"Jadi... Rio..." ucapku terbata-bata.
Leila melirikku malas dari ujung matanya, "Gue gak bisa."
Aku hampir tidak menangkap ucapannya.
"Apa?"
"Gue gak bisa kehilangan dia, tapi gue juga gak mau dia direbut cewek lain."
"Jadi lo tau tentang perasaannya terhadap lo?" tuduhku dengan dahi mengernyit.
"Dia gak tau apa yang dia rasain. Kalau misalnya aku dan dia jadian, lalu ternyata perasaannya tidak sama seperti gue?"
"Gue rasa itu gak mungkin," selaku dengan lincah.
Leila terkekeh ringan, "Lo aja belum tau apa yang lo rasain terhadap Bintang."
Aku memicingkan mataku curiga, "Kenapa kalian semua bilang Bintang?"
"Emang siapa lagi? Masa Lukas?"
Aku mendekat ke mukanya, "Memangnya kenapa kalo Lukas?"
Leila terdiam, "Lo berbeda kalau sama Bintang. Gitu juga sebaliknya. Awalnya susah banget dipercaya."
"Masa sih? Berbeda apanya?"
"Haish... gak tau, ah. Susah jelasinnya." Leila mengibas-ibaskan tangannya mengusirku. "Pokoknya kayak orang jatuh cinta."
"Waktu itu kan..." aku berhenti.
Waktu itu kan aku sama Bintang pura-pura pacaran, jadi sudah pasti kelihatan seperti pasangan yang benar-benar jatuh cinta. Huh!
Melihat Leila mengatupkan kedua matanya, aku pun mengikutinya. Lebih baik kami beristirahat sebelum bertanding daripada sibuk memusingkan masalah percintaan.
‘Toh, jodoh juga gak bakal ke mana,’ batinku dengan sebuah senyuman di bibirku.
[. . .]
Seseorang mengutuk di sampingku, "Gak heran ini jadi sarang orang kaya."
"Hm?" gumamku seraya meregangkan kedua lenganku ke atas.
"Kita udah nyampe," kata Leila. "Cepetan turun sebelum kita diinjak yang lain."
"Iya deh," jawabku setengah-sadar.
Saat menuruni bus, mataku berpaut dengan mata Bintang yang menaikkan satu sudut bibirnya menjadi senyum miring dan mengangkat tangan untuk menyapaku.
"Gimana perjalanan lo?"
"Gak gue hafal. Gue tidur sih," candaku.
"Tukang tidur," katanya sambil mengacak-acak rambutku. "Gimana percakapan lo dengan Lukas?"
Aku menatap matanya yang meneliti ekspresiku, berharap matanya dapat mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.
"Emm... aneh. Gue bilang A, dia bilang B. Gak nyambung deh."
"Memangnya apa yang dia bilang?" tanyanya dengan senyum manis yang jarang diperlihatkannya.
Ekspresinya menunjukkan bahwa dia mungkin tahu apa yang Lukas katakan dan dia hanya mengujiku untuk mengetahui secara pasti perkataan Lukas.
"Ya... aneh lah."
"Kok aneh?" kekehnya.
Benar-benar tidak seperti Bintang yang biasanya.
"Udah, ah. Gue mau ke grup gue. Lo juga pergi sana ke kelompok lo," ujarku mendorongnya pergi.
"Nonton gue, ya," katanya sebelum pergi.
"Nonton dia? Emang pertandingannya gak mulai di waktu yang sama?"
"Mulai di saat yang bersamaan, tapi kalau kita cepat selesai, lo bisa liat doi lo, kok," Leila muncul dari belakang dengan cengiran khasnya.
Akhirnya sebagian dari sifat Leila mulai kembali. Aku hampir merindukan godaan dan ejekannya.
Kami mengikuti Bu Gemma yang mendaftarkan kami, lalu membagikan kartu pengenal bagi kami semua. Setelah itu, kami dituntun cewek manis berkuncir dua ke lapangan voli yang seperempat penuh.
"Gila... ini pasti surga cogan." Salah satu cewek yang duduk di barisan bangku terdepan mengipasi dirinya sendiri.
Aku mendongak ke atas. Memang hari ini matahari agak terik.
"Lo gak mau nyari bintang yang lebih bersinar, Dor?" goda Leila.
"Ah, gak. Satu aja udah bikin ribet." Mataku menangkap sekelompok cewek menuruni tangga ke arah lapangan voli, salah satu dari mereka melempar-lempar bola di tangannya.
"Lei, liat tuh. Itu kayaknya anak ALB, deh," sahutku.
"Bagus. Ini kesempatan kita mempelajari mereka."
"Bagus kalo kita bisa tau pola serang atau bertahan mereka, kalo gak?" gumamku.
"Kalo gak, kita pelajari aja titik lemah mereka," balas Leila dengan semangat yang tidak terpatahkan.
‘Itu lebih susah kali, Lele.’
Leila menepuk bahuku, "Lu liat tuh, yang rambut pirang?"
"Pirang mana?"
"Yang paling pirang! Gak terlalu jelas sih, tapi pirangnya lumayan keliatan!"
"Ohhh... gue liat, gue liat," Aku mengangguk mengerti.
"Dia kalo servis selalu nyerang yang paling belakang, tapi kalo dia kelamaan servis, dia nyerang daerah tengah," jelas Leila.
"Hah!" Setelah aku perhatikan, benar juga kata-katanya. "Pintar amat lo ngawasin orang."
"Nah, yang itu tuh. Yang di tengah. Passing atasnya lemah." Leila tiba-tiba berhenti. "Pantes aja mereka kayak gitu... kayaknya ini bukan tim andalan ALB deh."
"Sudah pasti. Kita aja ada dua tim," ucapku. "Yang penting kita bisa ngalahin salah satu dari mereka, lah."
"Ogah! Mana yang paling kuat, gue mau nantangin," omel Leila tiba-tiba. "Payah banget lawan orang lemah."
Aku mengetuk kepalanya, "Jangan sombong dulu, woi! Entar kalo kita kalah?"
"Gak bakalan, percaya deh sama gue!" kata Leila berapi-api. "Gue jagonya nyari titik lemah ginian!"