ADORASI: Kau Tak Dapat Berdiri Sendiri

Ai Gumiar
Chapter #1

I Aku (Kompilasi Suara Hati)

Ke manakah harus kubawa kaki melangkah?

Apakah lorong ini yang harus kulalui?

Tidak adakah pilihan lain yang lebih mudah, lebih menggugah?

Seharusnya ada!”

 

Apa yang harus dilakukan saat hati tidak lagi selaras dengan perbuatan? Apa yang harus diperbuat saat pikiran tidak pernah sejalan dengan tindakan? Ternyata, hidup tidak selamanya menampakkan keberpihakan. Ternyata, keinginan tidak selamanya menemukan jalan. Harus selalu ada pilihan yang diprioritaskan atau justru dilupakan. Tidak ada yang lebih unggul ataupun lebih rendah. Meskipun begitu, hidup memang kumpulan pilihan, bukan? Kalau tidak mau memilih, harus rela menerima pilihan. Atau, justru dikalahkan. Ah, menggemaskan.

           Ketika ada bagian dalam hidup yang tidak sesuai dengan kehendak hati, mengeluh adalah cara yang paling mudah untuk menyesali. Berkata bahwa Sang Maha Pencipta sangat tidak adil. Menganggap bahwa semua yang telah Dia rencanakan adalah hal terburuk yang pernah menghampiri. Tidak lagi terpikir cerita saat keberpihakan menghujani. Padahal, hampir semuanya telah berjalan dengan sangat mulus sebelumnya. Sungguh, manusia seringnya kufur nikmat dan menganggap bahwa semua yang terjadi terhadap dirinya, kepada hidupnya, akan berjalan lebih baik jika sesuai dengan inginnya. Padahal, bukankah ada yang lebih mengetahui? Dia-lah Sang Mahatahu.  

Renunganku tidak pernah berhenti hingga aku menyadari keberadaanku saat ini. Iya, aku sedang melakukan perjalanan yang cukup berjarak, memakan waktu, dan menghabiskan sisa uang di saku. Padahal, tidak pernah kuketahui bahwa pulang akan menjadi sangat menguras tenaga dan pikiran. Sebelumnya, semua cerita dan gambaran tentang kemabli ke kampung halaman adalah sesuatu yang menggembirakan, penuh dengan kenyamanan. Inilah saatnya untuk menyadari keberadaan sang mentari yang hampir terganti. Ia sudah menyemburkan semburat jingga di langit berawan. Sepertinya, aku melewatkan hujan badai saat asyik bermain dengan kesendirian. Dalam benakku, ragaku sudah terbaring nyaman di kasur rumah, padahal aku masih belum sampai.

Di dalam bus ini cukup ramai. Ada seorang lelaki paruh baya berjaket kumal dan berkumis tebal yang duduk di sebelahku. Garis wajahnya tegas dan berminyak. Aku kira dia seorang buruh yang hendak pulang menemui keluarganya di desa atau mungkin dia seorang tukang becak yang ingin melepas dahaga di kampung halaman bersama keluarga. Kubiarkan saja dia. Lagian, aku malas berbagi kisah dengan orang yang tidak kukenal. Aku enggan berbagi keluh dengan orang yang di wajahnya tergambar penuh dengan kesah. Aku takut tidak tega dan malah berbalik arah sementara aku tidak punya cukup waktu.

Hari ini aku harus tiba di rumah orang tuaku lebih awal. Kalau tidak, mereka pasti kecewa atau mungkin semakin mengihklaskan anaknya yang kian hari kian sulit ditemui. Sudah hampir dua tahun aku tidak menampakkan batang hidungku di depan mereka. Hanya melalui gawai kami berucap kabar. Untungnya, komunikasi menjadi lebih mudah dan tidak terbatas jarak saat ini. Yang penting ada cukup kuota dan gawai yang mendukung, semuanya akan menjadi lebih mudah. Cukup menyenangkan hidup saat teknologi tumbuh dengan pesat dan cepat. Meskipun tidak dapat menciptakan, setidaknya bisa memanfaatkan produk ini sampai puas dan tanpa batas. Namun, tetap saja harus menjadi pengguna yang cerdas dan bijak, jangan malah menjadikannya bumerang bagi diri sendiri.

