Adora

Puteri M.
Chapter #16

Bab 16

Tersenyumlah.

Kamu pantas berbahagia.

- S

Surat kali ini pendek dan entah mengapa, menyinggung. Dia berani menyuruhku tersenyum saat yang aku inginkan hanya mengurung diri di kamar dan merenung.

Aku tidak bisa bahagia selamanya, apalagi saat ini.

Aku menutup pintu loker dan menoleh ke samping. Jantungku berdetak cepat. Aku tidak menyangka melihat Bintang bersandar pada loker di ujung koridor. Sorotan matanya tertuju padaku dan dia melipat kedua tangannya, menunjukkan kesan dingin.

Dia memutuskan kontak mata kami dan berbalik, menghilang di balik tembok.

Tidak mungkin kan dia yang Selama ini mengirimkan surat-surat ini? Pesannya menyiratkan kalau aku harus tersenyum, tapi Bintang malah memberi kesan kalau dia sudah tidak mau berurusan lagi denganku.

Saat rasa kecewa menyelip ke dalam hatiku, aku baru sadar kalau aku menganggapnya teman asli, bukan cuma sebatas rekan kerja. Mengingat dia sudah lebih dulu tahu tentang Natasha, aku pikir dia akan lebih mengerti daripada yang lain. Aku salah.

"Oi, ngapain lo berkhayal pagi-pagi gini?" Suara Lukas–tidak, lebih tepatnya, tangan Lukas menyambut kepalaku.

Aku menghantam bahunya, "Siapa juga yang berkhayal?"

"Jadi lo ngapain?" balasnya.

"Ada orang liatin gue, jadi gue liatin balik..." gumamku kesal.

Aku berusaha menyakinkan diriku. Semakin sedikit temanku, semakin kecil kehilanganku.

"Gitu aja diladenin..." omelnya. "Cepetan, keburu telat nih."

"Wih, Lukas, lo kapan tobatnya? Kemaren?" candaku.

"Ah, banyak ngomong lagi." Kedua tangannya dengan lincah membalik badanku dan mendorong punggungku.

"Oi, gak usah dorong-dorong, gue masih bisa jalan!"

Baru saja kami belok, aku sudah melihat Bintang dan Citra di depan pintu kelas. Citra tersenyum sambil memainkan rambutnya dan Bintang menatapnya dengan ekspresi yang susah dibaca.

"Ah, sial, sial, sial..." gumamku.

"Bintang sayang, kamu romantis banget deh, beliin aku bunga. Kamu kan gak usah repot-repot."

Aku hampir muntah mendengar suara menyebalkannya yang sengaja dibuat-buat, tapi aku tiba-tiba menyadari sesuatu.

Bintang? Citra? Pacaran?

Ini kan sama saja Bintang + Citra = √B x √-C = √-BC = tidak rasional?

Bintang pasti sudah kehilangan akal sehatnya yang masih tersisa, karena dia tidak mungkin bersedia menjadi pacar Citra. Lagian, dia kan pacarku? Kapan kami putus?

"Bin, bukannya kamu punya sesuatu yang mau kamu katakan pada... Adora?"

Namaku tidak pantas diucapkannya. Cabai busuk itu!

Aku mendengar langkah kaki dan berbalik menghadap Bintang. Keningku mengerut. Apa lagi ini?

Matanya menatap lurus padaku dan tanpa aba-aba dia bilang:

"Kita putus."

Dia seperti robot, tidak berekspresi, tidak berperasaan, dan tidak memberi petunjuk. Masa dia berada di bawah kendali Citra?

Aku menyapu penampilannya dari atas sampai bawah, lalu melewatinya dan mendekati Citra yang berdiri dengan kedua tangan terlipat manis dan senyuman kemenangan tersungging di bibirnya.

Sepintas aku melihat bahunya menegang, jadi aku mencoba mengambil beberapa langkah lagi sampai hanya ada setengah meter jarak di antara kami. Tambah satu langkah lagi dan senyumnya mulai berubah resah.

Menarik...

Aku menunduk, menempatkan mulutku di samping telinganya. Dari ekor mataku, aku bisa melihat senyumnya jatuh.

"Lo pemungut sampah pribadi gue, apa?" Tawaku keluar ringan. "Lucu amat."

Setelah itu aku masuk ke dalam kelas dengan puas, tidak menoleh ke belakang sedikit pun. Aku sempat lupa tentang Lukas sampai dia duduk di kursinya. Dia seperti mau bilang sesuatu, tapi Bu Elsi sudah terlanjur masuk.

"Selamat pagi, anak-anak. Sekarang Ibu akan membagikan hasil ulangan kalian." Dia tidak mempedulikan kondisi kelas yang kacau, sudah terlalu terbiasa. "Seperti biasa, Ibu akan mengumumkan lima orang dengan nilai tertinggi. Yang pertama, Maya."

Maya tersenyum menerima tepukan meriah seisi kelas.

"Yang kedua, Citra."

Tepukannya mereda secara signifikan sehingga hanya tersisa satu tepukan kecil pada akhirnya.

"Yang ketiga, Kaka."

Beberapa kawannya, termasuk Rio, menepuk-nepuk pundak dan punggung Kaka yang tersenyum tersipu-sipu. Leila bahkan mampir ke tempatnya hanya untuk mendorong kepalanya ke bawah sebelum kabur ke tempatnya sambil terkekeh.

"Yang keempat, Adora, dan akhirnya, Denis."

Aku tidak menghiraukan bisikan-bisikan yang memenuhi seisi kelas dan tawa kecil yang tersisip tiap beberapa detik. Aku masih tidak percaya Citra bisa mendapat nilai matematika tertinggi kedua dengan mudah. Absennya kan bolong-bolong?

Dia beneran jenius atau sangat suka dengan matematika doang?

Lihat selengkapnya