“Siapa yang tak mengenal Bung Karno?” sepertinya dari 100%hanya 20% persen saja, selebihnya hampir semua orang dari generasi ke generasi mengenal tokoh tersebut. Kemudian kita ganti pertanyaannya menjadi, “Siapa yang tak mengenal gue?” sepertinya dari seratus persen, hanya 20% saja, selebihnya gak ada yang kenal sama gue dari generasi ke generasi. Yang 20% itu juga isinya keluarga gue sama mantan temen-temen sekolah gue paling, plus ibu-ibu kantin yang suka gue kasbonin jajanannya di sekolah.
Popularitas, hal ini tentulah menjadi dambaan mahluk-mahluk awam kayak gue. Gue pengin banget jadi manusia populer, banyak yang minta foto, minta tanda-tangan, minta follback dan sebagainya dan sebagainya. Namun, saat gue pikir matang-matang, siapa juga yang mau kenal sama gue? Apa keahlian gue? Pelor? Siapa yang mau minta tanda tangan dari orang yang kalo nempel langsung molor?
“Bang, saya nge-fans sama Abang, soalnya Abang itu pelor sejati, saya gak pernah nemuin orang pelor se pelor Abang. Saya juga suka gaya Abang molor, Abang kalo molor matanya melotot, kayak ikan lohan, boleh saya minta tangan Abang?”
Dari sekian banyak orang yang populer, menurut pengamatan gue, mereka tidak serta merta menjadi populer, mereka tidak terlahir sebagai orang populer melainkan kualitas diri merekalah yang membuat mereka populer. Popularitas yang didapatkan oleh orang-orang itu berasal dari perjuangan, karya dan lain-lain. Tidak ada orang populer yang gawenya Cuma molor. Ada proses mengerikan dibalik itu.
Setelah melakukan perenungan, maka gue memutuskan untuk ingin menjadi orang populer. Jalan yang gue pilih untuk mendapatkan popularitas adalah dunia literasi. Gue suka dunia literasi karena bagi gue, di dunia tersebutlah gue bisa bebas menjadi apapun yang gue mau. Di dunia sastra gue bisa memiliki dunia gue sendiri.