"Uuh... gue pengen kentut..." ujar Trisha. "Perut gue mules banget. Gak tahan nih..."
"Dih! Jangan di sini, gila!" tegur Marsha. "Tahan dikit! Udah mau menang, nih!"
"Woi, gue di belakang lo! Nyadar dong!" ujar Anita panik.
"Hahaha! Kentutin aja, kentutin!" tawa Leila.
"Gue mulai nih, gak?" Aku menoleh ke arah wasit yang kemudian meniup peluitnya.
Aku memfokuskan pandanganku ke arah pemain di sudut kiri belakang, tapi aku berubah pikiran. Setelah bolanya kusentil ke atas, aku langsung menaboknya ke daerah tengah.
"Bagus! Mereka kewalahan," ucap Leila. "Yang di depan, fokus!"
"Marsha, ambil bolanya!"
"Duh!"
Bolanya kembali ke daerah belakang dan Leila langsung mengejarnya, berteriak "milik gue!", dan menghantamnya masuk ke daerah lawan dengan kekuatan seorang lelaki.
"Lo pinjem kekuatan Rio, apa?" candaku.
Leila menatapku dengan tatapan mengancam yang lemah, "Yang serius lo."
"Haha!"
"Ani, ambil bolanya!"
"Yap! Duh!"
"Ha!" Trisha melompat ke atas, memblok serangan lawan tepat di atas net.
Bolanya kembali ke lawan. Seorang cewek memukulnya ke atas dan yang seorang lagi langsung memukulnya menukik ke bawah.
"AMBIL!" teriak Leila.
"AAAH!"
Aku menengok ke sumber suara yang berteriak lebih kencang daripada Raina yang berhasil menerima bolanya. Ternyata Kaka yang berteriak karena terlalu gemas. Teriakan mereka berhenti saat bolanya menyentuh tanah.
"Aah..." desahku sambil memijat-mijat kepalaku.
"Sial... dua poin lagi mereka menang mutlak, coy!" teriak Leila, "Lakukan apa saja yang kalian bisa, jangan sampai bolanya jatuh lagi!"
PRIT!
Dengan kaki lemas, aku melangkah menuju bangku di pinggir lapangan. Di saat yang sama, Bintang, Rio, dan Kaka mendatangi kami.
"Nih, air lo," ujar Bintang.
"Duuuh, Raina, padahal aku kira kamu bakal oper bolanya ke atas net. Eh, taunya jatuh ke tanah," ucap Kaka cemberut.
"Iya, iya, maaf deh..." kekeh Raina dengan senyum tipis.
"Lo kok marahin dia sih?" sergah Leila, mengetok kepala Kaka.
"Gemes, sih!" desah Kaka, mengusap-usap kepalanya.
"Oi, dari tadi gue temenin bicara..." Telunjuk Bintang memutar kepalaku kembali menghadapinya. "Minum tuh, biar otak lo seger lagi..."
"Iya, baweeel..." desahku sebelum meneguk air botol dan meresapi kesegarannya. "Seger banget. Lo emang tau yang gue butuhkan."
"Ho iya, jadi kalo lo kalah, jangan takut... Kita bakal tetap jadian," cengir Bintang, membuatku tersedak seketika.
"UHUK! UHUK! HUK!"
"Lo kenapa sih, Bin?! Nembaknya gak bisa kalo dia siap apa?" ujar Marsha, menepuk-nepuk punggungku.
"Nih juga satu!"
BLETAK!
"Akh! Rio, cewek lo bisa dinasehatin gak?" dengkus Bintang, mengelus-elus kepalanya. "Biar akalnya sehat lagi."
"Gak usah," sahut Rio sambil senyum-senyum.
‘Sepertinya yang butuh akal sehat Rio, deh,’ batinku.
"BIN!" teriak Alex sebelum menuruni tangga, "Bin, cepetan, babak final udah mau mulai."
"Hah? Cepat banget..." ujar Bintang kaget.
"Tim lain mengundurkan diri karena ada masalah. Cepetan!" Alex mulai menarik lengan Bintang, tapi Bintang dengan mudahnya melepaskan dirinya.
"Berjuang, ya," sahutnya dengan sebuah senyum simpul, menganjurkan kepalan tangannya.
Aku mengetosnya dengan kepalan tanganku, lalu tersenyum lebar.
"Menang kalah, lo tetap punya–gue!" Dia hampir tidak sempat mengatakan kata terakhir; Alex mulai mendorongnya pergi dengan susah payah.
"Pfft!" Aku hampir menyemburkan tawa mendengar pernyataan percaya dirinya.
"Adora, ayo!" ajak Trisha.
"Ya!"
Entah semangat apa yang merasukiku, tapi melangkah masuk ke dalam lapangan tidak terasa seberat pertama kali.
"KITA BISA GAK?!" teriak Leila, menaruh tangannya di atas tumpukan tangan kami.
"KITA BISA LAH!" sorak kami, mengangkat tangan kami ke atas bersamaan.