Di hadapan Primus tiba-tiba muncul gambar holografis Bumi yang berada di angkasa luar secara tiga dimensi. Gambarnya begitu nyata, seolah dia benar-benar melayang di luar angkasa, menyaksikan keindahan planet biru yang berputar perlahan.
Bumi ibarat bola biru yang mengambang di ruang angkasa yang luas, dengan permukaan berupa daratan, pegunungan, dan lautan yang menyelubunginya. Awan seputih kapas bercampur abu-abu mengelilingi atmosfer, menutupi sebagian belahan planet
Daratan hijau pepohonan dan pegunungan yang kecokelatan bertebaran di antara samudera biru luas membentang. Cakrawala bagaikan garis tipis yang menceraikan langit biru dari Bumi.
Bumi berkilau memantulkan cahaya matahari, menambah kesan nyata, sehingga Primus seakan dapat merasakan kehangatannya. Pantulan itu membuat Bumi laksana permata yang berkilau di tengah ruang angkasa yang kosong.
Pada belahan Bumi yang terang, cahaya matahari begitu menyilaukan, sedangkan pada sisi yang gelap, kota-kota memancarkan cahaya ibarat lilin-lilin kecil di tengah malam.
"Planet kalian memang indah," kata Akon melalui pesan mental. "Tapi Bumi hanyalah sebutir debu di antara benda-benda angkasa yang tak berhingga di jagat raya. Lihat ini."
Akon membuka telapak tangannya lagi.
Hologram menampilkan citra planet Bumi semakin menjauh dan mengecil. Saat skala gambar hologram berganti menjadi tampilan tata surya, Bumi bagaikan sebutir kelereng kecil. Kemudian ketika skala tata surya berkembang menjadi skala galaksi, Bumi menghilang dari pandangan, tenggelam di antara miliaran bintang yang membentuk spiral galaksi Bima Sakti itu.
Gambar holografis berlanjut, menunjukkan kedudukan Galaksi Bima Sakti di antara jutaan galaksi lainnya di jagat raya yang mahaluas.
"Manusia hanyalah satu spesies di antara banyak makhluk cerdas di jagat raya. Ada berbagai spesies dan entitas kehidupan, baik yang terlihat dalam dimensi kita maupun tidak. Baik yang damai maupun yang ganas," kata Akon secara telepatik ke benak Primus.
Gambar holografis menuju ke sebuah galaksi, kemudian memperbesar sebuah sistem bintang kembar, dan kembali memperbesar sebuah planet yang berwarna kehijauan. Gambar terus memperbesar, menampilkan hewan dan tumbuhan yang asing di dalamnya.
Kemudian hologram menampilkan sebuah kota dengan bangunan-bangunan menjulang tinggi di sana. Bentuknya berbeda dengan pencakar langit di bumi. Gedung dan bangunan di sana memiliki bentuk geometris dan organik, seolah menyatu dengan lingkungan di sekitarnya. Banyak terlihat struktur berbentuk cairan, elips, dan polihedral. Beberapa bangunan bahkan terlihat seperti batu kristal raksasa yang tumbuh dari permukaan tanah. Di sekitar sebuah bangunan yang berbentuk kubah, tampak beberapa spesies yang berjalan tegak dengan dua kaki, tapi kulitnya berwarna hijau dan telinganya caplang.
Akon menjelaskan secara telepatik, "Itu adalah peradaban di planet lain yang pernah kami kunjungi di galaksi. Mereka adalah spesies yang maju dan cinta damai."
Primus terpukau menyaksikan kehidupan asing di planet itu. Sesuatu yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Tiba-tiba gambar holografis menampilkan kedatangan pesawat antariksa berukuran raksasa di luar atmosfer planet itu. Ribuan objek terbang berbentuk bola metalik keluar dari lambungnya, lantas terbang menyebar ke pelosok planet. Mereka kemudian melakukan serangan ke kota-kota sehingga menimbulkan kekacauan dan kepanikan luar biasa di antara penduduk planet itu.
Adegan-adegan bangunan dan prasarana yang dihancurkan, jeritan ketakutan, penduduk yang berlarian mencari perlindungan, serta tangisan yang memilukan, berganti-ganti di hadapan Primus.
“Ya, Tuhan...,” desahnya. Batinnya terguncang, karena dia bisa menyelami kepanikan, ketakutan, dan keputusasaan penghuni planet itu.
Gambar berikutnya adalah bangunan-bangunan yang luluh lantak, dan mayat-mayat penduduk yang bertebaran di mana-mana. Setelah itu, ribuan prajurit bersenjata terbang keluar dari objek-objek berbentuk bola itu dan menembaki penduduk yang masih hidup, meskipun sekarat.
"Itu genosida," kata Primus dengan ngeri. Hati nuraninya tertusuk-tusuk. Sebagai mantan tentara, dia paham etika dan moral dalam perang.
Gambar holografis itu terlihat begitu nyata, sehingga mampu mengaduk-aduk perasaannya: Antara jijik dan marah bercampur menjadi satu.
"Mengapa tidak ada yang menghentikannya?" katanya gusar. Tangannya mengepal, sedangkan otot-ototnya menegang. Nalurinya sebagai tentara membuatnya ingin membela bangsa asing yang tertindas itu, karena jelas, pertempuran itu tidak seimbang.
Akon kemudian membuka telapak tangannya lagi ke arah hologram itu.
Gambar kemudian menampilkan sosok makhluk ganas itu dari dekat. Mereka berbadan seperti kadal, tapi berdiri tegak. Memiliki dua lengan, dua kaki, dan kepala, sebagaimana manusia. Tapi kulitnya bersisik, mata memanjang seperti ular.
"Mereka bangsa Viperax. Mereka predator yang kejam," kata Akon melalui pesan mental. "Mereka berkelana dari sistem bintang satu ke sistem bintang yang lain, mencari planet yang mereka bisa taklukkan untuk dijadikan koloni, atau dikuras kekayaan alamnya.”
Akon melanjutkan, "Bumi memerlukan pelindung tidak saja dari ancaman spesies-spesies ganas semacam ini, tapi juga benda-benda langit yang bergerak mengarah ke lintasan orbit Bumi tanpa terdeteksi perangkat kalian.”
Gambar holografis beralih ke sebuah asteroid berukuran raksasa yang bergerak dengan cepat menuju Bumi. Sebuah objek terbang berbentuk cakram terbalik mencegat dan menembakkan semacam cahaya laser ke arahnya berkali-kali, sehingga asteroid itu menjadi serpihan kecil dan keluar dari jalurnya menuju Bumi.
"Itu pesawat kalian," kata Primus setelah tercenung beberapa saat.