"GAK MAU! AKU GAK MAU MAKAN! GAK MAU, GAK MAU! GAK SUKA!"
"Adora, diam!" bentaknya, tapi tidak dihiraukan gadis kecil itu.
Akhirnya dia menyerah dan menjatuhkan sendok itu ke mangkuk sehingga menimbulkan percikan kecil. Wajahnya buram karena air mata yang menutupi mata si gadis kecil.
Setelah beberapa saat, gadis itu mulai merasa kesepian dan menangis lebih keras lagi. Kakinya, meski bergetar dan lemah, berjalan menaiki tangga. Suara langkah kakinya berpadu dengan isakan kecil yang keluar dari mulutnya.
Dia mendengar suara benda-benda berjatuhan dan mamanya berteriak. Dia lalu mendudukkan dirinya di seberang pintu kantor papanya. Air matanya masih menderu karena ditinggal dan dipaksa makan sayur.
Tangisannya berhenti seketika pintu dibanting terbuka dan mamanya keluar dengan wajah merah padam. Dia melihat kaki papanya di ambang pintu kantor, tapi dia tidak mempedulikan hal itu.
Dengan terburu-buru, dia berdiri dan mengejar mamanya yang menuruni tangga dengan cepat. Terlalu cepat.
Saat mamanya sudah lama keluar dari pintu, dia baru tiba. Saat itulah dia melihat mamanya mengendarai mobil hitam favoritnya dan keluar dari pintu gerbang. Dia menjerit-jerit, menyuruh mamanya untuk kembali mengambilnya. Dia tidak suka ditinggal sendiri.
Akhirnya, setelah lama terduduk di teras depan rumah mereka, dia bangkit dengan isak yang tertahan-tahan. Dia kembali ke dapur dan melihat mangkuk berisi sayur yang seharusnya dia makan.
Dengan hati yang berat dia menyuapi dirinya sendiri, berharap mamanya akan kembali dan mengampuninya.
Dia tidak ingin, tapi dia harus. Demi mendapatkan mamanya kembali, itu yang dipikirkannya.
[. . .]
Tapi dia tidak pernah kembali.
Bagaimana caranya mendapatkan seseorang kembali? Bagaimana cara mendapatkan pengampunan? Apakah permintaan maaf benar-benar cukup? Meski pun kesalahan yang diperbuat sungguh besar, apakah kata "maaf" saja cukup?
Kalau itu cukup, mungkin penjahat tidak akan dipenjara. Kalaupun itu cukup, aku tidak sempat meminta maaf.
Apakah semua itu tidak bisa diperbaiki? Diulang? Aku tahu ada beberapa hal yang tidak bisa kita miliki dalam kehidupan kita, tapi kenapa harus mamaku yang pergi? Kenapa bukan harta benda? Kenapa harus dia?
"Lo udah selesai merenung? Masih mau nanya?" Suara riang itu membuyarkan lamunanku.
Bocah Bintang masih berdiri di hadapanku dengan folder laporan di atas bahunya. Dia memiliki senyum miring khas yang gampang tercetak di otak.
"Em..." Aku jadi lupa tadi mau bicara apa. "Gak ada."
"Jadi apa yang dia lakuin ke lo?"
Sekarang aku ingat. Rasa dendamku seperti berfragmentasi tiap kali mengingat efek dari pernyataan Citra.
Mungkin karena dia yang pertama. Yang pertama untuk mengatakan itu secara frontal, yang pertama membuatku marah secara langsung, dan musuh instan pertamaku. Tapi aku lega dia belum menyentuh kotak kedua, karena isinya jauh lebih kelam dari kotak yang sudah dia buka.
Aku hanya melayangkan senyum yang miris. "Dia buat gue marah."
"Semarah itu? Rahasia lo parah banget ya? Bukannya lo harusnya diem-diem kalo gak mau itu terbongkar?" tanyanya balik.
‘Kok semua pada ngira kalo Citra pegang rahasia memalukan gue, ya? Peduli amat. Gue aja gak peduli mau dia bongkar kek, broadcast kek. Tapi bakal ada balasan untuknya yang lebih parah.’
"Gue gak peduli. Dia seharusnya gak bilang apa pun," jawabku.
"Berani amat." Senyumnya mengembang. "Kan bahaya juga buat gue."
Alisku mengerut, "Yang mau gue balas itu Citra, kenapa jadi lo yang takut?"
"Kan bahaya kalo gue jadi suka beneran sama lo."
Ya elah. Wajahku mengeras supaya dia tahu kalau yang seperti itu tidak berdampak padaku. Bisa juga ya, bocah ini.
"Ternyata lo bisa gombal juga. Gue kira robot."
"Iya, gue robot. Kendalinya ada di orang yang megang hati gue..." ujarnya sambil menunjukku sok tersipu-sipu.
"Alay," gumamku.
"Lo juga harus mesra, dong. Tapi," Dia berdeham, mengalihkan pandangannya, "suasana love-hate juga okelah. Garis antara cinta dan benci kan, transparan."
"Tipis kali." Aku memutar bola mataku.
"Nih anak! Nanti gue ngasih lo buku panduannya. Lo baca baik-baik," sahutnya serius, tapi kemudian dia tersenyum geli, "oke Beb?"
"Gak usah manggil-manggil gitu. Jijik gue."
"Mami?"
"Iih! Kan udah gue bilang!" Darahku langsung menyerbu otak, tanganku langsung mengepal.
Matanya melihat perubahan yang terjadi, tapi dia malah mendongak dan menaikkan alis menantang.
"Sayang? Cinta? Pujaan hati? Belahan jiwa? Pasangan hidup? Baby? Babe? Bebeb? Babe? Babi aja kali, ya." Dia sontak ketawa.
‘Gila. Gak bisa banget dia ambil sikap serius. Siapa sih otak udang yang calonin dia jadi ketos?’
Mukaku jadi jutek gara-gara dia. "Udah ah." Aku berbalik tanpa menunggu dia selesai ketawa-ketiwi.
‘Kok bisa ya, Citra suka sama dia? Masa cuma karena faktor wajah doang?’
[. . .]
"Nyamuk, nyamuk!"
"Nila, sejenis ikan!"
"Bego lo! Ikan tuh, ikan!"
"Naga!"
"Itu mah gak ada!"
"Komodo bukannya naga?!"