Adonis

Bentang Pustaka
Chapter #3

Dua

Aku karyawan biasa di sebuah perusahaan garmen. Berawal dari posisi staf di bagian administrasi, aku dipindahkan ke bagian marketing-promosi sebagai content writer yang mengelola situs web perusahaan karena diketahui memiliki latar belakang Sastra Indonesia dan dianggap cakap dalam menulis advertorial. Acap kali aku kecewa dengan gaji yang begitu lambat naiknya, posisi yang bergeming, dan potensi diri yang tak dapat berkembang seperti seharusnya.

Baiklah. Ini memang salahku dari awal. Aku tak memiliki antusiasme sebesar orang-orang dalam hal karier. Waktu itu, aku bekerja hanya sekadar mengisi waktu, karena gaji suami waktu itu sudah lebih dari cukup untuk membuat hidup kami nyaman. Tentu saja, ini juga tidak bisa terlepas dari sulitnya lapangan pekerjaan di bidang yang benar-benar sesuai keinginan.

Tapi, benarkah ada yang kuinginkan?

Terkadang aku bahkan merasa tak punya cita-cita.

Aku bersyukur menolak permintaan Alfa waktu itu, untuk berhenti bekerja dan hanya fokus di rumah mengurus Kira. Kalau itu kuiyakan, aku tak dapat membayangkan bagaimana kehidupanku sekarang.

Dulu, aku sangat ingin bekerja di media. Entah itu media elektronik, penerbitan, atau majalah. Aku kuliah di fakultas sastra, aktif dalam diskusi-diskusi sastra, dan punya minat besar dalam jurnalistik. Namun, semua itu hanya berhenti di bangku kuliah. Begitu lulus dan menikah dengan Alfa yang telah mapan, segala kreativitas itu mandek. Apalagi Alfa pun akhirnya terjun di kancah bisnis yang jauh dari idealisme masa mudanya.

Kini, saat harus mandiri, aku mulai merasa—sangat merasa—bahwa aku telah banyak menyia-nyiakan waktu. Kalau saja waktu itu, aku mengejar karier impianku, barangkali saat ini aku sudah jadi jurnalis, redaktur, atau manajer penerbitan.

Terdengar ketukan di cubicle-ku dan aku terlonjak. Buru-buru kusambar mouse dan menutup windows yang terbuka, tapi terlambat. Tanganku yang gemetar bukannya malah menutup layar yang restore down, malah membuatnya menjadi maximize.

Sial.

Setengah mengentak kuulangi upayaku menutup windows. Dan kali ini berhasil. Terdengar tawa tertahan. Kuseret wajahku, menoleh ke arah sumber suara. Setengah wajah Arum nongol dari sisi cubicle-ku. Matanya berkedip-kedip jenaka.

“Apa itu?” Matanya melirik layar komputerku.

“Bukan apa-apa,” sahutku pura-pura ketus. “Ada apa?”

“Ada ini ….”

Arum menjauhkan wajahnya yang menempel di cubicle. Lalu, perlahan-lahan sesuatu muncul. Buket bunga!

Aku ternganga.

“Apa? Dari siapa?” gagapku.

Arum mengangsurkannya kepadaku. “Resepsionis menitipkannya padaku. Langsung dari florist. Entahlah. Dari pengagummu, pasti.”

“Untukku?” Aku tercengang. Kuterima buket bunga lili putih yang berbau harum itu.

“Lihat saja di kartunya.” Arum menunjuk. “Ya, iyalah, buat siapa lagi. Resepsionis bilang dengan jelas, kok, untuk Bu Kalea.”

Aku menghirup aromanya dalam-dalam. Benakku serasa melayang-layang.

“Ciye ... yang punya penggemar baru,” ledek Arum. “Selamat, ya ….”

Nyaris kusambit dia dengan buket lili itu, tapi aku mengurungkannya karena sayang kalau bunganya rusak. Arum buru-buru menghilang di balik cubicle sambil tertawa-tawa.

Aku menatap bunga itu dan buru-buru membuka kartu mungilnya.

Untuk Kalea.

Bunga ini putih,

seperti hatimu.

Seperti keinginanku,

Lihat selengkapnya