Perjalananku rasanya berlangsung lebih cepat. Entah hanya perasaanku atau mungkin bukan. Buktinya, lelaki di sampingku juga mengeluhkan waktu yang kian cepat berlalu. Iya, pada akhirnya lelaki tua di sampingku itu berbagi kisah denganku. Kami ditakdirkan berbincang dan berbagi makanan. Kudapan yang tidak begitu menggugah selera pun menjadi sangat nikmat ketika dimaknai dengan rangkaian cerita kehidupan yang penuh dengan ambisi dan perjuangan. Syukurlah, prasangkaku mengenai dirinya tidak sepenuhnya tepat. Lelaki tua ternyata mau juga berbagi cerita bahagia. Hidupnya bukan hanya tentang peluh atau kesah yang semakin terik semakin basah. Ada juga tentang bahagia yang tidak pernah kuduga.

Katanya, hari ini dia bisa melepas rindu setelah lebih dari delapan pekan tidak dapat bertemu. Bukan keinginannya meninggalkan keluarga tercinta di rumah tanpa kabar dan berita. Keadaan yang memaksanya menjadi kepala keluarga yang tega. Bahkan, sepucuk berita pun tidak mampu dia sampaikan. Bukan tidak ada keehendak hati, tetapi ketidakberdayaannya menghadapi kehidupan membuatnya harus dikalahkan dalam berbagai hal. Tidak ada pilihan bagi orang-orang seperti dia, katanya. Ah, sebenarnya aku cenderung tidak menyetujui pernyataan terakhirnya. Bagaimanapun, dia adalah manusia merdeka yang memiliki kebebasan memilih kehendak hatinya, selama dapat dia pertanggungjawabkan. Siapa pun berhak memperjuangkan inginnya, kehidupannya.

Dari hasil kerjanya yang katanya sangat keras, lelaki tua itu bisa membeli buah tangan untuk anak dan istrinya di rumah. Dia membawa sebuah kantong plastik hitam berisi tapai singkong di tangannya. Tidak ada tambahan lain kecuali peluhnya yang semakin meluruh di tangannya. Dimintanya aku menyicipi sekerat tapai singkong yang tampak berkeringat karena terpapar sinar matahari cukup lama itu. Ingin rasanya menolak tawarannya, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya menolak harapan seseorang yang ingin berbagi. Tidak ada cara lain selain menerimanya, bukan? Pura-pura saja menginginkannya, membutuhkannya. Meskipun memiliki benda yang sama, bukan berarti aku dapat menolak ketulusan orang yang mau berbagi. Tapai singkong khas Bandung alias peuyeum Bandung yang kubeli pasti berbeda dengan miliknya. Setidaknya tentang esensinya.

“Neng, daripada melamun mending makan peuyeum. Ayo ambil, Neng,” perkataan pertamanya yang memulai percakapan kami.

Walaupun kaget, aku berusaha menenangkan diriku dan menjawab, “Iya. Terima kasih.”

Kurogoh isi plastik hitam miliknya itu dan mengambil sekerat tapai singkong yang dia tawarkan. Lalu, kuangkat tapai itu dan berterima kasih, “Terima kasih, Pak.”

Tubuhnya menyatakan keluguan yang dia sembunyikan dengan baik di balik tubuh lusuhnya. Dianggukkan kepalanya disertai senyum yang seolah tertahan. Ah, sudah lama aku tidak melihat ketulusan seorang manusia. Rupanya, selama ini aku terlalu banyak dipermainkan keadaan sehingga sulit membedakan kepalsuan yang membersamai.

“Pulang kuliah, Neng?”

Kujawab pertanyaan itu dengan senyuman biar dia yang menyimpulkan sendiri. Aku sudah terbiasa saat ada orang yang mengira diriku masih seorang pelajar. Mungkinkah fisikku masih terlihat cocok menjadi mahasiswa ataukah mereka mampu merasakan keadaan mentalku yang belum spenuhnya terlepas dari mental seorang mahasiswa? Entahlah. Toh, ambisiku masih menggiringku ke arah sana. Menjadi seseorang yang selalu belajar adalah pencapaian terbesar yang selalu ingin kuraih.

           “Kalau orang sekolahan mah hidupnya pasti bahagia, Neng. Tenang saja, tidak perlu terlalu dipikirkan,” katanya sambil melempar senyum penuh arti.

           “Ah, begitukah, Pak?”

           “Iya, Neng. Susah itu buat orang-orang kayak saya yang cuman bisa mengandalkan otot biar tetap hidup. Meskipun disengat terik matahari, tetap harus mengayuh becak, mengantar penumpang sampai ke tujuan. Tapi, itu masih mending daripada terus mengayuh tanpa penumpang,” ceritanya, “Eh, tapi ujung-ujugnya jadi terbiasa juga, Neng, walaupun rasanya lebih berat daripada mengayuh dengan penumpang.”

