Adora

Puteri M.
Chapter #13

Bab 13

"Daisy emang kakak, sih, tapi bukan kakaknya Citra. Dia dari sekolah lain," sahut Alex, mendekat bersama rombongannya. "Paling juga dia merasa terintimidasi sama Street Queen yang baru."

"Sori aja, gue gak kenal tuh yang namanya intimidasi,” ujar Daisy dengan tampang meremehkan, mengaitkan seuntai rambut di belakang telinganya.

Aku menarik lengan jaket Bintang sambil tersenyum kecut. Yang lain pada asyik komentar kalau aku tidak mau cowokku direbut, tapi aslinya:

"Ini ajang Kenalin Mantan Gue apa?" desisku di telinganya.

"Yah, mau gimana lagi. Gue kan emang magnet cabe," goda Bintang, menyentil jidatku.

Aku menatap dia setajam mungkin, lalu mendorongnya kembali ke tempat asalnya, tapi dia malah menetap di sampingku dan malah merangkul pundakku.

"Tangan lo panas banget. Gara-gara gue, ya?" ujarnya sombong.

"Sop tahu lo," omelku melipat tangan.

"Udah, yuk. Kita masuk. Pertandingannya udah mau dimulai, nih," undang Alex, merangkul pundak Bintang.

Alex menuntun kami masuk ke dalam sebuah ruangan berdinding dan berlantai hitam. Meja, kursi, dan sofa tercecer di dalam dengan sebuah arena berpagar di tengahnya. Dia mendorong kami ke sebuah sofa dan lengan Bintang otomatis menjulur ke pundakku sebelum aku tapis.

"Lo tau gak kalo malam ini malam yang spesial?" Muka Bintang berseri melihatku saat Alex mengatakan hal itu.

"Oh?" balasku singkat. "Kenapa?"

"Hari ini yang bakal tanding itu Street King kita sendiri. Satu-satunya raja, satu-satunya kekasih lo..."

Aku berbisik keras ke Alex, "Kalo dia bukan satu-satunya cowok gue?"

"Yah... kasihan Bin-Bin, dong!" tawa Alex bergemuruh. "Ternyata lo nyatain jati diri lo yang sesungguhnya dengan penampilan lo malam ini. Penonton gak kecewa, Adora!"

"Adora, lo belum pernah liat bintang bersinar dalam kegelapan, kan?" ujar Bintang, mendekat selangkah.

"Sering tuh," balasku sontak.

"Ah, enggak. Lo belum pernah liat gue bercahaya."

"Iya, Bintang buas banget di dalam ring," sahut suara yang mulai aku hafal.

Daisy menjatuhkan dirinya di sisi Bintang yang lain. Dia juga tidak lupa melempariku senyuman. Senyumnya cantik sih, tapi kayak kurang tuh.

Mungkin kebanyakan gula di atasnya sampai tidak sadar kalau senyumnya bolong kayak donat. Junior tergesa-gesa menghampiri sofa yang kami tempati, "Bin, Fredo udah siap tuh."

"Oke." Bintang beranjak dari tempatnya.

Aku diam-diam saja mengamatinya berbicara dengan cowok yang jadi wasit. Di seberang Bintang duduk seorang sosok yang tinggi dan besar.

Jujur saja, sosok itu mirip Goliat. Kalau dia Goliat, maka Bintang adalah Daud. Kalau Bintang secerdik Daud, aku yakin dia bisa menang. Apalagi dilihat dari raut wajah mencekam “Goliat”.

Gerombolan cewek yang di sana berteriak ketika Bintang masuk ke dalam ring dengan wasitnya. Mata "Goliat" menyipit, memperlihatkan kalau dia siap menerkam.

Bintang melepas jaketnya, menunjukkan lengan berotot fantastisnya. Dia tercengar-cengir melihat ke sekelilingnya, tak lupa melambaikan tangan pada fans setianya.

Dia menoleh ke belakang, menyempatkan diri mengedip padaku. Dari ujung mataku, aku mendapati Daisy menatapku tajam. Aku saja tidak ada reaksi sama Bintang, kenapa dia yang terpengaruh?

Oh iya, aku kan cuma pacar palsunya.

Sempritan peluit memecahkan kegaduhan di sekitar arena. Suasana di sekeliling medan kecil itu mulai menegang, tiap mata menatap lekat-lekat dua sosok yang saling berhadapan. Bintang menggoyangkan jari telunjuknya dan umpan itu dimakan oleh "Goliat" atau lebih tepatnya, "Goliat" termakan amarah.

Dia menyerbu ke arah Bintang dengan erangan yang keras. Bintang memiringkan kepalanya, menghindar. Dengan cepat dia mengambil kesempatan di depan matanya, mencengkeram lengan lawannya dan menyapu kaki raksasa itu sehingga dia terjatuh.

Penonton bersorak. Aku sendiri asyik mengamati wajah Bintang, mulai dari ekspresi seriusnya yang lambat laun mencair sampai mengeras lagi saat Fredo bangkit dari posisi terduduknya.

"Mainin aja dulu kali, Bang..." gumam Alex, tak pernah melepas pandangannya dari Bintang.

Tidak ada kata "ampun" dalam kamus Bintang. Dia benar-benar seperti binatang. Di tengah-tengah hujan tinju yang diberinya, aku melihat kilatan membunuh terpancar dari matanya. Jantungku serasa jatuh ke perut.

Di balik sosok pangeran jahat ada sosok yang lebih kelam. Sosok yang tidak menunjukkan belas kasihan dan tidak berhenti saat lawannya sudah terjatuh.

Dalam benakku, aku bisa membayangkan ucapannya: "Lo gak boleh lengah. Mereka bisa memanfaatkan kebaikan lo. Jangan kasihan, jangan ampuni."

Saat tersadar dari lamunanku, telingaku langsung dibanjiri sorakan dan teriakan namanya. Sepasang sepatu muncul di lantai yang aku tatapi. Hatiku berdebar kencang melihat Bintang tersenyum lembut.

"Lo kenapa? Speechless?" katanya arogan.

"Hm. Gitu deh," ujarku dengan nada datar, mencoba menenangkan jantungku.

"Wuhuuu! Menang lagi!" teriak Alex girang. "Lo emang the best, bro! Gak ada yang bisa ngambil gelar lo!"

Bintang merebahkan dirinya di sampingku, dan saat itu juga aku sadar kalau Daisy sudah tidak ada di situ. Aku kaget saat dia memiringkan badannya dan menyandarkan kepalanya di atas bahuku.

"Capek nih, Dor."

"Lo suka banget ya, kehidupan malam yang liar kayak gini."

Matanya melayang padaku, menatap tanpa arti yang dapat kutafsir.

"Yah... bisa dibilang gitu, bisa juga bukan..." katanya dengan nada tersirat.

"Lo gak nonton gue, kan?" tuduh Bintang tiba-tiba.

Dia spontan menegakkan badannya, menatapku seakan-akan aku barusan mengambil potongan pizza terakhir di depan matanya.

Lihat selengkapnya