So come on and give me the chance
To prove that I’m the one who can
Walk that mile until the end starts
“One and Only”—Adele
Aku tertegun menatap surel itu. Nama pengirimnya Adonis. Kuaduk-aduk lagi file memoriku, tapi tak kutemukan nama itu. Aku tidak tahu apakah itu nama asli atau bukan. Yang jelas, ia tentu bukan Adonis sastrawan Lebanon yang bernama asli Ali Ahmad Said itu. Juga pasti bukan Adonis sang dewa muda dalam mitologi Yunani. Mendadak aku mengkhayalkan sosok pemuda tampan yang digilai Aphrodite. Aku memang tidak tahu tampangnya seperti apa. Namun, imajinasi konyolku menggambarkannya seperti Nicholas Saputra atau Reza Rahadian. Atau, gabungan keduanya.
Lantas, siapa Adonis ini? Pemuja rahasiaku? Penguntit? Mata-mata? Atau, hanya semacam penyair gila yang krisis eksistensi diri, kemudian mengirim surel berisi puisi secara acak?
Sudah sebulan ini, aku rutin mendapatkan puisi kiriman Adonis tiap akhir pekan. Ini masih hari Rabu, tapi puisinya sudah hinggap di kotak masukku.
Aku memutar otak. Kumundurkan kursiku dan kuputar hingga menghadap ruangan kantor. Aku menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Adakah di antara mereka yang patut kucurigai? Baik hanya iseng atau benar-benar naksir kepadaku? Kutatap teman-teman kantorku yang sibuk dalam cubicle masing-masing. Tak ada gerak-gerik yang mencurigakan. Padahal, surel itu tertanda dikirim baru setengah jam lalu dan aku baru masuk ke ruanganku sekitar seperempat jam yang lalu. Kalau pelakunya salah seorang dari mereka, mereka pasti akan memasang mata. Mengawasiku membuka surel.
Menyadari tak ada yang patut dicurigai, aku kembali ke komputerku. Membaca puisi itu. Selalu ada sensasi yang sama setiap kali aku menerima surel dari pengirim bernama Adonis itu. Debaran halus di dadaku, dan rasa hangat di wajahku yang mungkin telah menyapukan rona merah di kedua pipi dan membuatku merasa seperti remaja lagi.