"Eh, Sinting, ini apa?"
Mukaku merah padam saat aku memperlihatkan buku terkutuk itu pada Chan. Dia malah ketawa sampai berguling-guling di atas kasurnya kayak orang kesurupan.
"Menurut lo apaaa~?" godanya.
"Lo bisa baca gak?"
"Lo sendiri kan juga bisa baca, kok malah nanya gue?" Bibirnya mencibir dan alisnya menurun, membuatnya terlihat seperti orang yang patut dikasihani.
Tapi ekspresi minta dikasihani itu tidak bertahan lama, karena kemudian bibirnya melebar menjadi sebuah senyum sinis bercampur jahil.
"Buat apa lo ngasih gue panduan bego kayak gini?"
"Supaya lo bisa gaet Bintang Kecil, lah. Buat apa lagi, coba?" Kepalan tangannya dengan malas memangku wajahnya, kakinya berayun-ayun di atas tempat tidurnya.
Aku membanting buku itu seketika–ke kasur aku, sih. Karena bukan lantai, adegannya jadi terasa tidak cukup dramatis.
"Buat apa juga gue mau gaet dia?! Emang gue cewek ganjen?!" Nada suaraku naik.
Tangan Chan langsung meregang menopang tubuhnya dalam posisi sit-up.
"GAK, LO BUKAN CEWEK GANJEN! KALO LO GANJEN, MUNGKIN LO MASIH PUNYA KESEMPATAN BUAT GAET COWOK! KARENA KETIDAKBECUSAN LO ITU GUE BELIIN LO BUKU GAK BECUS ITU!"
"Buset! Lo mau bikin gue tuli?!" Aku sontak membisukan suaranya dengan menutup lubang speaker pada HP-ku.
Aku menyaksikan dia mengap-mengap, ketawa tidak jelas sambil tepuk-tepuk tangan kayak anak kecil. Aku harus menunggu selama beberapa detik sebelum dia sadar kalau aku sudah membisukannya.
Mukanya sekarang masam, menyadari perbuatanku. Dia mulai menunjuk-nunjuk ke arahku dan teriak-teriak tidak jelas.
Seulas senyum menyeringai terbentuk di bibirku. Memang aku bengis.
Aku mengangkat jari-jariku setelah puas dengan perbuatanku.
"–sepupu terjahat di seluruh benua–"
"Iya, gue jahat, lo baik," kataku malas.
"Akhirnya!" serunya sambil menengadah ke langit dengan tangan terangkat.
"Lo bilang gitu kayak kita udah seabad gak VC."
"Kita kan banyakan ngirim SMS cinta," Chan mengedip-ngedip matanya, tersenyum bak malaikat dengan dosa tersembunyi.
"Btw, lo dapet ini dari mana?"
"Ehh... ada deh. Gue duluan ya, Beb. Film gue dah mau mulai nih." Dia melirik ke sampingnya sebelum melambaikan tangan. "Bye!"
Aku penasaran. Apa benar dia mau menonton film? Jangan-jangan dia cuma mau ganti topik.
Mataku melayang ke buku itu lagi. Rasa ingin tahu timbul di hatiku. Mungkin ini ya rasanya ingin mencoba buah yang terlarang?
Buku itu membuat aku jadi penasaran juga.
Aku ambil dengan hati-hati buku bersampul ungu pastel itu menggunakan ujung jariku. Setelah aku taruh di pangkuanku, aku baca lagi judulnya.
Flirting for Fools.
...
Flirting apa lagi, ya?
Aku mengambil HP-ku, dengan gesit mengetik kata-kata itu. Tak lama kemudian, jawabannya muncul.
‘Menggoda untuk orang tolol, heh? Emang sih gue gak tau cara menggaet cowok, tapi masa gue harus gaet Bintang sih?’ batinku.
Lagian buku ini sebagus apa...?
[. . .]
"Pfft..."
Dari ujung mataku yang tertutup oleh rambutku, aku bisa melihat Rio dan Leila melirik sekilas ke arahku.
"Neng, tumben membaca di kelas. Padahal lagi free. Buku apaan tuh?" tanya Leila.
Cocok nih.
Susah sih, tapi akhirnya aku bisa juga mengendalikannya.
"Kamu dokter, ya? Plis, tolong aku."
Leila mengangkat sebelah alis, "Hah? Nolongin lo?"
Aku taruh telapak tanganku di dada. "Hati gue mau copot liatin lo," ujarku pelan.
Alis Leila mengernyit dan dia mulai gagal menahan senyumnya yang makin melebar. Aku mengangkat kedua tanganku sebatas kepala dan mengeraskan kepalanku. Rasanya kayak menggenggam kemenangan. Aku bisa mendengar suara tepuk tangan penonton jauh di sana.
Leila mendesah, kepalanya tertunduk dan rambutnya menutupi wajahnya. Lalu dia berdiri tegak dengan tangan di pinggang, mukanya sombong di luar batas wajar.
"Basi. Gak ngefek. Gak ada yang lebih bagus, gitu?" Aku tersenyum menyeringai saat dia melemparkan mukanya ke samping.
"Oke. Rio." Cowok yang aku panggil masih melongo saja kayak tidak tahu apa-apa. "Sini lo."
Dengan muka penuh keraguan, dia berjalan mendekatiku dan berhenti tepat di depan Leila.
Aku berdeham dan mulai mengatur suaraku. "Coba lo gombalin Leila."
"Hah? Ulang?" ucapnya seketika, seakan-akan aku baru saja menyuruhnya untuk mengganti namanya.
"Kayak gini, ehem." Leila menopang dagunya dengan sebelah tangan sambil berpikir.
Lalu, dia menaruh tangannya di lengan Rio dan mendongak dengan wajah halus dan penuh harap. Jago juga nih anak.
"Perasaan gue pernah liat ini di bab tiga," gumamku, membolak-balik halaman buku pintar ini.
"Rio, kamu dari mana saja?" Nada yang keluar dari mulut Leila terdengar seperti musik asing.