           “Masih banyak penumpang becak di Bandung, Pak?”

           “Tinggal dedak, Neng. Banyakan pakai motor sendiri sekarang mah penumpangnya.”

           “Meskipun dedak, yang penting masih ada, Pak.”

           “Iya, Neng. Syukur Alhamdulillah keluarga saya masih bisa makan dari hasil ngayuh  becak saya.”

           “Betul, Pak. Syukur itu penting biar semuanya lebih terasa nikmat dan mudah. Kayak peuyeum ini, Pak. Meskipun sudah berkeringat, tapi masih bisa meredakan lapar saya. Terima kasih.”

           Kulempar senyum terbaik yang bisa kupersembahkan untuknya. Penghargaan tertinggi kuberikan kepadanya, orang yang mau berjuang lebih keras demi orang-orang yang dia cintai. Mengorbankan dirinya sendiri meskipun mengetahui bahwa itu tidak akan mudah. Keikhlasan yang dia tunjukkan membuatku tersadar bahwa jalanku masih lebih mudah daripada miliknya.

           Bapak itu tertawa keras. Aku tidak mengerti, apa sebenarnya yang membuatnya begitu bahagia. Dia kemudian berkata, “Rezeki itu teh namanya, Neng.”

           “Iya, Pak. Siapa yang menyangka ada makanan untuk saya yang Allah titipkan kepada Bapak. Padahal, kita baru pertama kali bertemu.”

           “Itulah, Neng. Makanya, jangan banyak melamun. Toh, semuanya sudah ada yang mengatur.”

           Dengan mulut penuh tapai, aku memperlihatkan barisan gigi depanku kepada bapak bertubuh lusuh. Siapa yang menyangka, hari ini aku makan dari hasil kerja kerasnya mengayuh becak di bawah terik matahari. Padahal kami bukan saudara, apalagi anak dan bapak. Darinya, aku menyadari bahwa rasa kasihan yang sering kali muncul saat melihat seorang pemulung yang sedang memungut kumpulan sampah plastik atau iba yang datang saat berpapasan dengan seorang lelaki tua penjual jajanan di jalanan sangatlah tidak berdasar. Siapa yang mengira bahwa kehidupan mereka berlangsung lebih tenteram dan bahagia daripada kehidupan yang kumiliki? Sepertinya, akulah yang memerlukan lebih banyak uluran tangan mereka. Nampak luar memang tidak selalu berbanding lurus dengan isinya. Cangkang seringnya menipu, bukan?

Belum sempat hatiku tergerak untuk memberinya sesuatu, lelaki berwajah lelah itu sudah beranjak dari kursinya. Dia meninggalkanku dengan sesal yang tidak akan pernah terobati. Hanya takdir yang dapat mempertemukan kami, sisanya tidak ada kesempatan lain. Setelah kepergiannya, tidak seorang pun duduk di sampingku. Kursi di sebelahku selalu kosong hingga aku sampai ke tempat tujuanku, kampung halamanku. Dengan sesal yang masih terasa, aku turun. Mungkinkah aku sangat menyedihkan hingga lelaki tua itu sangat ingin membagi makanannya denganku? Padahal aku mampu memberi, tetapi mengapa aku tidak berkenan memberinya dan malah sebaliknya. Ah, itulah sebabnya tidak semua orang berlebih mampu berbagi. Hati manusia adalah lautan misteri yang sulit diselami.

Mang, terima kasih,” kataku kepada kondektur bus.

Dengan senyum berseri di wajahnya, dia berkata, “Sama-sama, Teh. Semoga lekas sembuh, ya.”

Kalimatnya yang terakhir membuatku bertanya-tanya. Sejak kapan aku sakit? Bagian mana yang sakit dalam diriku? Aku merasa sehat dan baik-baik saja.

“Ah, saya baik-baik saja, Mang. Raga saya kuat, mental saya juga cemerlang, kok,” jawabku dengan tawa karena tidak mau disalahpahami.

Kamu tahu, bukan, disalahpahami adalah dikhianati yang paling menyakitkan? Kamu bahkan sulit untuk membela kebenaran yang selalu ingin diutarakan.

“Ayam tetangga sakit, Teh, gara-gara melamun!” teriak Bapak Kondektur sambil lalu. Bus meninggalkanku dengan tanya yang tidak pernah mendapat jawabannya dengan benar.

