Tak ada pasangan suami-istri di dunia ini yang berharap pernikahan mereka berakhir dengan perceraian. Tidak juga aku.
Aku menikah dengan Alfa tidak dengan prediksi akan berpisah di tengah jalan. Kami saling mencintai dan yakin akan hidup bahagia bersama selama-lamanya. Dari pernikahan kami, lahir seorang bayi perempuan cantik yang kami beri nama Syakira Alfa Khairani, atau Kira, yang kini berusia lima tahun.
Aku mengenal Alfa sejak kami kuliah. Ia kakak angkatan tiga tahun di atasku. Awalnya, aku jatuh cinta kepada Alfa karena kekagumanku pada dedikasinya menjadi aktivis kampus. Alfa mantan ketua senat, aktivis organisasi pers sekaligus penggiat forum diskusi sastra di kampus, dan memiliki penampilan yang membuat banyak cewek terpikat pesonanya. Ia tampan, supel, ramah, dan cukup romantis.
Pernikahan kami semula berjalan dengan mulus. Alfa suami yang baik dan menyenangkan. Ketika Kira lahir pada tahun kedua pernikahan kami, Alfa pun menunjukkan dirinya sebagai ayah yang baik. Namun, sejak Kira menginjak dua tahun, ia mulai menunjukkan watak aslinya. Alfa sosok yang keras kepala, egois, dan ternyata playboy. Yang terakhir sebenarnya sudah sempat kuendus sebelum pernikahan. Ia pernah ketahuan selingkuh dengan beberapa cewek lain sebelum kami menikah. Waktu itu aku memaafkannya karena ia mengaku sekadar “bermain-main”. Aku sama sekali tidak menyangka ia akan mengulangi permainannya justru ketika kami sudah punya Kira.
Perempuan itu—yang bernama Wanda—pun sempat dimutasi ke bagian lain setelah gosip perselingkuhan itu merebak di kantor mereka. Namun, mereka tak kurang akal. Mereka selalu berusaha kembali mencari jalan untuk kembali bersama. Sebanyak apa pun persediaan maaf perempuan, stok kesabarannya lebih terbatas. Akhirnya, kesabaranku pun habis. Aku menuntut cerai.
“Tolong beri aku kesempatan. Aku akan memperbaiki semuanya,” janjinya waktu itu. “Kita akan mulai lagi dari awal.” Alfa membujukku untuk mengurungkan niat menggugat cerai. Namun, aku sudah lelah. Mediasi tak menemui titik temu, dan aku tetap kukuh pada pendirianku.
“Kondisi rumah tangga kita sudah sangat tidak sehat. Akan makin buruk kalau kita terus memaksakan diri melanjutkannya. Mungkin bukan kami yang kamu butuhkan. Kamu bisa bebas mengejar cintamu setelah kita bercerai.” Aku kukuh pada pendirianku.
Meskipun sakit, aku tak keberatan jika Alfa menikahi Wanda setelah perceraian kami. Namun, entah mengapa, setahun sesudah kami resmi berpisah, ia tidak kunjung menikahi Wanda.
Setelah perceraian, Kira ikut denganku. Dia kutitipkan di Bogor, tinggal bersama mama dan papaku, sementara aku kos di Jakarta dan pulang ke Bogor setiap Jumat sore. Aku benar-benar memulai lembaran hidup baru setelah berpisah dengan Alfa. Rumah kami dijual dan hasilnya dibagi dua—dan semua bagianku masuk deposito sebagai tabungan hari depan Kira. Menjalani hidup sendirian—lima hari dalam seminggu menjadi anak kos yang hanya mengurusi diri sendiri dan menyibukkan diri dengan bekerja—sebenarnya sesuatu yang sering kali terasa menyesakkan, apalagi pada saat-saat sepi. Untunglah, selalu ada Flo, sahabatku—teman sekantor sekaligus satu kos—yang siap menghibur dan mengambilkan tisu tiap kali air mataku bergulir jatuh.
