"Whuuu! Menang, coy!" seru Leila dengan senyum lebar.
"Wuahaha!" tawaku dengan kedua tangan diangkat ke atas.
"Whuu!" seru Yuna, menari bersama Nayla.
"Baru satu babak, jangan sombong dulu lo," ujar suara yang sudah lama tidak kudengar.
"Udah, yang gak bisa menangin satu babak diam aja, deh," balas Leila, memutar bola matanya.
"Itu kan baru satu babak. Lagian lawan kita tim B ALB. Masih untung kita bisa cetak sepuluh poin," ujar Citra dengan sombong, melipat kedua tangannya.
"Baru cetak setengah poin aja udah sombong kayak menang undian satu miliar," gerutu Leila.
"Udah yuk, gak usah ladenin dia, deh. Mending kita nonton Bintang main basket aja, sekaligus nyuci mata, hehehe." Mata Yuna mulai berbinar.
Tanpa melihat Citra lagi, mereka beranjak pergi meninggalkannya.
‘Tumben teman-temannya tidak kelihatan,’ batinku.
"Apa lo liat-liat?" bentaknya geram.
"Gue kasihan sih sama lo, tapi lo harus belajar dari apa yang lo lakuin ke orang lain. Apa yang lo tabur, itu yang lo tuai," sahutku pelan.
Sejujurnya aku sudah lelah berurusan dengan Citra. Semua drama yang kualami tidak ada faedahnya, apalagi kalau diteruskan. Aku juga bukan tipe orang yang suka membuat masalah untuk membumbui kehidupan nyata yang membosankan.
Biarlah kehidupanku biasa-biasa saja, yang penting semuanya lancar-lancar. Terlalu banyak hal yang baik tidak berarti membuat hidup lebih baik. Kadang keuntungan seseorang bisa menjadi sebuah alasan untuk menghancurkan kehidupan orang itu.
"Lo gak usah ngurusin hidup orang lain, Adora. Mentang-mentang hidup kamu–"
Aku langsung berbalik, "Bukannya yang suka ikut campur dalam urusan orang lain itu kamu, Cit?"
Citra membalas dengan menatapku tajam, seakan-akan hari di mana dia dapat berbahagia adalah hari di mana dia menghancurkanku. Aku tidak tahu selama apa aku berdiam diri seperti itu, tapi pada akhirnya aku bosan sendiri dan meninggalkannya.
Mungkin suatu hari dia akan mengingat masa-masa SMA-nya dan menyadari betapa menyedihkannya dirinya.
"Woi, dari mana aja lo?" tanya Yuna saat aku mengambil tempat di sampingnya. "Bintang dari tadi nengok-nengok ke sini, tau gak?"
"Gak tau lah, gue kan baru datang," balasku dengan senyum menyeringai.
Ekspresi senang Yuna menghilang dan dia menatapku malas.
"Leila mana?"
"Tadi pergi sama Rio," jawab Nayla, karena sekarang Yuna ogah melihatku.
"Kaka di sini!" Kami menoleh ke arah Kaka yang duduk di belakang kami, satu tingkat lebih tinggi. "Gak ada yang nyari Kaka, sih."
"Ahahahahaha! Gokil amat lu," tawa Nayla, menghapus air mata bahagia di sudut matanya.
"Iya deh, iya."
"Gak lucu kok," sahut Yuna bingung.
Aku dan Nayla membulatkan mata kami.
"Candaaa, canda, hahahaha!" Yuna mencoba menahan senyumannya. "Ehh, udah mulai tuh!"
Setelah beberapa coba, aku akhirnya menemukan Bintang, cowok yang membuatku penasaran, di antara kerumunan cowok berseragam putih yang serupa. Seragam putih sekolah kami dan seragam biru muda ALB mengingatkanku akan awan putih dan langit biru. Perpaduan yang bagus dan ketidaksengajaan yang sempurna.
Mataku terus menelusuri ekspresi Bintang yang berubah-ubah, gerakan tangannya, kedipan matanya, arah geraknya, dalam rangka mengetahui kode yang diberikannya, tapi... sepertinya hanya anggota timnya yang mampu menerjemahkan semua kode itu.
Akhirnya bola itu mendarat di tangan Bintang dan dengan sigap dia membawanya ke daerah lawan, menerobos satu per satu pertahanan mereka sehingga akhirnya mencetak poin dengan lay-up yang berkesan elegan.
Senyum bangga mengembang di mukaku. Di sampingku, seorang cowok malah mengumpat.
"Alvrian di mana, sih?! Ini kan tugasnya!"
"Lagi nyuci piring," jawab temannya tidak bersemangat. "Percaya aja sama yang lain."
Cowok pertama terus-menerus memaki "Alvrian", yang aku asumsikan adalah pemain andalan mereka.
Setidaknya sekarang aku punya alasan untuk mengempiskan ego Bintang kalau timnya menang, karena sepertinya timnya akan menang. Mereka sudah mencetak sepuluh poin sejauh ini, sedangkan lawan mereka baru mencetak satu.
Sumpah, sepertinya tiap kali bolanya dipegang Bintang, poinnya sudah menjadi milik mereka.
Tiba-tiba matanya melirik ke arah sini dan dia membeku.
Aku mengernyit dan dengan polosnya menunjuk diriku sendiri.
Senyum Bintang mengembang dan dia mengangkat tangannya, lalu menunjuk ke arahku.
Saat itu pula, bolanya direbut dari tangannya. Bintang tercengang selama 0,1 detik, karena dia langsung mengejar orang tersebut keliling lapangan seperti banteng gila. Akhirnya pemain itu ketakutan dan mengoper bolanya ke temannya yang dengan cepat melompat untuk mencetak poin.
Dia tidak berhasil. Anehnya, dia malah mengusap-usap dadanya seakan-akan dia lega.
Bintang pun berhenti berlari dan mulai celingak-celinguk. Matanya menyusuri tiap barisan sampai berhenti di daerahku. Dia tersenyum kikuk, melambai-lambaikan tangannya sementara lawan yang tadinya dia kejar sibuk membicarakannya di belakangnya.
Aku berusaha menahan tawaku, tapi akhirnya gagal.
"Kenapa lo?" tanya Yuna dengan dahi berkerut, "Kalo Bintang emosi bahaya, tau! Bisa jadi dia didiskualifikasi, lho. Lo gak khawatir?"
"Lucu banget, sih! Ngejar orang segitunya sampai mirip banteng mengamuk," kekehku.
Yuna menyemburkan tawanya sedetik kemudian bersama Nayla yang bersandar padanya untuk menopang tubuhnya.
"Tapi aneh juga. Bintang kan orangnya jarang banget emosi. Kalo dia emosi, paling juga dia diam-diam," jelas Yuna.
Pertandingannya dimenangkan dengan mudah oleh tim Bintang, sesuai ekspektasi kami. Kami langsung bergerak menghampirinya, tapi tim reporter ALB mendahului kami.
"Hai, kami dari Klub Berita Akademi Langit Bestari. Boleh bicara sebentar, Kapten?" tanya cewek dengan rambut cokelat panjang yang rapi.