Sebenanya aku tidak pernah melamun di dalam bus. Aku hanya terlalu merindukan pulau kelahiranku ini sehingga begitu larut dalam setiap lekuk perubahan yang ada. Caraku menikmati perjalanan memang cenderung diam serta lebih banyak merenung. Namun, aku bukan bagian dari mereka yang terlena dengan lamunan hingga melupakan kenyataan bahwa setiap kesuksesan harus diperjuangkan.

Dari tempatku turun, aku bisa melihat deretan tukang ojek mangkal di pertigaan jalan. Kuperhatikan jumlahnya, sekira tujuh orang. Pos yang mereka gunakan cukup nyaman. Tidak ada perubahan sejak aku pergi dua tahun lalu, hanya warna kayunya yang semakin menunjukkan usianya. Sepertinya sudah lapuk dimakan usia atau dimakan rayap. Mang Ojek mengacung-acungkan tangannya ke arahku seperti siswa yang berinisiatif mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan gurunya padahal guru belum mengajukan pertanyaan. Ada kompetisi di antara mereka, memperebutkan kemungkinan untuk menarik hati penumpang. Mempertaruhkan perut orang-orang terkasih yang mereka perjuangkan di rumah dengan kesediaan penumpang. Sayangya, aku tidak berencana untuk buru-buru pulang.

Sudah dua tahun aku tidak pulang, tetapi hanya tapai singkong yang kubawa. Itu pun kubeli bukan karena mengingat orang rumah, melainkan kasihan melihat sang penjual yang terlihat putus asa. Dagangannya masih menggunung, tidak laku. Khawatir barang jualannya kedaluwarsa, aku berinisiatif membeli. Sungguh, aku tidak ingat kalau tapai memang selalu kadaluwarsa, singkong yang difermentasi. Betapa angkuhnya diriku, merasa kasihan terhadap kehidupan yang tidak minta dikasihani. Kesombongan merajai pola pikir dan tindakanku. Aku terlalu angkuh.   

Dengan koper di tangan yang kuseret dengan susah payah, aku menyeberangi jalan raya yang semakin melebar seiring dengan kepergianku. Pengkhianat! Mengapa baru berubah setelah kau kutinggalkan, sesalku dalam hati. Semuanya menjadi lebih baik setelah aku pergi. Kampung halamanku tumbuh dengan baik tanpaku di dalamnya. Meskipun begitu, tetap saja kendaraan yang melintas tidak tertampung dengan baik, masih lumer dan luber memenuhi bahu jalan. Ini membuatku kesulitan menyeberang.

Setelah membuat keributan dengan menambah penyebab kemacetan, aku sampai di seberang jalan. Tanpa sesal, aku melenggang memasuki sebuah swalayan generasi alfa.  Kuperhatikan lembar informasi diskon yang terpampang di sana. Akhir-akhir ini berburu barang diskonan lebih menyenangkan daripada berburu pasangan hidup. Sejak itu, aku menyadari bahwa swalayan generasi alfa ini memang bukan hanya milik orang-orang berdompet tebal, orang penuh perhitungan juga banyak masuk ke sini. Daripada belanja di toko kelontong yang banyak mengundang kegaduhan karena banyaknya gosip yang menggila, lebih baik berlindung di swalayan ini. Bahkan, kalau lagi hoki, bisa dapat diskon gede-gedean.

Sekadar tips, kalau tidak tahan dengan ocehan tidak berdaya guna, lebih baik mencari aman dan berlindung dengan melarikan diri. Kenyataan di depan mata masih bisa diperbaiki dengan mengambil alternatif terbaik. Meskipun begitu, aku tidak pernah memungkiri bahwa warung selalu menawarkan realitas kehidupan yang mengesankan. Pertukaran informasi berlangsung sangat cepat di sana. Tidak ada yang luput dari perbincangan para penghuni warung. Pengetahuan cenderung menjadi lebih luas kalau sering mengunjunginya. Ah, orang menjatuhkan jarum sebiji saja suaranya bisa terdengar hingga ke ruah paling ujung. Tanpa kusadari, aku turut andil membunuh pengusaha-pengusaha kecil di industri ini. Sayang sekali.

Selain es krim beli dua gratis satu, biskuit bundar hitam berselai putih, dan biji bunga matahari, kubeli juga minyak goreng. Semuanya lebih murah seratus lima puluh perak dibandingkan kalau beli di toko kelontong. Ini adalah cara memandang uang bagi orang-orang yang memilih masuk ke swalayan generasi alfa. Seperak pun berarti, tetapi telinga dan hati tetap terjaga dari bahaya polusi dan radiasi.

