"Makasih, ya."
"Adora, tunggu."
Aku menatap matanya. "Ada apa?"
Bintang terdiam sesaat, lalu melembutkan pegangannya pada pergelangan tanganku. "Deal kita masih on, kan?"
Dahiku mengernyit. Kenapa dia bisa berpikir kalau urusan kami sudah selesai?
"Iyalah. Citra kan belum nyerah sama lo dan gue belum puas."
Senyum Bintang mengembang, "Puas pacaran sama gue atau...?"
"Kepala lo gak pernah meledak apa? Gue aja takut," ejekku.
"Ya udah. Night," katanya dengan senyum tipis.
Membalas senyumnya adalah hal yang mudah. "Night."
Aku menutup pintu mobil dan melambaikan tangan, menyaksikan mobilnya tenggelam dalam kegelapan malam. Tapi, bintang pasti bersinar di kegelapan.
Aku tersenyum pada diri sendiri dan masuk ke rumah. Setelah menutup pintu, aku melangkah pelan ke dalam dan berhenti di depan foto berbingkai besar. Untuk pertama kalinya, aku memberanikan diri mengangkat mukaku dan menatap wajahnya.
Senyum manisnya yang abadi dan matanya yang mengilat seperti bintang.
"Mama cuma bisa dimiliki sama lo dan cuma lo yang benar-benar dicintainya. Apa itu belum cukup juga? Lo harus banget nyiksa gue kayak gini?"
Perlu waktu bertahun-tahun untuk menekan perasaan sepi itu dan hanya perlu melihatnya sekilas saja untuk membangkitkannya.
Malam ini pikiranku dapat teralihkan oleh Bintang dan keluarganya, tapi kini aku kembali tanpa seorang pun di sini untuk menemaniku. Sedih, tapi aku sudah terbiasa.
Jantungku berpacu cepat dan aku kepikiran untuk mengabari Chandra, tapi aku menahan niatku. Aku belum siap untuk terjun ke dalam percakapan yang canggung itu.
Lagian, bebannya juga sudah cukup berat.
[. . .]
Aku tidak bisa tidur semalam. Alhasil, aku berjalan seperti zombie dengan mata panda di koridor sekolah yang masih kosong. Suara riang kumpulan cewek menghampiriku dari belakang, tapi suara mereka tiba-tiba lenyap.
"... kan teman lu!"
"Ih! Udah dibilangin dia itu temannya Leila!"
"Ya dia kan teman lu juga!"
Tanganku berhenti menarik pintu loker terbuka dan mataku mendapati Marsha, Trisha, dan dua cewek lainnya menatapku dengan pandangan ragu. Mereka kaget saat mendapatiku melihat mereka dan bertingkah canggung.
"Eh... hai, Adora." Nada Trisha terdengar ganjil, tapi aku tidak terlalu peduli.
Aku mengangguk, tidak memiliki energi yang cukup untuk tersenyum. "Hai."
"Kita duluan ya..." kata Marsha dengan sopan.
"Oh, iya...?" balasku heran.
Mereka berjalan cepat dengan bisikan yang makin keras semakin jauh mereka berada dariku. Gosip miring apa lagi yang mereka dengar tentangku?
Sebuah kertas terlipat yang mulai aku kenal melayang ke tanah saat aku membuka loker lebih lebar lagi. Surat keempat. Aku mulai yakin kalau yang mengirim surat dan mawar ini Bintang.
Aku mungkin tidak berani mengusap air matamu, tapi ketahuilah kalau aku pun ingin menangis saat kau menangis.
- S
Perasaanku tidak enak dalam perjalanan ke kelas. Ketika aku sampai, teman-teman sekelasku sudah berkumpul di satu meja dan lagi asyik membicarakan sesuatu. Mataku langsung tertuju pada bangku yang masih kosong.
Aku merasa sedikit lega. Tapi kemudian aku sadar kalau kini tiap pasang mata terarah kepadaku. Aku mengernyit.
"Ngapain lo semua liatin gue?"
Semua yang berkumpul di depan meja itu menyebar menjauh dan aku menangkap senyum tipis Citra yang cepat sekali hilang.
"Adora," panggil seorang cewek.
"Apa?"
Dia terdiam dan memandangiku dari atas sampai bawah dengan pandangan menilai.
"Citra, lo pasti bohong. Udah, jangan nyebarin fitnah lagi. Ini sudah keterlaluan banget," ujar Kaka dengan raut muka cemas.
"Lo semua tau kan kalo gue itu mudah banget dapetin informasi apa pun?" desah Citra. "Buat apa juga gue bohong? Informasi yang gue dapetin itu dari tetangga-tetangga lamanya, jadi itu bukan fitnah karena udah diverifikasi."
"Fitnah apaan?!" Suaraku meninggi tanpa sadar.
Kesabaranku mulai habis. Citra tipe orang yang bermain dengan pelan, tapi dia juga menusuk secara perlahan agar dia bisa menikmati tiap detik korbannya berteriak kesakitan.