Adolescentia

Gondiel
Chapter #3

Emak Ngegas

Manusia punya harapan, tapi hidup punya kenyataan. Apa kiranya yang bisa dilakukan manusia ketika harapannya tidak sesuai dengan kenyataan? Apakah dia harus pasrah dan membuang harapan itu? Atau dia harus mempertahankannya meski harapan tersebut hanya memiliki sedikit kemungkinan untuk terwujud.

Tidak mendapat lampu hijau untuk melanjutkan studi membuat gue patah hati. Hal ini sungguh bikin gue galau. Baru kali ini gue ngerasa galau bukan karena percintaan melainkan karena perahu harapan gue terjebak di antara karang kehidupan. 

Rencana masa depan yang sudah gue susun termuntahkan, semua berantakan oleh respon negatif dari Emak. Respon negatif tersebut akhirnya menetaskan emosi negatif, gue jadi berpikir ke mana-mana. Mulai dari menyalahkan diri gue sendiri, menyalahkan orangtua sampai menyalahkan takdir.

Emosi negatif membuat gue memandang masa depan sebagai sesuatu yang samar. Gue yang sebelumnya menganggap masa depan sebagai sesuatu yang menjanjikan, setelah gue mengetahui fakta bahwa orangtua gue gak setuju dengan gagasan gue untuk melanjutkan studi dengan alasan ekonomi, akhirnya gue pun memandang ‘masa depan’ sebagai monster. Ya, monster yang setiap kali gue masuk ke kamar dan menatap langit-langit, dia akan datang, memberikan visual-visual mengerikan perihal masa depan dan lalu monster itu mencengkram kepala gue sampai kepala gue pusing gak karu-karuan. Gue cukup stres memikirkan hal yang demikian itu.

Emosi negatif ini kian hari kian menjadikan gue pribadi yang berbeda. Gue gak bisa lagi menjadi diri gue sendiri. Gue mulai banyak memakai topeng-topeng kepalsuan, terlebih ketika gue berada di luar rumah bersama teman-teman.

“Gue denger-denger, si Daniel sekarang kerja di indomaret yak?” tanya Ubay ke gue.

“....” gue tidak menanggapi pertanyaan Ubay. Gue sibuk dengan pemikiran gue sendiri.

Lihat selengkapnya