Aku menutup pintu kamar mandi, berjalan ke arah laptop sambil menyeka rambut basah yang masih menetes ke lantai. Harusnya aku sudah berhasil tembus ke database sekolah sekarang. Bibirku mengembang dan perlahan aku merangkak di atas tempat tidur, menyilang kedua kaki dengan nyaman.
Aku mulai mengklik folder-folder yang ditampilkan pada layar monitor satu per satu. Satu detakan jantung per detik. Dari Adora ke Citra.
Bingo.
Aku mengerutkan alisku. "Kok gak ada bukti nih? Kan gak mungkin nilainya bagus semua. Ulangan yang waktu itu juga sekelas anjlok nilainya, masa dia dapat nilai standar? Bohong banget. Huh."
Setelah beberapa detik, aku mulai mengklik folder-foldernya menyaring isinya sebelum pindah ke folder lain. Karena frustrasi, aku kembali ke folder utama dan menangkap folder yang terlihat menarik.
"CCTV..." Sebuah ide tiba-tiba tebersit di benak gue. "Coba kita lihat... siapa itu S?"
Aku akhirnya mendapatkan rekaman CCTV yang terarah ke lokerku. Aku mempercepat videonya sampai lorong mulai terang dan lampu mulai menyala. Satu atau dua orang siswa lewat, tapi tidak ada yang singgah di lokerku.
Akhirnya, sebelum jam enam lewat empat puluh menit, aku melihat seorang sosok familier.
"Jadi benar kalo lo yang naruh surat-surat itu," gumamku. "Untuk apa juga lo lakuin itu? Kuker amat.”
Dia melihat ke segala arah sebelum menempel bunga mawar beserta surat itu.
Aku jadi berpikir, lalu aku mulai merencanakannya. Sebuah skenario yang melibatkan Citra... dan pengagum rahasiaku. Aku mengangkat HP-ku setengah sadar dan memencet tombol jawab.
"Halo?"
"Bagus, ya. Sekarang baru lo mau menjawab panggilan gue. Tepuk tangan untuk Adora!"
"Oh. Elo," jawabku malas. "Ngapain nelpon gue?"
Chandra terdiam di ujung panggilan.
"... Sebenarnya apa aja yang lo sembunyiin dari gue?"
"Gue ketemu..." Aku menahan napasku sebelum suaraku goyah, "... dengan mamaku."
Sekilas bayangan Chandra yang terbelalak mendengar bom yang baru aku jatuhkan melintas di benakku, membuatku tersenyum tipis.
"Kapan? Di mana?"
"Beberapa hari yang lalu di mal. Dia lagi jalan sama... gak tau juga sih, tapi kayaknya itu anak barunya. Cewek. Manis. Mungil." Aku terdiam.
"Lo mengkhayal kali." Suaranya terdengar ragu.
"Kenapa bisa? Gue sadar kok. Gue juga udah lama merhatiin mereka. Muka dia dan... tingkahnya ke Natasha betul-betul persis. Dia memang orang yang sama." Pelan-pelan aku berbisik. "Tapi sangat berbeda."
Aku mendengar Chandra membisikkan nama Natasha seakan-akan dia tidak mengerti di mana letak Natasha di percakapan kami. Aku putuskan untuk membeberkan semuanya saat itu. Jujur saja, aku sudah tidak peduli lagi.
"Terus... Citra udah beberin cerita tentang Natasha."
"Citra tau tentang Natasha? Yang benar?!"
"Itu kan dulu buah bibir keluarga kita dan tetangga gue." Aku tertawa miris. "Kenapa kaget? Dia emang ahlinya nyari rahasia orang."
"Lalu kenapa sekarang Bintang jalan dengan Citra?"
"Mana gue tau. Tiba-tiba aja sikapnya berubah drastis. Gue gak pusing sih. Gue cuma heran kenapa seorang Bintang yang amit-amit banget sama Citra akhirnya jadian dengan dia. Gue curiga mereka emang punya history, sih."
"Lo serius gak papa?" Chan terdiam sejenak, suara berikutnya keluar lebih lembut. "Lo mau gue nemenin lo?"
"Gak kok." Aku akhiri panggilannya. "Urus aja diri lo dulu."
[. . .]
"Aaaah, LOLOS!" Aku tersenyum lebar sambil berlari melewati gerbang sekolah yang sedang ditutup Pak Mufan.
"Yaaak, lolos dia Bu. Hukum aja ah," candanya.
"Yahhh, Bapak! Tega amat, Pak," balasku sambil tertawa.
Aku menyalami Bu Elsi yang tersenyum melihat tingkahku.
"Hampir kamu kena, Adora," sahutnya.
"Iya, Bu," jawabku dengan senyum simpul.
"Biasanya kamu sudah datang setengah jam yang lalu. Telat bangun, ya?"
Sebenarnya aku cuma bengong di atas tempat tidur lima menit lebih lama dari biasanya. Yang bikin aku telat itu menimbang-nimbang apakah parfum yang aku semprot sudah cukup atau masih kurang dan rambutku yang kusut.
Oh, dan aku lupa di mana aku taruh sepatuku.
Dan aku juga lupa mengatur roster untuk hari ini.
#TipikalAdora
"Yah... gitu, deh Bu." Aku tersenyum kikuk.
Saat aku masuk ke koridor letak lokerku, aku langsung melihat Citra dan kawanannya datang dari arah yang berlawanan. Tebak lengan siapa yang dirangkulnya dengan manja?
Ini kesempatan yang tidak boleh aku lewatkan.
Aku memasang senyum termanis yang bisa aku bentuk. Dengan kepercayaan diri yang tidak bisa asal dibuat, aku melenggang ke arah mereka seperti berjalan di atas runway.
...
Sok banget.
Satu jari mengetuk pundak Citra dan pandangannya langsung melayang ke arahku.