Adiwira: Lahirnya Kesatria Pelindung Bumi

Jun Prakoso
Chapter #9

Bab 9: Pertempuran Perdana

Saat kegelapan meliputi hutan, cahaya bulan yang terpancar remang-remang saja yang terlihat. Hanya terdengar kerikan suara jangkrik yang menembus keheningan malam di tepi hutan itu.

Terdengar sayup-sayup suara mesin bermotor yang semakin jelas. Itulah suara Primus dengan kuda besinya semakin mendekat. Dia menghentikan sepeda motornya di tepi hutan yang sepi itu.

Turun dan membuka helem, Primus merasakan udara malam yang dingin menyentuh wajahnya, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang segar. Kemudian dia memandang sekeliling, memastikan tiada seorang pun di sana.

Dia berjalan ke dalam hutan mengikuti jalan setapak. Dia bisa mendengar bunyi langkahnya pada dedaunan kering di atas tanah. Dia berhenti ketika sampai di tanah yang agak rata dan lapang, tempat berkas sinar bulan terlihat menembus dedaunan pohon dan menciptakan pancaran cahaya di atas rumput.

Primus diam sejenak untuk merasakan energi pada tubuhnya. Kemudian dia memusatkan pikiran dan energinya itu pada satu titik di belakang leher.

"Transformasi," katanya.

Primus merasakan bagian leher belakangnya geli sejenak. Nanochip teknologi alien yang ditanamkan di sana terasa berdenyut-denyut menggelitik menerima sinyal perintah otak yang diperkuat melalui suaranya.

Kemudian sekonyong-sekonyong selubung energi berpendar melingkupi seluruh tubuhnya. Jaket, kaos, dan celana jeans yang dia kenakan berangsur-angsur terurai kepadatannya dan akhirnya menghilang. Lalu perlahan-lahan badannya terliputi oleh bayang-bayang pudar kostum pelindung.

Lama-lama bentuknya semakin padat dan tegas. Kostum itu melekat di seluruh permukaan badannya tanpa membuatnya gerah. Dia bahkan bisa merasakan kulitnya bisa bernapas secara alami, dan merasakan aliran udara di dalamnya dengan nyaman,

Dia diam beberapa saat.

Jika benar aku punya kemampuan terbang, aku akan mencobanya, pikir Primus.

Dia mengambil ancang-ancang, kemudian meloncat ke udara. Namun, tidak seperti yang diharapkannya, badannya jatuh terjerembab, menimbulkan jejak tubuh di permukaan tanah.

KRAK!

Badan Primus yang besar itu mematahkan ranting-ranting.

Primus bangkit. Alih-alih memutuskan lepas landas dengan meloncat, dengan mata terpejam sekarang dia memusatkan pikirannya pada satu titik di bawah pusar. Dia merasakan organ biologis hasil mutasinya itu mulai berdetak. Secara perlahan badannya terangkat, sekitar satu meter di atas tanah.

Primus terus mengkonsentrasikan energi pada organnya itu. Lama-lama tubuhnya mengambang semakin tinggi, semakin tinggi, dan wushh... tiba-tiba badannya terlontar ke udara dengan cepat. Beberapa detik kemudian, dari udara bisa melihat lampu-lampu penerangan pemukiman di sekitar kawasan hutan lindung itu.

Selama terbang, Primus bisa merasakan organ resonator gravitasi yang berada di bawah pusar itu berdenyut-denyut. Organ baru inilah yang memanipulasi gaya tarik gravitasi bumi untuk menjadi sumber tenaga yang mendorongnya terbang dan mempertahankan ketinggian ketika mengambang di udara.

Di ketinggian 10 kilometer dari permukaan tanah, langit malam yang gelap terasa hening. Pemandangan yang terlihat Primus adalah titik-titik cahaya yang bersumber dari kota-kota, jalan yang ditenagai listrik. Cahaya yang berada di kawasan kota lebih mengumpul dan terang, sedangkan di pinggirannya jarang, dan nyaris gelap.

Primus kemudian berusaha mengendalikan kemampuan terbangnya.

Dia akhirnya mengetahui bahwa dengan memfokuskan kekuatan pikirannya di organ terbangnya, gerakan tangan dan kaki dapat mengatur arah maupun kecepatan terbangnya.

Dia mencoba meluncur secepat mungkin, semakin cepat, dan lebih cepat lagi. Primus tidak menghasilkan dentuman suara meskipun bergerak lebih cepat daripada kecepatan suara. Kostumnya mampu memecah dan mengalihkan gelombang suara.

Seperti anak kecil dengan mainan baru, Primus mencoba membuat berapa manuver terbang.

Lihat selengkapnya