Adora

Puteri M.
Chapter #26

Bab 26

"... berhak? Apa kamu sudah gila? Kamu yang tidak berhak atasnya. Kamu sudah meninggalkannya dan bukannya datang untuk memperbaiki kesalahanmu, kamu malah memberi luka yang lebih sakit lagi!"

Suara papanya yang membentak seseorang lewat telepon membuat Adora ragu untuk melangkah ke depan. Dia menengok ke dalam kantor papanya. Papanya mendesah keras dan mematikan panggilannya sebelum memijat-mijat keningnya yang berkerut. Raut wajahnya penuh kekesalan.

Sebelum Adora sempat berbalik dan berjalan pergi, papanya sudah menangkap sosoknya dari ujung matanya.

Mata papanya membulat dan ekspresi wajahnya menyerupai seseorang yang tertangkap basah sebelum sorot matanya melembut.

"Adora, kamu ngapain di sini? Kamu... kamu sudah makan?" tanya papanya dengan lembut.

Adora merasa tidak nyaman. Papanya tidak pernah melihatnya dengan pandangan seintens itu. Tidak pernah berbicara dengan nada selembut itu. Selama ini hubungannya dengan papanya bisa disebut kaku. Hanya sebatas formalitas sebagai "keluarga".

"Iya," jawabnya pelan. "Pa, ada yang mau aku omongin sama Papa."

"Apa itu?"

"Em... aku mau... pindah ke tempatnya Chandra."

Dia memutar kembali percakapannya dengan Chan yang mengusir kesunyian malam di kamarnya. Hal itu membuatnya merasa sedikit lebih nyaman untuk tidur.

"Pindah? Kenapa..." Suatu kilatan muncul di mata papanya. "Apa ada yang ganggu kamu? Coba omongin dulu sama Papa."

Jantung Adora mendesir dan berdetak lebih cepat. Dia merangkul lengannya dan berpikir sejenak. Alasan sesungguhnya ada tepat di benaknya. Dia sudah tidak tahan berpura-pura dia kuat mendengar bisikan orang saat dia lewat dan tatapan menghakimi mereka.

Kalau bisa, dia akan mengganti identitasnya, tapi dia tahu hal itu tidak akan menghapus masa lalunya.

"Aku cuma... mau mulai hidup yang baru," sahutnya pelan, berharap papanya bisa menangkap makna yang tersirat dan tidak bertanya lagi.

"Tapi Papa tidak bisa–maksud Papa..." ucap papanya terbata-bata.

Mata Adora membesar dalam kepanikan, "Gak, gak, gapapa kok. Aku nggak maksa Papa buat pindah. Aku gak bisa paksa Papa buat pindah..." ulangnya dengan nada yang lebih sedih.

"Iya... sepertinya lebih baik kalau kamu pindah tanpa Papa," kata papanya dengan ekspresi yang tidak dapat diartikan.

'Apa Papa sudah gak mau sama aku? Yah, aku sudah menduganya, sih...' Adora tersenyum kecut.

'Papa tidak akan berguna buat kamu. Papa tidak bisa mengerti derita kamu, apa lagi lindungin kamu...' batin papanya dengan perasaan kecewa yang tidak dapat ditanggung lagi.

Papanya berdeham untuk memecahkan keheningan yang menyesakkannya, "Kapan kamu akan pindah?"

Napas Adora tertahan di tenggorokannya dan dia mengulum lidahnya yang kelu.

"Besok."

Papanya mendongak, kaget.

"Kamu sudah pesan tiketnya?"

Adora mengangguk pelan. 'Lebih cepat lebih baik buat Papa.'

Papanya mengamatinya dengan pandangan kalem, lalu mengangguk.

"Ehm, Papa sudah sarapan?" tanya Adora dengan sedikit harapan.

"Tidak. Kamu duluan saja."

"Oh, iya."

Adora menutup pintu perlahan sebelum menarik napas dalam. Dia mendongak ke atas, mencoba menahan air matanya agar tidak tumpah. Nanti Bibi curiga dan melapor ke Chandra.

Dia sudah cukup banyak mengkhawatirkan mereka.

"Pagi, Non. Gimana mood Non? Udah baikan?" Bi Indah tersenyum lebar, meletakkan segelas susu hangat di atas meja. "Hari ini Bi Indah masakin semuaaa makanan favorit Non! Non pasti rindu Bibi kan selama Bibi pulang kampung? Bibi juga bawa hadiah dari kampung, terus Bibi punya cerita juga! Jadi..."

Masakan Bi Indah kali ini terasa lebih hangat, apalagi ditemani Bi Indah yang bercerita dengan gerak-gerik luwes dan ekspresi yang berubah-ubah sesuai perasaannya. Adora sedikit terhibur. Dia akan merindukan Bi Indah yang sudah menemaninya untuk waktu yang cukup lama. Dia tidak ingin berpisah, tapi dia harus.

Ini untuk kebaikannya sendiri. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya kecuali dirinya sendiri.

"Waduh, pagi-pagi udah ada tamu. Jangan-jangan pangeran tampan yang kemarin!" Ucapan penuh semangat Bi Indah membuat Adora hampir tersedak.

Sebelum Adora sempat mengatakan sepatah kata pun, Bi Indah sudah melesat keluar dapur dan kembali sambil menarik lengan "Pangeran Tampan".

"Hai," sapa Bintang dengan senyum canggung.

"Hai..." balas Adora pelan.

Bintang mendekat dan menatapnya, kemudian mengelus rambutnya dengan lembut sambil mencopot sebuah kentang goreng dari piring Adora.

"Bin, gue mau pindah ke tempatnya Chan," ungkap Adora tiba-tiba.

Mata Bintang langsung membulat dan dia menelan dengan susah.

"Kapan? Kenapa lo mau pindah? Lo selingkuh?"

"Selingkuh apaan? Jadian aja belom. Kepala lo kebentur?" dengus Adora.

"Tapi kan ada... sesuatu di antara kita gitu..." ucap Bintang dengan wajah polos, kedua tangannya berusaha menggambarkan apa "sesuatu" itu.

Adora memutar bola matanya, tapi tersenyum cerah. Senyum itu hilang saat dia menangkap desas-desus dari luar. Adora menatap Bintang yang hanya memberinya senyum kecil dan beranjak dari kursi.

"Nih, Ka, aaam..."

Kaka tersenyum lebar menerima suapan Yuna dan kemudian mengunyah sambil memegang kedua pipinya.

"Enak gak?" goda Rio.

"Enyakkk..." balas Kaka dengan polos.

Lihat selengkapnya