"Ah, sori. Gue gak bisa."
Dengan muka polos tanpa dosa, aku melepaskan tanganku yang selama ini menahan berat kepala Bocah Bintang. Alhasil, kepalanya jatuh, namun dia mengangkat kepalanya sebelum kejedot.
"Kalo mau lepas, bilang dulu kek," omel Bintang, mengelus dagunya yang bahkan tidak kena.
Ekspresi kesal Bintang pergi secepat ia datang. Bibirnya merapat dan matanya terpaku pada sesuatu di belakangku. Tanpa bertanya, kepalaku berputar tepat waktu untuk melihat Citra menghentakkan kakinya bagai badak, melaju ke arah kami dengan muka merah yang sudah mau meledak.
"Eh, Cicit." Aku pun melukis senyum nan indah pada bibirku. "'Pa kabar lo, Cit?"
"Lo jangan sok baik deh sama gue! Gue tau sifat asli lo, jadi lo jangan macam-macam." Mata Citra melotot, jari telunjuknya terbang-terbang menunjuk mukaku, saking dekatnya sampai mau kugigit hingga copot.
"Emang gue suka pakai topeng monyet kayak lo?"
"Mulut lo dijaga, ya!"
"Mulut lo jangan dimasukkin sambel terus, makan sayur juga supaya sehat-sehat dikit." balasku tenang.
"Lo lagi! Huh!" Bagas muncul sekali lagi tanpa pemberitahuan, memasang muka masam.
"Nah, ini juga nih, guys," Alex mendesah, menunjuk-nunjuk Citra dengan muka kecewa.
"Apaan sih?! Maksud lo apa?" kata Citra, dahinya berkerut bingung.
"Udah, tarik ajaaa!" Rafa memegang lengan kiri Citra, lengan kanan diambil oleh Bagas.
"Lho, kalian apain gue?! Berhenti gak!"
"Have a nice date, cintaku." Bintang kelihatan terhibur melihat Alex mendorong punggung Citra yang memberontak sepenuh tenaga.
Tak lupa, Alex mengecup udara lalu meniup kecupannya ke arah Bintang yang mengibas-ngibaskan tangannya seakan-akan menolak kecupan itu.
"Heh. Kalian cocok. Kenapa gak lo pacari?"
Senyum Bintang jatuh dari wajahnya. "Maksud lo Citra?"
"Gak lah! Si Alex maksud gue."
"Oh..." Bintang mengangguk mengerti lalu tersenyum culas. "Cemburu, ya?"
"Idih. Buat apa? Gak guna." Aku memutar bola mataku.
"'Kenapa gak sekalian aja lo pacarin cewek itu?'" ucap Bintang, meniru suara cewek, lalu memutar kepalanya ke kiri. "'Kenapa emangnya? Cemburu yaaa?'"
Suaranya berubah-ubah dari suara tinggi ke suara rendah, begitu juga kepalanya yang bolak-balik ke kiri dan ke kanan.
"'Iih! Abang, ah! Gak romantis banget!'" potongku dengan bibir yang mencibir berlebihan.
Bintang tersenyum. "'Jadi kamu mau aku bilangnya apa, kesayanganku?'"
"Kamu mau aku bersaksi kalau kamulah ciptaan terindah Tuhan? Sungguh, laut ketujuh pun akan kuseberangi demi meraih cintamu. Takkan ada waktu yang tak kuluangkan untukmu, hadiah yang tak kuserahkan padamu, perhatian yang tak kuberikan padamu. Belah dadaku dan jantungku pun akan kuberikan, Adora. Napasku ambillah untuk hidupmu, Adora. Hidup ini hampa tanpamu. Bagaikan Hawa dan Adam, kita akan jatuh dan bangkit bersama, karena kaulah Hawaku dan kuharap akulah Adammu."
Aku menganga. Aku sampai tidak memperhatikan penghuni kantin yang lain saking kagetnya. Siapa juga yang menyangka dia akan memberi puisi romantis di tengah-tengah situasi seperti ini?
Yang jelas bukan aku.
Aku mengangkat tanganku, menghentikannya. "Tunggu, tunggu. Bisa lo ulang gak? Gue gak sempat rekam–"
"Ya kali!" Bintang memutar matanya. "Lo pikir mudah buat puisi impromptu?"
"Huh. Penonton kecewa," ujarku sebal.
"Kecewa atau terkesan?" godanya dengan senyum yang menyebalkan...
... yang menyebalkan imutnya.
"Terkesan," Aku akui dengan muka menyerah.
Tiba-tiba Bintang tersenyum licik dan firasat jelek menghampiriku.
"Dor, lo Doraemon, ya?"
Aku cuma menatap dia dengan malas. "Iya, emang kenapa?"
"Soalnya lo selalu bantu gue dengan masalah gue."
Aku mencerna kata-katanya baik-baik, lalu aku ulang tiap kata. Biar begitu, aku tetap tidak bisa menemukan unsur utamanya.
"Bin, romantisnya di mana?"
"Gak ada. Itu kode supaya lo mau bantuin gue. Udah, cepetan makannya."
Aku menaikkan satu alis menantang. "Kalo gue gak mau?"
"Yang bayar makanan lo?" balasnya.
"Iya deh, Bos. Ampuuun..."
Aku tersenyum, lalu menatap Bintang dengan manis. "Bin, lo beneran seperti nama lo, ya?"
Bintang terdiam selama dua detik sebelum selesai mencerna kata-kataku. Dia mendesah panjang.
"Iya, bintang itu bersinar terang, tapi lo pasti lupa kalo dia itu tinggal dalam kegelapan." ucapnya datar.
Aku merasa kata-katanya janggal, tapi aku tidak bertanya lagi. Hubungan kita seharusnya gak melewati batas yang sudah kita lewati.
Ini permainan, Adora. Jangan tenggelam dalam misteri yang bernama Bintang.
[. . .]
Aku menggumamkan lagu Perfect sambil mengikuti Bintang masuk ke dalam perpustakaan. Ah, memang Bintang paling tahu kalau Adora butuh istirahat di ruang ber-AC setelah mengisi perut.