Duduk termenung di dalam bus kota, Aldi menatap keluar jendela dengan wajah masam. Sudah sepekan ini Aldi kecewa. Kencan yang diatur aplikasi daring tidak berjalan sesuai harapan, malah berakhir pahit.
Setelah menumpang beberapa belas menit, Aldi tiba di sasana. Kekecewaannya sejenak sedikit terobati saat melihat Sasana Garuda Sakti di hadapannya, tempat yang menjadi pelarian dan sumber semangat baru dalam hidupnya
Dia memasuki ruangan dan menyapa Primus yang menyambutnya.
"Hai Bang Prim," sapa Aldi seraya membuka pintu dengan keriangan yang dia paksakan.
"Hai Al, apa kabar?" sahut Primus menoleh ke wajahnya. Dia menangkap suara parau dari tenggorokan Aldi dengan raut wajah yang agak muram, sehingga terdorong untuk menatapnya tajam beberapa detik lebih lama. Namun Primus tidak bertanya-tanya lagi dan melanjutkan pekerjaannya mempersiapkan matras latihan.
Aldi memasukkan tas ranselnya ke loker dan mulai membantu Primus membereskan sasana tanpa banyak bicara.
Aldi memang dikenal sebagai sosok yang pendiam dan culun. Dia canggung dalam bergaul dan di waktu luang lebih suka membenamkan diri dalam buku-buku astronomi, astrofisika, serta menggemari topik-topik ekstrerestrial, alien dan fenomena UFO, baik di media massa maupun di fim-film.
Namun, kecintaan Aldi pada misteri alam semesta dan konsep-konsep sains yang rumit serta hasratnya mencari pengetahuan baru membuatnya sulit berkomunikasi dengan teman-teman sebaya. Mereka kewalahan mengikuti alur berpikir Aldi sehingga memilih menghindarinya karena menganggap Aldi hidup di dalam dunianya sendiri.
Aldi menyadari bahwa dirinya perlu belajar membaur dan menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang baru. Seusia ataupun tidak. Itulah salah satu alasan dia bergabung dengan Sasana Garuda Sakti, sasana bela diri yang dibentuk Primus. Di samping, itu dia berharap dia bisa berubah menjadi laki-laki sejati untuk menarik perhatian gadis-gadis.
Dia mengetahui sasana itu dari internet dan menelisik secara langsung. Waktu itu dia menyaksikan dari balik kaca bagaimana cara Primus melatih dengan sabar dan empati. Dia terkesan.
Untuk beberapa saat dia mengamati suasana latihan dari balik kaca dengan penuh minat. Namun sekonyong-konyong dia meragukan kemampuan dirinya mengikuti latihan bela diri yang kelihatannya berat secara fisik, sedangkan selama ini, dia lebih akrab dengan dunia buku dan pengetahuan ilmiah.
Mungkin bukan untukku, pikirnya.
Dia baru saja membalikkan badan hendak melangkahkan kaki keluar lingkungan sasana dan membatalkan niatnya bergabung ketika Primus meminta asistennya menggantikan dirinya mengajar, sedangkan dia sendiri kemudian keluar dari ruangan di balik kaca dan menyambut dirinya.
"Halo, ada yang bisa saya bantu, Kang....?" tanya Primus dengan senyum ramah yang menyungging di bibirnya.
"Al-Al... Adi," kata Aldi dengan gugup. Dia tidak menyangka menerima sambutan hangat seperti itu. Tapi dia juga belum pernah menghadapi orang yang jauh berbeda dengan dirinya. Sosok yang tinggi besar dan tegap, gagah, berotot, dan garang, serta percaya diri tapi sangat ramah. Pengalaman buruk yang pernah dia alami sebelumnya, orang dengan postur semacam itu suka merundung yang lebih lemah seperti dirinya.
Tapi orang ini sepertinya tidak seperti itu.
"Saya hanya melihat-lihat. Mmm... mungkin akan bergabung," jawabnya.
"Oh oke. Selamat datang di Sasana Garuda Sakti," kata Primus yang kemudian menyebutkan namanya dan memperkenalkan diri sebagai pemilik sasana ini. Dia mengajak Aldi masuk sasana, memperkenalkan kepada asisten dan para murid, dan menunjukkan alat-alat latihan.
Yang paling berkesan adalah saat Primus meminta agar semua jeda sejenak, dan berdiri serentak memberi salam hormat kepadanya.
Saat itu Aldi merasa seperti tamu istimewa, sehingga hari itu juga dia memutuskan bergabung.