"Emang kalian selalu ngumpul di sini?" tanyaku santai.
Naila manggut-manggut, "Iya, soalnya enak. Di sini ramai, luas, dingin, bebas, lengkap, bla, bla, bla."
Sekali lagi aku menangkap mata Citra yang sesekali menghujamku dengan tatapan bengis. Aku tidak ragu kalau di seberang sana dia lagi membicarakanku.
‘Memang sih dia ngomong di depan gue, tapi bukannya ngomong di depan artinya terang-terangan? Gue gak mau buat situasi jadi ribet, sih, mengingat gue pendatang baru. Bisa-bisa gue di-blacklist sama mereka.’
"Si Cicit ngikutin Bintang ke mana-mana; dia nempelin si Bintang mulu, jadi jarang ngobrol sama kita," jelas Alysha disertai angkatan bahu dan bibir yang merapat.
Itu mungkin benar, tapi aku rasa ada cerita lebih dari itu.
"Lo murid baru tapi udah masuk tim dance, deket sama Bintang, masuk ke markas kita lagi. Lo pake apaan?" gurau Naila.
Aku mengangkat bahu, "Minyak tokek."
"Ya kali." Alysha cuma geleng-geleng kepala.
"Bentar, ya," sahutku.
Punggung Bintang menghadap ke arahku, jadi aku tidak bisa melihat jelas apa yang dia minum, tapi semoga bukan minuman yang sudah susah payah aku singkirkan tadi.
"Oi."
Bintang melempar tatapan dari atas pundak, "Oi."
"Lo jangan minum-minum kalo mau pulang dengan selamat."
"Gue tau, makanya gue cuma minum yang gak terlalu keras. Lagian gue cuma sekali seumur hidup minum yang keras, kok."
Aku diam-diam mengamatinya meneguk minuman berbuih di tangannya sebelum meletakkan gelas kosong itu di wastafel.
"Gue heran. Kok lo sama anggota-anggota OSIS lo jadi begini semua?" Aku memiringkan kepalaku sambil bersandar di konter.
"Kan bisa aja. Latar belakang tiap manusia mana lo tau," ucapnya dengan senyum rahasia.
"DUH! FA–"
Aku berbalik dan langsung menambahkan, "Fanta."
"Kalo gue nemu nih orang, gue habisin di dunia nyata. Oi! Cepetan bantuin gue, gue diborongin, tau gak?! Tuh, kan! Fa–"
"Fantastis," ucapku lirih.
"Lo sendiri lumayan fantastis. Gue gak pernah seumur hidup nemuin spesies kayak lo."
Aku menyengir sehabis kepikiran sesuatu, "Ya, namanya juga langka."
"Barang langka."
Bibirku menipis, "Lo boleh bilang gue barang langka, tapi kalo sampai lo perlakukan gue sebagai benda, gue tonjok habis gigi lo."
"Tapi barang langka dirawat dengan hati-hati, lo?" ujarnya dengan senyum tipis.
"Namanya juga rapuh. Masa lo mau banting cewek?"
"Gak lah. Cewek itu harus diperhatiin, disenangin, dijagain, bukannya dibohongi, dikasari, dan dicuekin. Makanya banyak cewek yang masih single. Rawatnya rumit, sih." Bintang terkekeh tiba-tiba, berubah dari cowok gentleman ke sosok aslinya.
Tapi aku tidak bisa menghentikan bibirku mengembang menjadi senyuman tipis. Sayangnya si Bocah Bintang langsung menangkapnya.
"Cie, yang senyum-senyum."
"Dasar pemabuk." Aku menendang kakinya, tapi dia masih bisa berdiri meski membungkuk karena lelah tertawa.
Aku melirik gelasnya lalu bertanya, "Tristan belajar buat minuman dari siapa?"
"Dia kerja paruh waktu di kafe, jadi dia agak jago gitu. Tapi tolong jangan puji dia. Gue masih butuh kepalanya utuh, bukan meledak menjadi keping-keping."
Dari ujung mataku, wajah Citra tertekuk dan masam. Aku jadi jengkel sendiri melihatnya.
"Bisa juga Citra tetap di sini."
"Honey, I'm home!" Suara cowok yang menjerit menarik perhatianku ke arah pintu yang dikerubungi cowok-cowok baru yang juga tidak aku kenal.
"Woy, ada Abang!" Si wakil ketua langsung memeluk Bintang yang kemudian mendorongnya menjauh dengan tatapan jijik.
"Lo menang, gak? Jangan berani peluk-peluk kalo lo gak menang."
"Ya iyalah!" Senyum lebarnya masih ada saat dia bertanya, "Nih siapa, Bang?"
"Yang gue ceritain. Adora."
Aku tiba-tiba was-was. Dia tidak bercerita tentang perjanjian kita, kan?
"Ooh, anak baru, ye? Alex." Senyumnya melebar.
"Adora."
"Panggil aja Dora," tambah Bintang dengan mulus.
"Seydan," gumamku di tengah tawa Alex.
Dia mendadak menunduk untuk berbisik, "Alex jago balapan, Yuna jago dance, Citra bisa dapetin info dengan mudah."
Alisku mengernyut. Maksudnya apa? Buat apa juga dia mengatakan itu?
"Citra di sini karena kemampuannya."
Oh, jadi begitu.
"Kalian bersama karena kehebatan doang?"
Bintang mengangkat bahu, "Orang-orang yang setingkat lebih mudah bergaul."
"Fantastis." Cuma itu yang bisa aku ucapkan.
"Kenapa? Kecewa?" ujarnya dengan sinis.
"Gak nyangka aja."
"Dih, cepet banget lo jadian. Tega banget lo, Bang Bin." Alex menaruh kedua tangan di dada. "Aku pikir yang kita punya itu spesial, tapi aku salah."
"Otak lu yang salah."
"Bin, Lex, sini bentar," panggil seorang cowok dengan nada serius.
"Lo ke sana aja, bentar gue kembali, kok," ujar Bintang.
[. . .]
Aku bosan, aku malas. Aku bisa saja nimbrung dengan si trio, tapi sejak topik mereka menyeleweng ke k-pop, aku pasrah. Aku benar-benar tidak bisa melanjutkan percakapan kalau bicara soal yang satu itu, kecuali dance-nya.
Semangatku sedikit berkobar saat Bintang kembali dengan wajah kusut.