Bintang melepas gagang pintu setelah menariknya. Pandangan kami berpaut tepat saat terdengar bunyi pintu tertutup rapat. Sudut bibirnya terangkat menjadi senyum miring yang kecil dan dia memandangku dengan ekspresi yang sulit dibedakan.
Senang atau merasa lucu?
Dia berjalan terus dan aku ikut saja tanpa sepatah kata pun. Tiba-tiba tenggorokanku terasa gatal, dan meskipun aku sudah mencoba menahannya, akhirnya aku batuk juga.
Bintang berhenti, lalu kepalanya berputar ke arahku. "Lu batuk?"
Aku memutar bola mataku, "Gak. Botak lu yang batuk."
Dia tertawa kecil, "Lo kalo muter mata lo terus entar nyangkut. Gue gak mau nolong, ya."
"Yang minta bantuan lo siapa?" balasku jutek.
"Yah... gue cuma bilang sih..." Dia mengejekku lewat matanya.
Aku mau membalas lagi, tapi napasku tercegat rasa gatal, jadi mau tidak mau aku tahan mulutku. Leherku kucubit-cubit buat meredakan rasa gatalnya. Sudah berapa hari nih aku makan gorengan mulu?
"Lo jangan makan pempek dulu untuk sementara waktu," sahut Bintang tiba-tiba.
Aku menoleh padanya, tapi dia terus memandang ke depan. Aku bicara keras-keras ya? Atau dia bisa telepati?
"Jadi mau makan apa?"
"Bakso aja. Enak, kok. Bikin kenyang lagi."
"Hmm..."
Bakso boleh juga, sih.
"Atau roti. Nasi goreng, nasi campur, nasi-nasian juga ada, jadi lo jangan cuma nge-snack mulu. Entar gue dibilang gak perhatiin pacar, padahal itu kan salah lo sendiri."
"Iya, iya, bawel, ah!"
"Eh, ini untuk kebaikan lo sendiri!" bela Bintang sambil menunjuk dahiku. "Lo makan yang sehat dan yang bisa ngisi perut lo, jangan makan angin terus!"
"Kalo makan hati?" tanyaku.
"Entar tinggal minum air mata biar lengkap."
"Wih, mantap!" ucapku sarkastik sambil memberinya jempolan.
Dia menyalin senyumku, cuma senyumnya tidak sepalsu milikku. Setelah itu, tangannya dengan berani melenceng ke rambutku.
"WOI, LO BIKIN APA!?" teriakku, menarik perhatian yang lain.
Alhasil jadilah sarang burung rambutku yang dulunya rapi dan cantik. Tentu saja aku membalas serangannya dengan menusuk-nusuk pinggangnya sampai dia kapok.
"Duduh, sakit bego!" pekiknya seraya mencoba memblokir seranganku. "Itu kan cuma rambut!"
"Rambut perempuan itu mahkota, mahkota itu untuk ratu, jadi kalo lo ganggu mahkota ratu, MATI LO!"
"Kasar banget jadi cewek," ujar suara yang aku kenal dekat.
Tatapan Lukas berpindah dari aku ke Bintang, lalu balik lagi ke aku. Badannya yang tinggi bersandar di tembok sedangkan kedua tangannya disilang di depan dada. Aku bisa melihat otot-otot lengannya yang menonjol.
"Emang kenapa?" balasku pelan meski aku menajamkan mataku.
"Lo kan harusnya narik hati murid-murid di sini, bukannya merusak reputasi cowok lo," katanya sengit.
"Pertama, gue gak mau tuh munafik biar disukai orang. Kedua, gue kan gak ada hubungannya dengan anak OSIS. Ketiga, lo kok sewot, sih?" jawabku.
"Yah, sori aja kalo gue peduli sama reputasi cowok lo. Lo sayang gak sih sama dia? Kalo lo beneran sayang sama dia, lo bakal bantuin dia, bukan sebaliknya," sahutnya sebelum beranjak pergi.
"Lo sejak kapan dekat dengan Lukas?" Suara Bintang keluar dengan nada tertahan.
Ketika aku menengok mukanya, wajahnya tegang dan matanya menyipit seakan-akan dia kesal. Sepertinya dia tidak suka dengan Lukas.
"Gak tuh," jawabku sontak. "Dia paling cuman komen. Bukannya lo yang harusnya udah tau seluk-beluknya dia?"
Bibir Bintang merapat, "Lo jangan deket-deket sama dia. Dia itu biang masalah, tau?"
Aku terkekeh tanpa sedikit pun rasa lucu. "Mengingat lo magnet cabe, bukannya itu artinya lo sama aja dengan dia? Mantan lo aja bermasalah gitu setelah kenal lo."
"Gak," tegas Bintang seketika. "Jangan samain gue dengan dia. Lagian, bukannya lo udah bermasalah duluan sebelum kenal gue?"
"Itu kan secara gak langsung gara-gara lu juga, kali!"
"Apanya yang gara-gara gue?" balas Bintang ketus, alisnya hampir menyatu.
Aku berbisik. "Kalo aja lo gak bikin Citra..." Aku bingung mau menyusun kalimatnya.
"Gila," sambung Bintang.
"Mungkin dia gak bakal macem-macem sama gue," simpulku.
"Tapi kalo dia gak macem-macem sama lu..." Suara Bintang memudar tiba-tiba, jadi aku berhenti berjalan lalu menengok ke belakang.
Ekspresi anehnya muncul lagi.
"Kan kita gak bakalan bisa begini?" katanya diiringi senyum manis.
Aku memiringkan kepalaku, lalu mengernyit. "Lu lupa minum obat lu, ya? Kalo itu gak terjadi, hidup kita harusnya damai, lah."
Bintang terdiam untuk sesaat. Aku memperhatikan dia sampai dia membuka mulutnya.
"Rasanya hidup gue membosankan tuh tanpa lo."
Dua kemungkinan tebersit dalam benakku. Satu, Bintang cuma asal bicara buat menggodaku. Dua, yang dia ucapkan tulus dari hatinya. Melihat senyum menjengkelkannya absen, aku hampir yakin kalau nomor dua yang benar.
"Bosan? Yakin?" Aku tidak bisa nahan senyum sarkastik yang timbul sendiri. "Lo kan punya teman-teman lo–"