Aku memang sudah menduganya, tapi sepertinya aku belum siap. Meski begitu, aku jadi makin penasaran. Aku tidak bisa menghentikan jariku mengetik balasanku.
|Siapa?? Lo tau dari mana?|
Chan langsung mengirim sebuah dokumen Word dan aku membukanya tanpa menunda-nunda.
Nama: Amelia Cynthia J.
Mataku terpaku pada wajahnya. Senyum yang manis, mata besar yang berkilau, muka yang kecil... boneka pengganti Natasha.
Dadaku sesak. Aku memutuskan untuk menyimpan dokumen itu sampai aku berada di rumah. Ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk membacanya dan membuka luka lama.
Jariku dengan lancar menyelesaikan pesan yang kuketik. Setelah mengecek tiap bagian dan memastikan tidak ada kesalahan sedikit pun, aku mengirimnya sambil berdoa dalam hati kalau si penerima akan bereaksi sesuai dengan teoriku.
Kemudia aku terpikir akan sesuatu yang ganjal.
|Lo sewa detektif swasta, ya?|
|Ish, buat apa kalo informasinya disediakan di internet 😏|
|Mayan banget, bos|
|Oh, iya dong. Harus bisa, lah.|
|Lo gak masuk kelas?|
|Ehh... baru mau masuk.|
Grup WA kelasku dari tadi berdering, jadi kubuka chat-nya dan berharap tidak ada guru yang masuk.
|Ada guru ga??|
|Gak ada. Lo dimana Brian?|
|Free, Bro, free|
|Kalo gitu gue gak usah masuk deh|
Tiba-tiba masuk pesan dari Bocah Bintang.
|Ra, lo di mana?|
Lukas tidak mencariku? Wah, perhatian sekali.
|Di toilet. Kenapa?|
|Ke ruang OSIS dulu dong. Ada yang pengen gue ngomongin sama lu.|
|Ya... gitu doang.|
|Mama gue juga ada nitip bekal buat lo. Jangan berani lo tolak.|
|Lho, dia belum tau kalau kita udah putus?|
|Makanya cepetan siniiii|
Yah... mumpung aku ada waktu luang, aku pergi saja. Lagi pula, siapa yang bisa menolak makanan gratis? Apalagi masakan mamanya Bintang enak banget.
[. . .]
"Woi, gue udah dateng," sahutku seraya membuka pintu ruang OSIS.
Mataku bertemu dengan sepasang mata galak yang tak lain dimiliki oleh Citra. Aku pelan-pelan menutup pintu.
"Liatin Citra tiba-tiba nafsu makan gue hilang..." kataku pada diri sendiri sambil mengusap-usap daguku.
BAM!
Pintunya terbuka cepat. Hal pertama yang kulihat adalah Citra yang ditahan oleh Bintang. Wajahnya merah padam dan rahangnya keras. Dia seperti singa betina yang siap menerkam.
"LEPASIN, BIAR AKU HABISIN ANAK PENYAKITAN ITU!"
"Eeeh... bukannya lo yang sekarang kayak orang gila? Ngaca, dong..." ucapku santai, melipat kedua tangan di depan dada.
"Kenapa lo gak kembali aja ke Bu Theona?! Biar dia yang urus anak gila macem lu!" pekik Citra dengan nada tinggi, memberontak sekuat tenaganya.
Bagaimana pun juga, Bintang lebih kuat dari Citra. Kalau badannya tidak sekecil itu, mungkin saja dia bisa menang.
"Urusan gue sama Bu Theona udah kelar. Lo mau gue daftarin? Entar gue cariin nomornya." Jawabku tenang.
"Cit, udah! Gue sudah muak sama tingkah lo. Keluar, deh," bentak Bintang.
"Bin, lo gak bisa mutusin gue kayak gini, Bin, Adora itu lebih jahat dari gue! Kenapa gue gak boleh ganggu dia sedikit aja?!"
"Yang lu lakuin ke semua orang itu kelewat batas."
"Kenapa baru sekarang lo komentar?! Ini gara-gara dia, kan! Dasar wanita–"
"CITRA!" Bintang mencengkeram kedua pergelangan tangan Citra. "Keluar. Sebelum gue betul-betul hilang kesabaran."
Citra menatap mata Bintang dalam-dalam dengan raut wajah tersiksa. Dia menggigit bibirnya dan berbalik, menyenggol bahuku dengan sengaja. Bintang mendesah panjang, menarikku ke dalam, lalu menutup pintunya.
"Itu makanan lo. Habisin," perintahnya singkat.
"Emang lo udah makan?"
Dia mengangguk, lalu kembali mengurusi lembaran-lembaran yang tertumpuk di depannya.
"Rajin amat, bos. Gak bisa santai dikit?" kataku sambil membuka kotak bekal berwarna pink yang mulai pudar. "Waaah... rapi banget."
Rupanya mamanya Bintang termasuk orang yang kreatif. Sosis-sosis berbentuk gurita, lengkap dengan mata, mulut, dan alis, berjejer mengelilingi nasi berbentuk beruang dengan wajah imut.
"Oh my god, I love this," gumamku.
Dari ujung mataku, Bintang mendongak melihat wajahku dan tersenyum sebelum menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
"Mama lo pasti sayang banget sama lo," ungkapku.
"Karena dia selalu hias bekal gue?" kata Bintang datar.
"Kerja kerasnya bisa dilihat dari seberapa enak dan cantiknya bekal lo," balasku dengan senyum lebar.
Bintang mendesah, "Dia menghias bekal gue karena dia pikir gue masih kecil."
"Lah, lo kan anak tunggalnya. Sudah pasti mamamu sayang banget sama lo. Sampai kapan pun, lo tetap Bocah Bintang di matanya," candaku.
Tiba-tiba ponselku berdering. Satu tanganku mengorek saku rokku sementara yang lain sibuk menyuap makanan.
"Hmm?"
"Lo di mana?"
Aku menelan cepat-cepat, "Di ruang OSIS."
"Ma... apa?"