapi apa itu, dia sendiri tidak tahu.

Petang ini Primus baru saja selesai melatih di sekelompok orang, yang bermacam-macam latar belakang usia. Paling tua pensiunan, sekitar 60-an tahun, sedangkan yang termuda 5 tahun. Motif mereka belajar bela diri bermacam-macam. Ada yang sekadar mengisi hari-hari kosong, ada yang ingin melatih kekuatan fisik dan sungguh-sungguh menguasai seni bela diri. Tapi ada yang sekadar ingin bugar, bersosialisasi atau mengisi waktu luang.

Kebanyakan muridnya di Sasana Garuda Sakti berusia belasan hingga awal dua puluhan tahun, muda-mudi yang semangat mencari jati diri dan ingin diakui. Tapi tidak sedikit yang baru puber dan ingin mencari jodoh. Namun semua itu tidak penting bagi Primus, yang penting mereka berlatih sungguh-sungguh.

Salah satu murid yang menarik perhatian Primus adalah Aldi. Aldi remaja kurus berkaca mata. Pemuda ini selalu terlihat gugup dan canggung, kelihatan tidak percaya diri. Sebenarnya dia tiada bakat untuk melakukan olahraga keras. Gerakan tangan dan kakinya selalu terlihat kikuk saat mengikuti apa yang dicontohkan Primus. Tapi Aldi terlihat penuh tekad dan bersungguh-sungguh, dan Primus sangat menghargai upaya kerasnya. Primus percaya bahwa Aldi bisa naik ke tingkat madya dengan berupaya lebih gigih, meskipun mungkin butuh waktu lebih lama.

"Hari ini kamu lumayan, Al," kata Primus menepuk pundak Aldi untuk menyemangati, mengomentari latihan tarung yang dilakukan Aldi melawan seorang murid lainnya. Tidak sempurna, dan banyak serangan yang menembus pertahanannya, tapi setidaknya Aldi telah berupaya.

"Terima kasih, Suhu," sahut Aldi dengan gugup. Pujian Primus itu menjadi energi yang menghangatkan badannya. Dia senang sekali dipuji Primus yang menurutnya keren, dan dia ingin keren seperti Primus yang dia anggap sebagai abangnya, sebagai idolanya, meskipun dia tidak pernah mengutarakannya.

Beberapa bulan yang lalu Aldi bergabung ke Garuda Sakti supaya menjadi "pria sejati." Tentu saja secara biologis Aldi memang seorang pria, tetapi secara psikologis dia tidak percaya diri karena selalu ditolak banyak wanita lantaran selalu canggung, gugup, dan kikuk.

"Sampai pekan depan," kata Primus berulang-ulang kepada murid-muridnya yang satu per satu meninggalkan sasana.

Lihat selengkapnya