Adora

Puteri M.
Chapter #8

Bab 8

"Dia orangnya?"

"Iya, dia."

"... gak dilapor, ya?"

"... gak, milik OSIS sih..."

‘Hah? Gila. Maksud cewek cabe yang satu itu apa? Milik OSIS? Cuma gara-gara gue dekat sama Bin-Bin?’

Baru saja aku berbalik mau menanyakan maksudnya, cewek pengecut itu sudah lari duluan bersama temannya.

"Lo harus berani pertanggungjawabin kata-kata lo! Kalo ujung-ujungnya lo pengecut, mending lo lem tuh mulut lo..." omelku.

"Ish." Aku membuka lokerku, terus kertas ulangan kimia yang aku lipat-lipat jatuh.

Aku mengabaikannya, toh ulangannya sudah berlalu dan nilaiku tetap jeblok. Tidak berguna.

Aku mengambil buku rencanaku. Sebentar kalau si Bin-Bin sudah menunjukkan mukanya, aku bisa langsung memperlihatkan rencana-rencana yang sudah aku tulis.

‘Ternyata dendam bisa membuat lo jadi super kreatif.’

Waktu aku berjongkok untuk mengambil kertas yang tadi jatuh, ternyata itu bukan kertas ulanganku.

‘Lah, jadi di mana kertas gue? Bukannya gue mau simpan sebagai pengingat kebodohan gue, tapi kalo yang lain liat kan malu gue. Gini-gini gue masih punya rasa malu kalo soal nilai.’

Eh, tapi apaan nih?

"Lho? Surat?"

"Surat cinta?" Muka Bintang muncul tiba-tiba di samping kepalaku, aku melompat di tempat saking kagetnya.

Aku menengok sekelilingku. Ternyata cuma kita berdua yang ada.

‘Lorong milik berdua. Pfft.’

"Dapet dari mana tuh?" tanyanya dengan muka memberengut.

Aku cuma mengangkat bahuku. Tapi suratnya lumayan cantik. Bentuknya persegi panjang, muat di tanganku. Warnanya putih tapi kebiruan, unik. Kemudian, ada hati kecil berwarna merah yang menyegelnya.

Aku membuka suratnya, lalu mengeluarkan dua kertas yang terlipat-lipat kecil.

"Lho, kok dua? Bukannya harusnya satu aja kalo surat cinta? Rajin amat," gumamku, membuat Bintang terkekeh di sampingku.

Saat aku membuka lipatan kertas pertama, mataku membulat. Aku langsung meremas kertas itu. Wajahku merah padam; aku bisa merasakan darahku naik ke pipiku.

"Apaan? Pelit amat. Malu, ya?" ujar Bintang dengan muka yang tidak puas sambil melipat tangan.

"Gak."

‘Ini bukan surat cinta, tapi ULANGAN KIMIA GUE! Siapa yang udah liat aib gue? Jangan-jangan Citra juga udah tau... AH, bodoh amat!’

Dengan gusar, aku membuka yang kedua.

Oi.

Adora, tahukah kamu kalau keberanian kamu itu mendebarkan?

P.S: muka marah lo imut juga.

- S

‘AYAM GORENG GILA!’

[. . .]

‘Gila, gila, gila, gila, gila. Gak. Gak mungkin. Ini terlalu gila. Gila amat. Gila x 2. Gila kuadrat. Gila kubik. Gimana gue bisa masuk ke kelas sekarang?’

"Oi, lo gak masuk?" tanya si gentleman yang mengantarku ke kelas.

"Entar aja."

"Mau berduaan sama gue terus, ya?"

PLAK!

"Aduh! Sakit, bego!" protes Bintang dengan wajah kesal.

Biar saja. Huh.

Aku tiba-tiba berhenti di belakang pintu kelas. Aku tidak sadar kalau aku sudah terlanjur masuk ke dalam kelas, dan parahnya Lukas sudah ada di situ, tapi lebih parahnya lagi, DIA DUDUK DI BELAKANG KURSIKU!

Mana bisa aku hidup tenang kalau dia ada di belakangku tiap detik, tiap menit, tiap jam? Apa lagi aku tidak tahu mau menganggap dia hater atau fans.

Bisa aja dia fans yang mengirim surat itu. Soalnya, yang melabrak dia itu kan aku? Dan aku kan memang Adora? Eh, tapi memangnya aku sudah kenalan sama dia, ya? Tapi bisa saja sih dia cari tahu dari orang lain.

Di lain pihak, kan aku sudah memukulnya, masa dia tidak benci sama aku? Kan gila kalau dia malah jatuh cinta sama aku? Tidak masuk–

"Adora."

‘Duh... ini kan suara... gak mungkin, kan? Baru juga gue duduk. Kenapa dia manggil gue? Terus, kalo dia udah tau nama gue... bisa jadi dia yang nulis suratnya, dong?’

"... Apa?" jawabku pelan, tapi dengan nada was-was.

Jangan sampai saat aku membalikkan muka, dia malah menoyorku. Tapi masa sih dia bisa main tangan dengan cewek? Cekcok saja bisa, apalagi kata-katanya kasar begitu, tapi masa iya, sih?

Matanya menyipit tidak senang dan bibirnya tertutup rapat. "Ada daun lengket di rambut lo."

Nih anak serius? Atau modus?

"Mana ada?" ucapku gusar setelah menyisir rambutku dengan tangan.

"Bodoh, ah. Sini gue ambiliin!"

Jantungku berdetak cepat. Jangan salah, ya. Ini bukan karena dia, tapi karena tangannya tiba-tiba saja mendekat dan menarik sesuatu dari rambutku.

"Toh. Gitu aja gak bisa," dengkusnya sebelum mengistirahatkan kepalanya pada lengannya di atas meja.

Lihat selengkapnya