Adora

Puteri M.
Chapter #10

Bab 10

Bintang mengantarku ke kelas, sesuai dengan image gentleman-nya yang membuat hampir semua populasi cewek di sekolah kami menggelepar. Dia memberiku senyum lembut layaknya seorang lelaki yang sedang jatuh cinta.

Hanya saja semua itu palsu dan dia munafik. Eh, hampir semuanya palsu sih. Bagian yang ini:

"Awas lo kalo gak datang ke markas OSIS bentar siang."

Itu asli.

Tiba-tiba pintu kelas didobrak oleh Christian, salah satu preman kelas yang memang agak kasar. Dia diikuti teman-temannya yang berbagi ekspresi marahnya.

Matanya menyapu seluruh penjuru kelas yang tiba-tiba terdiam sebelum mendarat padaku. Kalau bisa, matanya membulat lagi.

"Lo! Anak baru, lo kan yang laporin gue ke Bu Levina kalo gue nyontek?"

"Lapor? Ngapain gue laporin lo?" balasku tajam.

"Jangan sok suci lo! Mentang-mentang sekarang lo jadian sama ketua OSIS, lo bersihin semua kelakuan lo. Munafik, lo!" sergah salah satu teman Christian yang mulai maju ke arahku.

Rio bangkit dari kursinya untuk menahan, "Tunggu, tunggu, tunggu. Maksud kalian apaan?"

"Rio, lo juga jangan mau ketipu sama cewek licik kayak dia!" seru Christian sambil menunjuk-nunjukku. "Dia itu udah khianatin kita!"

"Dia merusak solidaritas kita, bro!" ujar Vion, sahabat Christian. "Mending lo gak usah bela-belain dia. Dia gak seperti yang lo kira!"

Leila menghantam mejanya, merebut perhatian mereka. "Lo bicara apaan?! Adora itu solid sama kita! Kita main di kelas, dia ikut main. Kita nyanyi, dia ikutan, terus buat apa dia ngelaporin lo?! Kalo memang dia yang ngelapor, kenapa gak lapor satu kelas aja? Emang cuma lo yang nyontek?!"

"Dia gak langsung nyerang semua, Leila. Percaya sama gue, lama-kelamaan dia pasti ngelaporin kalian semua, teman atau enggak!" teriak Christian marah.

"Kalian bodoh kalau mau aja percaya sama anak baru. Selama ini gak pernah ada yang berkhianat dari kelas kita, tapi sekarang?!" ujar salah seorang dari mereka.

"Betul! Ini terlalu aneh buat jadi suatu ketidaksengajaan!" tambah Vion yang mengepalkan tangannya.

"Gue gak ngelaporin satupun dari kalian. Gak berguna banget, tau!" bantahku sambil berdiri.

Aku sebenarnya bingung banget, tapi BUKAN CUMA MEREKA YANG KESAL! Enak saja main tunjuk-tunjuk padahal tidak punya bukti.

"Lo tau dari siapa kalo emang gue berkhianat?!"

Mereka terdiam sepintas dan aku menangkap Vion melirik Christian sekilas, seakan-akan menunggu aba-aba darinya.

"Gak ada yang ngasih tau juga udah jelas kan kalo lo yang lakuin?! Apalagi lo sekarang jadian sama si ketua OSIS!" teriak Christian sambil menunjuk-nunjuk lagi.

"Eh, itu namanya fitnah, FITNAH!" celetuk Leila, amarahnya berkobar. "Otak lo pada ke mana semua?!"

"Udah, udah! Yang penting kalian jangan nuduh-nuduh Adora sembarangan lagi. Itu gak baik!" bela Kaka.

Aku bisa merasakan rasa marahku yang tadinya mau meledak pelan-pelan meleleh karena melihat perilaku Kaka yang kayak anak kecil.

‘Polos banget. Sumpah, gue pengen banget fotokopi dia supaya ada banyak Kaka yang sweet. Kalo bisa, sih).’

Kenapa bumi ini cuma dipenuhi makhluk-makhluk seperti Christian yang otaknya buntu semua? Oh iya, dan juga manusia seperti Bintang yang tidak bisa aku jelaskan semua keburukannya?

Kelas masih hening setelah Christian memukul pintu sebelum keluar bersama anggotanya. Masalah dia apa sih? Tidak jelas banget.

"Udah, Adora. Lo jangan mikirin lagi soal dia," ujar Kaka dengan wajah simpatik.

"Betul. Lagi miring tuh otaknya," tambah Leila yang mengeluarkan napas kesal lewat hidungnya.

"Lo jangan pasang muka marah, dong. Kan gue jadi takut lo bakal makan gue," omel Rio.

Aku rasa dia memang pantas dihajar, jadi aku tampar pundaknya. Masih untung pundaknya!

"Aduduh! Nih anak sama aja dengan Lele! Gak ada beda-bedanya! Pantas aja lo berdua cucok!" gerutu Rio yang mengelus pundaknya.

Aku tersenyum sambil memiringkan kepala. "Benar gue sama Leila gak ada bedanya? Kalo kita cucok karena kita berdua sama, lo sama Leila gimana? Gak cucok, gitu?" goda gue.

Rio ternyata termakan umpanku. Mukanya langsung berubah seratus delapan puluh delapan derajat.

"Kita cucok lah!" jawabnya sambil memberi jempolan. "Dia mah gak bisa apa-apa tanpa gue! Dari kecil emang gitu..."

Aku hanya berbagi senyum rahasia dengan Kaka yang menyembunyikan senyumnya di balik telapak tangan. Leila mulai menaikkan alisnya.

"Malah hidup gue damai kalo lo gak nongol-nongol."

Rio syok mendengarkan Leila, tangannya refleks meraih hatinya dan meremas bajunya seakan-akan hatinya terasa seperti dicabik-cabik.

"Lo kok gitu sama gue sih, Le? Jadi selama ini gue apa buat lo?"

Rasanya ada makna lebih di balik kalimat Rio yang terakhir. Cara dia mengucapkan kata-kata itu lebih pelan dan... dalam? Aneh sih, tapi masuk akal juga.

"Bocah tengil," ujar Leila sontak tanpa perubahan ekspresi.

Aku dan Kaka langsung membanting diri ke tempat terdekat buat ketawa lepas. Sayangnya, tempat terdekat buat Kaka itu lantai, jadi dia meringis kesakitan sebelum kembali cekikikan seperti orang gila.

Lihat selengkapnya