Primus mengenang kembali masa kecilnya. Saat itu dia berusia sekitar 12 tahun tengah bermain di lapangan terbuka dekat rumah bersama Rizal, teman seusianya. Mereka suka bermain bola sepak di sana dan menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah.
Saat mereka berdua bermain bola sepak, tawa riang dan teriakan girang mengisi suasana. Namun, kegembiraan itu tiba-tiba berganti ketegangan saat lima anak yang dua-tiga tahun lebih tua datang mendekat. Seorang di antara mereka merebut bola, dan sengaja menendangkannya keras-keras ke arah Rizal. Bola itu tepat megenai ulu hatinya. Rizal -- yang berbadan kurus dan berjalan pincang karena pernah menderita polio itu -- jatuh ke tanah.
“Aduh!” jeritnya kesakitan.
“Awww, si Pincang tidak bisa berdiri!” ejek seorang di antara mereka.
Mereka tertawa beramai-ramai sambil menirukan gaya Rizal berjalan terseok-seok.
Perasaan Rizal tertusuk-tusuk sampai-sampai air matanya menetes. Dia tidak tahu harus berbuat apa karena tubuhnya memang kecil dan lemah.
“Aduh… anak mami menangis!”
Tak tega menyaksikan perundungan itu, secara naluri Primus maju ke depan Rizal dengan sikap melindungi.
"Sudah, sudah! Jangan ganggu dia!"
Pemimpin geng itu anak yang paling tua di antara mereka, Andi namanya, tertawa dengan sinis.
"Oh, kamu sok jadi pahlawan ya? Berani, lawan aku?" Sambil membusungkan dada, Andi mendekatkan badannya yang besar ke arah Primus untuk menakut-nakutinya agar nyalinya ciut.
Andi mendorongnya sekuat tenaga sehingga Primus hampir terjatuh.
Wajah Primus seketika memerah. Dia lantas balik mendorong Andi kuat-kuat sehingga anak itu terhempas tiga meter dari posisinya.
BRUK!
Andi terjatuh di tanah. Remaja tanggung itu kaget menghadapi dorongan sekeras itu. Dia terguncang merasakan betapa kuat tenaga Primus. Meringis menahan sakit, dia mencoba bangkit.
Teman-temannya tidak menyangka pemimpin mereka dijatuhkan Primus dengan sekali dorongan. Mereka lantas mengeroyok dan memukuli Primus.
Primus memukul dan menendang ke segala arah.
BAK! BUK! BAK! BUK!
Dalam hitungan detik, semua terkapar dalam satu pukulan saja. Memegangi bagian tubuh yang nyeri, mereka pergi dengan berlari karena ngeri.
Rizal terkesima menyaksikan laga Primus.
Primus mengulurkan tangannya ke Rizal untuk membantunya berdiri. “Kamu nggak apa-apa ‘kan?”