"Gue gak nyangka, sih, kalo masalah lo seperti itu. Simple, tapi terlalu berat. Apalagi kalau ditanggung sendiri," gumam Bintang. "Papa lo?"
"Gak peduli. Gue rasa dia gak ingin mengakui keberadaan gue. Dengan begitu, akan lebih mudah baginya... untuk menipu dirinya sendiri."
"Menipu dirinya sendiri?" Bintang mengernyitkan dahinya.
"Berpikir kalau semuanya baik-baik saja." Aku menelan ludah dengan susah payah. "Gue rasa dia masih gak bisa nerima gue. Gue udah menjalani terapi psikilogis biarpun gue gak bermasalah, tapi tetap aja dia gak nganggap gue sebagai anaknya. Gue cuma cerminan anak mereka yang gak bakalan bisa mereka dapatkan lagi."
"Kamu lebih sayang dia, kan?! Ya sudah, kamu ambil saja, biar aku gak usah liat anak kamu lagi!"
Papa tidak pernah menanggapi perkataan Mama waktu itu.
Aku bukannya lebih dekat dengan Papa, tapi sifat aku dan Mama berbeda, jadi mungkin aku lebih cocok dengan Papa. Mengingat Mama membenciku dan Papa cuek saja, kurasa memang lebih baik kalau aku sama Papa.
Lebih aman.
"Terus... lo kok bertingkah seakan-akan lo anak yang bermasalah? Padahal keluarga lo baik-baik aja," ujarku.
Bintang terkekeh ringan, "Ini cerita yang agak panjang, mending lo bikin nyaman diri lo dulu deh."
Aku langsung meraih bungkus snack yang belum dibuka, "Tunggu, tunggu."
Setelah membuka sekaleng Fanta yang dingin, aku pun menatap Bintang sebagai tanda kalau aku sudah siap mendengar sebagian dari cerita hidupnya, dan mungkin akar dari kepribadiannya yang bermasalah.
"Jadi dulu waktu gue masih SD..." Bintang berhenti sejenak.
"Lo kenapa waktu SD?" tanyaku penasaran.
"Gue termasuk pintar, nalar gue udah jalan dengan lancar, tapi sebagai anak kecil gue masih butuh bimbingan, lah. Lo perlu tau ini," jelasnya.
Aku bingung, tapi mengangguk mengiyakan perkataannya.
[. . .]
"Bintang aja yang jadi superhero-nya!"
"Lho, kok Bintang lagi sih? Aku juga mau jadi superhero-nya!" protes Bobby.
"Kamu kan lebih cocok jadi penjahatnya, Bob." sahut salah satu temannya.
"Iya, kamu gendut, item, jelek lagi. Kan cocok jadi penjahat, hahaha!" kata yang lain.
Bobby hanya memicingkan matanya dan memajukan bibirnya. "Ini kan cuma permainan!"
"Ya udah, kamu aja yang jadi superhero-nya. Aku capek jadi superhero," kata Bintang, menyudahi percakapan mereka.
Bobby sempat menatapnya tidak senang, tapi akhirnya dia tersenyum dan mengangguk dengan anak-anak lain. Permainan mereka menyenangkan, sampai tiba pada titik yang tidak menyenangkan lagi.
"Bintang, kamu harus dihukum! Kamu penjahat yang selalu seenaknya. Kamu gak boleh dibiarkan!" seru Bobby.
"Iya, hukum dia!"
"Udah, deh! Ini gak lucu, tau!" teriak Bintang saat teman-temannya menahannya pada sebuah pohon dan mulai mengikatnya.
"Kamu jahat, makanya kamu pantas dihukum!" ujar Bobby. "Ayo, teman-teman, kita tinggalkan dia."
Beberapa melirik satu sama lain, meragukan keputusan mereka, tapi akhirnya mereka mengikuti Bobby dan meninggalkannya.
"TEMAN-TEMAN, LEPASIN!"
[. . .]
"Dan lebih kurang ajarnya lagi, mereka ninggalin gue sampai malam." Bintang menunjukkan senyum remeh.
"Lo gak dicari sama orangtua lo?"
"Mereka nanya ke satpam, terus mereka bertiga nyari keliling kompleks, dan akhirnya satpamnya denger gue nangis. Pertama gue dikira hantu, lho," tawa Bintang. "Tapi untung juga."
"Lo pasti nangis kecil-kecil, kan?" tuduhku.
Bintang mengangguk, "Gue udah capek teriak-teriak, ditambah lagi gue lapar. Kebayang gak ilmu apa yang Bobby pake sampai gak ada orang yang liat gue di taman bermain?"
"Bisa juga, ya..." ujarku sambil memproses semuanya.
"Tapi, ya, tamannya juga ada di sudut, sih. Bobby juga licik. Dia ikat gue menghadap tembok, jadi gue benar-benar gak keliatan dan gak bisa liat orang lewat."
"Sadis amat... kayaknya dia dendam deh sama lo."
Bintang mengangguk pelan, "Setelah gue udah tenang, mama gue bilang kalo gue harus maafin dia. Dia bilang kalo gue itu baik, makanya gue harus maafin dia. Dan lo tau apa yang gue lakuin?"
"Lo balas dendam?"
"Gak." Bintang tersenyum simpul. "Gue diamin dia sampai kelakuannya makin menjadi-jadi. Dia nempatin gue sebagai orang yang bersalah, bukannya korban. Dari situ gue belajar, kalo gak semua orang harus dibaikin."
"Oh–"
"Nomor dua, baik itu nyusahin. Sekali lo berbuat salah, image lo rusak. Dan sebagai orang yang baik, lo diharuskan untuk sabar dan memaafkan setiap saat."
"Iya sih..." gumamku. "Tapi kan itu semua butuh waktu. Pelan-pelan, lo pasti bisa."
"Dan terakhir, gak baik bukan berarti jahat. Gue dicap sebagai penguasa jalanan gara-gara teman gue suka balapan liar. Menurut lo, itu membuat gue jahat ato gak?"
Alisku mengernyit. "Hmm... lo mau nyuci otak gue, ya?"
Bintang tertawa lepas, "Oke, oke. Jadi balapan liar itu sebenarnya lumayan menyenangkan. Lo kan tau cowok itu paling tinggi harga dirinya. Gak mungkin lah kita mau dikalah."