Hal terberat yang harus kuhadapi pada saat-saat pertama bukanlah harus berjauhan dengan Alfa. Dulu, meskipun kami masih seatap, masih terikat pernikahan, jiwa kami telah merentang begitu jauh. Meskipun secara fisik masih dapat saling bersentuhan, jiwa kami terdampar entah di mana. Aku tak dapat menjangkaunya, dan ia tak dapat meraihku—atau mungkin tepatnya tidak ingin. Perceraian hanya menggenapkan jarak yang telah menganga semenjak dulu.
Lebih dari kesedihan dan sakit hati yang kutanggung, hal yang lebih menyesakkan buatku adalah bagaimana menjelaskan kepada Kira, mengapa mama dan papanya tidak tinggal bersama lagi, mengapa aku dan Kira harus pindah ke rumah kakek-neneknya di Bogor, dan harus mencoba berbagai cara untuk menghiburnya setiap kali ia merindukan papanya. Butuh waktu lama untuk mengeringkan air mata, saat aku terpaksa harus terpisah lima hari dalam seminggu dengan Kira. Bagaimanapun, aku harus melanjutkan hidupku. Kira—dengan pemahaman kanak-kanaknya mengerti bahwa ini kondisi yang terbaik dan memungkinkan buat kami.
Aku masih berbaring telentang menatap langit-langit kamar. Telepon pagi tadi dari Alfa terus terngiang di telingaku, dan setiap mengingatnya, aku merasakan kemarahanku menggelegak.
“Lea,” kata Alfa tadi pagi. “Aku ingin mengajak Kira selama seminggu, bulan ini. Apakah boleh?”
Selama setahun perceraian kami, terus terang, aku tidak pernah setuju Alfa membawa Kira. Ia hanya kuizinkan menjenguk di Bogor, di rumah orangtuaku. Aku tidak pernah mengizinkan Alfa membawa Kira keluar dari Bogor. Selama ini Alfa tidak pernah memprotes atau menawar. Kurasa ia sudah cukup kehilangan keberanian untuk melakukannya. Dulu, ia tak menyangka aku bakal bereaksi keras dan ngotot meminta cerai darinya setelah sekian lama hanya terus mencoba paham. Ia sadar telah kehilangan kekuatan dan kekuasaan atas diriku, jadi tidak berani lagi melakukan tawar-menawar denganku, karena jelas-jelas akan kutolak.
Aku terdiam lama sebelum menjawab pertanyaan Alfa.
“Kamu tahu, kan, waktu bertemuku dengan Kira sangat sedikit.” Alfa bicara lagi dengan suara lirih. Aku belum pernah mendengar nada suaranya seperti itu.
“Bulan ini dia ulang tahun,” sahutku akhirnya. Berusaha setenang dan sedingin mungkin.
“Aku tahu. Justru itu. Aku ingin memberinya hadiah khusus dengan berlibur ke Bali.”
Aku nyaris tersedak. “Bali?”
“Iya. Dulu kita pernah berjanji mengajaknya berlibur ke Bali, tapi belum sempat terealisasi karena kesibukan kita. Bulan ini, aku berniat mengajukan cuti untuk bisa mengajaknya ke sana. Pada bulan ulang tahunnya. Sekaligus membayar waktu-waktu kami yang hilang. Kamu tidak keberatan, kan?”
“Aku berencana mengadakan pesta ulang tahun buatnya,” ucapku tanpa menjawab pertanyaannya.
Alfa mendesah. “Aku tahu. Tidak harus tepat pada hari ulang tahunnya. Yang pasti seminggu di bulan ini. Mungkin pada minggu terakhir?”
Aku terdiam lagi.
“Kumohon, Lea. Aku tahu kamu membenciku. Tapi, aku ayah Kira. Aku kangen banget padanya. Aku tahu, Kira juga merasakan hal yang sama. Jadi, maukah kamu bermurah hati membiarkan kami sejenak melepas rindu?”