Sebelum menuju kasir, kusempatkan menelepon mamah. Aku bukan anak berbakti yang suka membiarkan orang tuaku berdiam diri di rumah. Mereka harus sama-sama merasakan perjuangan seperti yang kulakukan demi bertemu dengan mereka. Sungguh, aku sangat perhitungan.

“Asalamualaikum, Mah. Aku sudah di swalayan generasi alfa depan. Jemput,” pintaku kepada mamah melalui telepon.

“Waalaikumsalam. Naik ojek saja. Mamah lagi masak sayur, tanggung,” jawab mamah. Nada bicaranya meninggi. Ah, salahku berharap kepada manusia padahal aku tahu hanya kepada-Nya aku harus memohon.

“Baiklah. Ongkosnya berapa?” tanyaku kemudian.

“Seikhlasnya. Jangan sok-sokan ngasih banyak kalau ujung-ujungnya ngomel,” mamah sangat mengerti kalau aku tidak baik hati. Banyak ngeluh.

“Ah, aku tidak ikhlas bayar cuman buat duduk. Jemputlah, Mah!” Padahal, bukan tidak rela memberi uang atas peluh Mang ojek, aku hanya ingin Mamah menjemputku. Aku merindukannya.

“Dasar! Menyusahkan saja. Baiklah, tunggu di sana, mamah pergi sekarang,” jawab mamah.

Mamah memang suka becanda, berharap diperjuangkan dengan paksa. Ingin dianggap penting dan dibutuhkan dalam berbagai aspek. Aku menyadarinya sejak kepergianku yang tidak pernah kurencanakan ini.

“Iya. Asalamualaikum,” sambungan telepon terputus.

Mamah dalam perjalanan menjemputku. Lekas kutemui teteh cantik dan aa ganteng di meja kasir. Kuberikan barang belanjaanku. Dengan saksama, kuperhatikan teteh cantik memindai kode batang belanjaanku. Setelah semuanya selesai, dia berkata, “Teh, kopernya jangan sampai tertinggal, ya.”

“Ah, iya, Teh, terima kasih. Saya hampir lupa. Kalau hilang, bukan cuman saya yang repot, kan?” candaku.

Kusadari, selain aku, sang pemilik koper, mereka juga akan kerepotan kalau sampai koperku itu hilang. Orang yang bertanggung jawab bukan hanya pemilik, tetapi juga mereka. Zaman sekarang, siapa orang yang mau susah karena keteledoran orang lain, kecuali orang tua dan saudara. Beruntunglah aku yang masih memiliki mereka sebagai alasan untuk pulang. Tidak akan pernah ada rumah yang lebih nyaman untuk kembali selain rumah mereka, orang tua.

Kuseret koperku ke luar swalayan. Mamah belum sampai di parkiran. Aku menunggu dengan sabar meskipun kaki sudah mulai kesemutan. Mamah tiba di depan mata. Dia tampak lebih kurus. Ataukah mataku yang sudah menua? Seingatku, tubuh mamah lebih berisi dengan wajah yang lebih berseri. Apakah selama aku pergi dia tidak makan dengan benar? Salahku membuatnya merasakan sulitnya ditinggalkan. Tapi, bukannya dia sudah mengikhlaskan?

“Mah! Lama, ih,” protesku kepada mamah.

“Salah sendiri, bukannya naik ojek,” Mamah mengatakannya sambil memelukku.

Sebagai ibu, dia memang tidak pernah membiarkan raga dan pikirannya sejalan. Perkataannya hampir selalu berseberangan dengan perbuatannya. Hati nuraninya untungnya masih sangat waras.  

“Apa kabar, Mah?” tanyaku sambil membalas peluk.

“Alhamdulillah. Kamu sehat, Nak?” jawab mamah dengan tanya.

Matanya mulai berair. Dia tidak mampu menahan tangis. Khawatir ada orang yang melihat, kuajak dia segera pulang.

“Ayo pulang. Kopernya biar di belakang saja, aku yang bawa,” pintaku kepada mamah.

“Kamu saja yang bawa motornya. Mamah di belakang.”

“Baiklah!”

