Mereka bilang, karma selalu ikut di belakangmu. Ke mana pun kamu pergi, dia akan selalu hadir di sampingmu. Mungkin karena itu tatapan dan kata-kata mereka terasa tidak asing, meski mungkin ada perbedaan besar di antaranya.
‘Iya, gue paham kalau lo semua pada kepo, tapi harus banget ya melototin orang sampai risih gitu? Setidaknya lihat sekilas kek, pelanin suara lo kek, emang gue tuli apa? Mereka mikir gak sih?’
"Itu anak barunya?"
"... kelas XI A. Lo percaya gak dia bakal...?"
"... gak mungkin! Lo kayak gak tau aja kelas itu kayak gimana."
Kelopak mataku menekan pada bola mataku. Aku mau sekali memutar mataku atau menatap mereka balik, tapi kan aneh kalau aku melakukan itu di tengah-tengah lorong penuh manusia kepo? Pasti mereka lihat, dan tentu mereka akan menceritakan bagian itu juga.
"... Dora?"
Hah? Dora? Yang benar aja.
Aku mendongak, menyambut kebingungan yang tergambar pada mata wali kelasku yang baru.
"Ada apa Bu?"
"Kamu dari sekolah mana?"
"SMA Candra Kartini."
"Oh." Bu Asri mengangguk-angguk mengerti.
Aku hampir yakin dia cuma main angguk-anggukan.
"Nah, kita sudah sampai," ujar Bu Asri, melemparkan senyum yang tipis.
Aku membalasnya dengan senyum selebar yang aku bisa, tapi aku tidak tahu harus memasang ekspresi apa karena aku tidak pernah menyangka akan menemukan adegan seperti ini.
Pertama-tama, di tengah keributan kelas yang dipenuhi sampah kertas berbagai bentuk dan ukuran untuk bermacam-macam tujuan yang aku yakin tidak ada kaitannya dengan pelajaran, ada seorang bocah yang diangkat-angkat oleh tiga orang lain. Dia sendiri keasyikan berlagak seperti raja kelas.
Kedua, dua cowok di barisan paling depan malah membuatku ilfeel dengan ketawa-ketiwi mereka yang kecentilan. Aku hampir melompat di tempat saat mereka melirik aku kayak mereka bisa merasakan tatapanku.
Ketiga, segerombolan cewek malah main jambak-jambak rambut dan saling menampar lengan teman mereka. Aku rasa semua nama binatang sudah keluar dari mulut mereka.
Dunia apa ini?
"HEI!"
Aku kaget. Ternyata guru yang selama ini menemani aku itu tidak seperti penampilan lemah lembutnya. Dia menggertakkan gigi dan bibirnya serong ke kanan atas, menambah extra power pada matanya yang sudah seperti mata harimau yang siap menerkam.
"Rio, turun dari situ. SEKARANG!"
Teman-teman cowok itu menurunkannya perlahan. Kemudian Bu Asri menatap gerombolan anak cewek yang bermain kasar.
"Leila dan preman lainnya, ke depan."
Leila memasang muka malas yang diikuti protes teman-temannya. Meski begitu, mereka tetap menurut. Mata kami sempat berpapasan dan dia tersenyum. Anehnya, aku malah merasa kalau dia senang sekali melihatku aku. Itu hal yang bagus atau tidak? Aku rasa tidak...
"Nak." Suara guru yang di samping membuyarkan semua pikiranku.
Aku memiringkan kepala sambil menanti perintah darinya.
"Silakan."
Aku berdiri di tempat yang dia tunjukkan. Tepat di belakang barisan Pemudi Perkasa termasuk leader mereka yang asyik bersandar di papan sambil senyum-senyum tidak jelas.
Bu Asri menendang kakinya dan melotot dengan geram. Dia dengan santai mengelus bagian yang ditendang dengan kaki lain; dia bahkan tidak memindahkan perhatiannya dari aku–antara itu atau dia sudah biasa.
"Namaku Adora Ayla Levian." Suaraku keluar datar, singkat, dan jelas. "Biasa dipanggil Adora."
"Hai Adora~ balik-balik dong." Tawa riang cewek yang terasa familier meresap ke telingaku.
Aku mendongak ke belakang. Ternyata bener dugaanku kalau yang berbicara adalah pemimpin geng cewek.
"Kalo gue Leila. Gue jamin lo bakal liat gue dapet masalah terus."
Cewek itu tidak gentar ditatapi Bu Asri yang mukanya mulai berubah-ubah dalam berbagai rona amarah yang ada. Dia malah sempat cengar-cengir ke aku seakan-akan kita sudah lama berteman.
Ya... bisa juga sih kalau dia memang sifatnya begitu. Suka SKSD. Cuek. Berani. Suka tantangan.
"Leila, siapa yang suruh kamu bicara?" ujar Bu Asri dengan nada rendah yang penuh ancaman.
Leila mengerjap-ngerjap tidak mengerti–atau tidak berdosa. "Lho, bukannya Leila punya yang dinamakan 'hak yang dianugerahi kepada tiap manusia pada detik dia lahir tanpa terkecuali'? Mm... apalagi namanya itu?"
"HAMburger." Rio tertawa terbahak-bahak, puas dengan lawakan garingnya.
"Pas nih. Gue laper. Beliin, dong!"
"Uang lo mana? Jangan lupa uang bensin sama uang jalan gue," balas Rio, berdiri sambil merogoh-rogoh kantong celananya.
Saat dia sudah memutar-mutar sepasang kunci di jari telunjuknya, dia menghadap ke Bu Asri yang kini menatapnya dengan muka seram.
"Bu, izin ya."
"Tidak, Rio-RIO! RIO, CEPAT KEMBALI KE SINI!"
Aku mulai merasa risih. Aku cuma berdiri kayak patung sambil bersedekap, bertingkah seakan-akan aku tidak sendiri di ruang kelas yang baru buatku, ditinggal oleh penanggung jawabku, dan dipandangi puluhan mata penasaran.
Sebuah tangan menepuk bahuku, menyentakkan aku dari lamunanku seketika. Perasaan tidak enak yang berkumpul di perutku makin terasa sewaktu mataku berpandangan dengan Leila.
Dia menarik kursi guru dan duduk di atasnya, melipat tangan dan satu kaki di atas yang lain, berlagak seperti bos.
"Jadi, sebelum pindah ke sini lo sekolah dimana?" Anak-anak buahnya bergerak ke belakangnya, diam-diam memperhatikanku.
Nadanya cukup santai dan memang sedikit kepo, jadi aku refleks menjawab untuk menekan rasa mualku.
"Candra Kartini."
"Ow... gitu." Dia mengangguk-angguk, bibir bawahnya melipat ke atas.
"Asyik gak di situ?"
Aku terperanjat. Bibirku membeku saat berusaha menjawab pertanyaannya.