Adora

Puteri M.
Chapter #14

Bab 14

|Chan, entar malam gue lanjutin ya.|

|Hari ini gue ada rencana soalnya.|

|Lo alasan mulu!!! Napa sih. -.-|

|Gue gak sepenting itu ya??? Lo nyerah ya???|

|Lah, kok baper? Masih baik gue masih mau ngebantuin lo! Gue juga udah bedagang buat nyelesain bagian gue. Gue juga butuh waktu buat hal lain yang lebih bermanfaat, tauk!|

|Jangan tinggalin gue, Dodol.|

|Enggak kok! Gue emang lagi sibuk gara-gara si BoBin|

|0.0|

|Oge, oge, gue paham. Have fun, ya. šŸ˜|

|Apa sih? -_-|

"Gaje amat... bodo ah." Aku memijat keningku yang berdenyut gara-gara anak yang satu itu.

Kalau bukan karena tali darah yang menghubungkan kami... hahaha.

Mataku menyapu area sekelilingku, melihat beberapa butik yang mungkin sesuai dengan seleraku sebelum balik ke HP-ku saat aku mendengar bunyi notif.

|Tapi lo kok masih sempat ke mal? -_-|

|Nyari baju buat tonight's dinner with orangtua BoBin|

|Lo gak berencana memakai jeans sama kaos oblong kan? -,-|

|Gak lah. Gue lagi nyari dress nih.|

|Yang semi-formal kalo bisa.|

"Kamu mau yang ini, Yang?"

"Iya, aku beliin semua."

Aku mengantongi ponselku, memutuskan untuk fokus pada misiku mencari baju yang tepat buat makan malam dengan orangtua Bintang. Mataku menelusuri tiap baju yang terpampang di jendela, menangkap suara-suara yang menyatu menjadi suatu campuran yang bising. Ada suatu suara yang menonjol di satu waktu, tapi benakku penuh dengan skenario-skenario tentang dinner malam ini.

"Kalau yang ini, Ma? Boleh gak?"

"Boleh... buat anak Mama apa sih yang enggak?"

Samar-samar aku merasa pernah mendengar suara itu. Tapi aku tidak memperhatikannya.

"Mama emang yang paling baik!"

Kepalaku berputar ke arah sumber suara itu. Kakiku tiba-tiba saja membawaku ke sana.

Cewek itu berambut cokelat dan memiliki lekuk yang dalam di dekat bibir merah mudanya. Wanita di depannya mengusap rambutnya dengan lembut.

Entah mengapa, aku merasa terperangkap menyaksikan mereka berdua. Mungkin ini yang terjadi kalau kamu kekurangan perhatian yang seharusnya kamu dapatkanā€“tapi aku tidak menuntut. Aku tidak berada di posisi di mana aku bisa mendapatkan semua yang aku inginkan.

Sederhananya, aku tidak punya hak buat melakukan itu.

Semakin aku perhatikan anak dan ibu itu, semakin aneh aku rasa. Wanita itu tidak mirip sama sekali dengan anak kesayangannya. Biarpun dia lebih mirip ayahnya, mestinya dia mewarisi beberapa hal dari ibunya.

Dia menepuk kepalanya dua kali, lalu menunduk untuk mengecup keningnya. Cewek itu tertawa lebar.

Aku serasa dibawa kembali ke masa lalu, di mana aku melihat kening Natasha dikecup dengan kelembutan yang sama.

Dua tepukan yang sama. Ciuman yang hangat. Senyum yang lembut.

Punggung tegap itu mulai berbalik dan aku tersentak. Matanya yang dingin terganti mata berbahagia wanita itu.

Namun wajahnya tetap sama. Bahkan, sekarang lebih mudah untuk aku kenali.

Napasku tertahan di dada. Dalam kesempatan satu dibanding sejuta, bagaimana aku bisa seberuntung dan sesial ini?

Bibirku bergetar membentuk seulas senyum. Entah kapan terakhir kali aku melihat dia tersenyum padaku. Rupanya dia sudah mendapat kebahagiaannya lagi.

Kakiku berusaha mengejarnya, tapi dia sudah lama pergi... seperti bertahun-tahun yang lalu. Aku ingin kabur. Aku hanya akan menambah dosaku kalau aku menghancurkan sisa kebahagiaannya.

Sekujur tubuhku lemas dan kaku, seperti barusan melihat hantu. Hantu dari masa lalu yang tak pernah meluputkanku dari mimpi buruk yang berkunjung tiap malam.

Semoga ini terakhir kali aku bertemu dengannya.

[. . .]

Sekali aku berpikir untuk membatalkan rencana makan malam dengan orangtua Bintang, tapi aku yakin Bintang tidak bakal mau mendengarkanku dan bahkan akan menyeretku kalau perlu. Lagipula, aku juga tidak akan bisa melakukan apapun di rumah. Kejadian hari ini masih meresahkanku.

Aku menyelip masuk ke dalam mobilnya tanpa satu kata pun dan langsung memandang kaca mobil seketika pintunya tertutup.

"Malam juga, Say. Iya, aku tahu kamu rindu banget sama aku. Kamu perhatian banget, deh."

Aku tidak membalas sindirannya. Itu hanya akan memulai perdebatan yang panjang. Biasanya aku memang mudah terpancing dan dia selalu sukses membuatku emosi, tapi tidak malam ini. Aku terlalu capek buat meladeninya.

Aku bisa merasakan tatapan menusuknya sebelum mobil mulai bergerak, tapi aku terus memainkan HP di pangkuanku. Aku rasa aku harus mengabari Chan soal hari ini, tapi di lain pihak aku masih mau menyimpannya rapat-rapat.

Satu retakan saja dan aku bisa hanyut terbawa arus.

Lihat selengkapnya