"Apa aja yang lagi main di bioskop?"
"Hmm... yang paling bagus tuh Doraemon. Titik."
"Gak ada yang lain apa? Sumpah. Lo kayak anak kecil beneran."
Mirip-mirip Chan.
"Ehehehe... gue kan emang masih muda," ujar Alex bangga, mengangkat dagunya.
"Haduh..." Aku cuma bisa menghela napas pasrah melihat tingkah bocah satu ini.
"Yak, sampai deh!" Alex buru-buru membuka pintu besar dan membungkukkan punggungnya seakan-akan memberi hormat. "Yang mulia Ratu Adora telah tiba!"
Mataku berpaut dengan mata Yuna yang dengan cepat melangkah ke arahku. Alex menarikku ke dalam ruangan sejuk itu.
"Heiiii..." sapa Rafa yang duduk santai di kursi yang biasa ditempati pengurus perpus.
Aku langsung ke intinya. "Lo mau ngomong apa?"
Yuna melambaikan tangannya pelan, mengode aku untuk mendekat. Dia langsung meraih pergelangan tanganku dan membawaku ke dalam sebuah ruangan di perpus itu. Ada cowok yang berbaring di sofa, lengannya menutup sebagian mukanya dan kedua matanya. Biarpun begitu, aku langsung tahu dia siapa.
"Maksud lo apa sih?" bentakku.
"BINTANG! Dia ada di sini, kan?! Lo aja berkumpul di sini." Saat mendengar suara Citra yang mengamuk, Yuna langsung keluar dan mengunci pintu.
Aku cuma berdiri menganga sambil memproses apa yang baru saja terjadi. Aku perlahan mendekat ke pintu dan menempel telingaku.
"Dia kan lagi sakit!"
"Jangan teriak-teriak dalam perpus," sergah Rafa.
"Emang lo penjaga perpus?! Minggir, ah!"
Tadinya aku mau teriak biar Citra tahu kalau aku ada di sini dengan pacarnya, tapi mengingat kekuatan yang dia miliki untuk menghancurkan reputasi seseorang dalam sedetik mengurungkan niatku. Aku malah menjauh dari pintu yang tiba-tiba bergetar.
"Pintu ini kenapa dikunci?!" pekik Citra dengan nada tinggi yang penuh kekesalan.
"Karena ada orangnya, lah. Mikir dong!" bentak Alysha.
"Pasti Bintang ada di dalam, kan?! Kuncinya di mana?!"
"Ish, kalo emang ada Bintang di dalam, lu mau apa? Dia tuh sengaja jauhin lo, tau! Nyadar, dong!" celetuk Naila.
"Udah, udah, mending lo keluar deh. Ini perpus, bukan lapangan tempat teriak-teriak," ujar Rafa.
Perlahan protes Citra tidak terdengar lagi, apalagi setelah terdengar bunyi keras yang menandakan seseorang telah membanting pintu.
"Loh, gue ditinggal nih?" gumamku ke diriku sendiri. "Yang bener aja."
Hentakan batuk menarik perhatianku. Aku memutar kepalaku dan menangkap pandangan mata Bintang yang sayu.
"Ngapain lo di sini?" tanyanya lemah sebelum menutup kelopak matanya.
"Gak tau. Tanya aja sama teman lu,” gumamku, menyalakan layar ponselku.
Aku langsung mengecek pesan WhatsApp yang paling atas.
|Lo ke mana?| - Lukas
Duh.
Apa aku minta tolong saja ya sama Lukas buat mengeluarkan aku dari sini?
"Dor, kita kembali seperti dulu, yuk."
Jantungku berhenti selama satu sekon. Aku mencoba mencari keseriusan atau kebohongan dalam raut wajah Bintang, tapi dia malah memandangiku dengan lemas.
"Lu sakit?" kataku sadar.
"Biar gue lagi sakit, gue masih bisa berpikir rasional kok," gerutunya pelan.
"Gak mau. Lo kan punya Citra," ujarku, memberengut.
"Gue bakal putusin dia. Lagian, apa pun yang gue lakuin, dia bakal tetap mengincar lo." desahnya. "Kan sia-sia. Dari pada lindungin lo dari jauh di sisi musuh, mending gue di sisi lo, berperang sama lo..."
"Ini bukan–" Setelah aku pikir-pikir lagi, memang kayak perang sih.
"Jadi lo lakuin itu semua untuk bantu gue?" Aku tersenyum geli.
Bintang mendengkus sebelum membalikkan badannya membelakangiku, "Kayak lo gak pernah gitu juga. Bukannya lo sekarang gak bicara lagi dengan Leila karena alasan yang sama? Toh, kita gak jauh beda. Pacaran, yuk."
"Hah?! Beneran gila lu." Aku mengetuk kepalanya pelan. "Katanya biar sakit masih waras!"
Bintang terkekeh, badannya kembali pada posisi tidur yang semula. Baru sekarang aku mendapat kesempatan untuk menganalisis wajahnya dengan teliti. Mukanya merah padam. Lehernya berdenyut keras dan dadanya berdetak hebat.
"Gila... parah banget sakit lo. Masa lo gak ke dokter?"
"Udah. Toh obatnya di atas meja."
Aku melirik ke meja di belakangku dan benar saja, ada tiga bungkus obat yang tergeletak di samping sebotol air mineral.
"Ck. Lo ini, ya. Untung kita udah temenan lagi." Aku mengambil satu per satu obat itu sambil membaca labelnya. "Gua kasih tau ya, lo itu beruntung punya temen... yang baik kayak gue! Kayak Rafa, Alex, dan yang lain juga, sih... tau gak?"
"Iyaaa, tau..." jawab Bintang.
"Anggap aja ini special service karena kita udah temenan lagi," ucapku, memegang botol itu di tangan yang satu dan obat-obatnya di tangan yang lain. "Nih, minum obat lo. Yang mana yang udah lo minum?"
"Belum ada," jawabnya sambil mencoba untuk duduk.
Aku menaruh botol dan obatnya dulu sebelum membantunya duduk. Dia benaran lemas. Tangannya saja bergetar.
"Lo kenapa gak istirahat aja di rumah?"
"Tadi gue masih hangat-hangat, sekarang baru panas."