"Gila, tadi bagus banget."
"Gue sumpah, banyak banget yang gagal seleksi kalo ngelawan Yuna."
"Bin, lo bakal ngajak dia entar malam, kan?" tanya Yuna.
Lengannya melingkar di leherku layaknya seorang teman dekat. Aku sebenarnya merasa canggung dengan kedekatannya, tapi aku biarkan. Samar-samar dia mirip Leila.
Tapi ada pepatah yang berbunyi: "Jangan biarkan orang asing menyentuhmu." - Adora.
Aku mengangkat punggung tangannya yang tersampir di atas pundakku dengan ujung jariku, lalu aku buang jauh-jauh dari bahuku. Si Yuna cuma melirik sekilas sebelum kembali menatap Bintang.
"Memang itu rencananya," sahut Bintang santai, mengedipkan matanya ke arahku.
Aku tersenyum juga, mengedipkan mataku satu per satu sampai merasa aneh. Tapi Bintang sama Naila yang melihatku tertawa sih, jadi tidak apa-apa.
"Saat seseorang tertawa, pintu hati mereka terbuka dan saat itulah kesempatan emas untuk mendekati mereka muncul." - Flirting for Fools.
Wahahaha... jahat juga aku.
"Itu mata apa lampu mobil?" seru Bintang sebelum terkekeh sekali lagi.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu.
"Hah? Lo mau bawa gue ke mana?" ucapku dengan dahi berkerut.
Bintang hanya membalas dengan senyuman, "Rahasia, dong."
‘Nih cowok dari tadi main rahasia-rahasiaan mulu.’
Saking jengkelnya aku sama dia, aku berjalan lewat sisi kirinya saat dia asyik berbincang dengan Yuna. Lalu, aku mendorong bahu kanannya sekuat tenaga. Aku buru-buru jalan ke sofa sementara dia masih tertunduk sehabis menahan dirinya dari jatuh.
Muka Yuna tertekuk menahan tawanya, lalu dia menutup mulut dengan sebelah tangan. Bintang mengangkat kepala lalu menatap Bagas yang melihat ke suatu titik dengan pandangan menerawang (pas banget).
Bintang kayaknya ragu, deh.
"Dia yang dorong gue, kan? Iya gak?" tanyanya pada kami, sesekali memandang Bagas yang menekuk alisnya bingung.
Aku tersenyum tipis menahan tawaku, "Rahasia, dong."
Kilatan di matanya memberi tahuku kalau dia sudah sadar siapa pelaku sebenarnya.
"Baper amat lo. Cowok udah biasa ngasih surprise buat gebetannya. Lo kok nggak ngerti?"
"Kalo gue mau tau? Kejutan itu lima puluh persen bisa berhasil dan juga lima puluh persen bisa gagal, kan," balasku dongkol.
"Tenang, lo mungkin gak jatuh cinta sama tempat kita, tapi gue jamin tempatnya nyaman."
"Asik?"
"Banget."
"Cantik?"
"Iya."
"Luas gak?"
"Luas sih, tapi kenapa lo nanya tentang itu?"
"Lo bakal ada di situ gak?" tanya aku dengan nada yang melembut.
Bintang tersenyum geli, alisnya mengernyit dalam kebingungan sementara yang lain makin semangan menonton kami.
"Ya iyalah. Gue malahan berencana menjemput lo."
"Gak jadi deh," ucapku malas. "Ogah gue ketemuan sama lo."
"Lah... nih cewek..." Bintang berdecih kesal, membuat senyumku terbit.
"Eh, lo ada yang bawa baju lab, gak?" tanyaku.
"Gue ada. Lo mau praktek apa?" ujar Bintang.
"Ada deh." Aku terkekeh melihatnya jengkel setengah mati.
Entah kenapa aku jadi meniru sikap menyebalkannya. Tapi ternyata asyik juga mengusik orang.
[. . .]
"Lagi, Rio!"
"Cepetan, Toge!"
"Astaga Ri, lo mau nunggu kita berdebu dulu sebelum lo selesai?"
"Ah! Diam lo semua! Lo gak tau pengorbanan gue bagi kalian!" pekik Rio membela dirinya.
"Ah bacot!"
"Sok! Huh!"
"Rio, cepetaaaan jam istirahat udah hampir habis!" protes Kaka yang memeluk erat perutnya yang keroncongan.
"Bacot! Bacot! Bacot!" Tangan Rio bergetar lebih hebat lagi; keringat dingin mulai mengucur dari pelipisnya. "Diam lo kalo mau selamat!"
Suara protes mereka mulai memekakkan telingaku. Hasilnya, aku jadi makin gerah berada di dalam lab pengap yang dipenuhi bau-bau keringat dan Rio si Bego Kuadrat yang pengecut.
‘Kenapa harus Rio? Kenapa mereka semua bau kencur? Kenapa guru kita juga cuma diam-diam aja?’
"Rio, lo tau gak kalo tugas lo itu segampang memanjat pohon?" ujarku dengan nada meninggi dan alis yang makin berkerut.
"Itu susah, Gogos!"
Mukaku mendatar, "Oh. Tapi gampang, kok."
"Buat lo kali, Kwek!"
Darahku langsung menjalar naik ke kepalaku. Aku tidak mendengar tawa mereka lagi ataupun melihat muka si Rio. Warna merah sudah terlanjur mengelabui penglihatanku.
Saat aku sadar kalau aku sudah khilaf, tanganku sudah mencubit lengan Rio yang mulai membungkuk lemas dengan wajah meringis. Untung aku sudah pegang baik-baik pipet tetesnya.
"Anging... mammiri ku pasang~..." nyanyinya disertai nada kesakitan.
Aku menyuruh dia menyingkir dengan satu gerakan kepala sebelum mengambil tempatnya. Setelah itu, aku mengangkat pipet tetes berisi larutan bening tepat di atas labu ukur.
"Duh, Dora, lo tau gak sih apa yang sedang lo pegang? Zat kimia, Dor, zatkim!"