Sepanjang jalan, mamah tidak banyak berkata. Hanya sesekali kudengar dia terisak. Mamah menangis. Orang yang selalu kujadikan alasan untuk tetap berjuang menangisi kedatanganku. Sungguh, ini adalah penyambutan yang membuatku tidak ingin kembali. Ingin rasanya aku menetap lagi di sisi mamah dan bapak seperti dulu, saat usia tidak pernah memberatkan. Benar, semakin bertambah usia, semakin parah resah karena selalu dekat dengan orang tua. Apalagi, beragam tuntutan muncul serta tidak dapat dibendung.

Di depan rumah kuparkirkan motor. Kudapati rumah yang sudah lama tidak kulihat ramai, penuh dengan aroma kehidupan yang merangsang titik-titik inderaku tentang ingatan masa lalu. Aku sangat merindukan aroma ini, suasana rumah tempatku menjalani dua puluh empat tahun kehidupanku. Bapak, Ikrimah, dan Ghanimah menungguku dengan setia. Mereka menyambutku dengan senyum terbaik yang pernah kudapati. Senyum penyambutan yang diberikan orang-orang yang sangat merindukan. Ah, begini ternyata rasanya dirindukan setelah sekian lama. Rasanya menyejukkan hingga tidak rela melepaskan. Sungguh, harga mahal harus kubayar demi mendapatkannya.

“Sehat, Maemunah?” sambut bapak.

“Tidak pernah sebaik ini, Pak,” jawabku.

“Syukurlah,” jawab bapak singkat.

Begitulah cara bapak menyambut anaknya yang sudah dua tahun tidak pulang. Penyambutannya tidak berlebihan, secukupnya, berbeda dengan kedua adikku. Mereka seperti anak ayam yang menemukan induknya, berisik. Padahal, aku sempat khawatir penerimaan mereka tidak akan pernah sama lagi terhadapku, ternyata aku keliru. Meskipun sudah lama tidak bertemu, kenangan tentang masa lalu selalu membekas dalam diri kami. Kedekatan yang sebelumnya tidak pernah terucapakan dalam lisan itu kini menjadi lebih terbiasa diungkapkan. Jaraklah yang membuatnya menjadi seperti ini. Menurutku ini menjadi lebih romantis, bercengkerama dengan kedua adikku.

Teh, mana oleh-olehnya?” teriak Ghanimah.

Dia tumbuh lebih tinggi, lebih hitam, lebih berisi, dan lebih tampan. Aku mengakui bahwa Ghanimah adalah produk terbaik orang tuaku. Dia hanya belum dewasa. Usianya baru sepuluh tahun. Pantas saja permintaannya untuk membeli ini dan itu lebih banyak daripada sebelumnya, rupanya dia mulai menujukkan ketertarikan terhadap banyak hal. Yang paling kukhawatirkan ternyata benar-benar kulewatkan, menjadi saksi pertumbuhan adik-adikku. Padahal, itu adalah masa-masa emas yang tidak ingin kulewatkan.

“Iya, Teh, mana oleh-olehnya?” sambung Ikrimah.

Adik perempuanku juga sudah tumbuh menjadi semakin cantik. Sungguh, ini bukan karena aku kakak perempuannya, dia memang cantik. Garis wajahnya seirama dengan milik Ghanimah. Mereka pantas menjadi saudara, sementara aku tidak. Banyak orang yang tidak mempercayai bahwa mereka adalah adik-adikku karena tidak nampak kesamaan antara aku dan mereka. Ah, kadang aku menyesal dilahirkan lebih dulu daripada mereka.

“Aku hanya membawa ini,” sambil kuberikan tapai dan makanan yang kubeli sebelumnya.

Dengan antusias, Ikrimah dan Ghanimah menerima kantong plastik yang kuberikan. Kemudian, aku menyaksikan raut muka yang sangat kukenal, kekecewaan. Mereka merengut, “Yah, apaan, cuman peuyeum!” kata Ghanimah.

“Masa jauh-jauh, naik pesawat pula, cuman bawa tapai. Di sini juga banyak kalau cuman tapai. Makanan seperti ini juga di swalayan depan banyak,” protes Ikrimah.

Benar, mereka adik-adikku yang tidak pernah mau menahan ketidaksetujuannya. Itulah yang membedakan mereka denganku. Aku cenderung memilih untuk menekan ketidaksetujuan agar tidak muncul ke permukaan sehingga tidak menimbulkan konflik berkepanjangan. Selama yang kulakukan, yang kupikirkan, dapat menyakiti hati orang lain dari sudut pandangku, aku akan menarik semuanya. Kalau memungkinkan, menelan semuanya sendirian. Kugadaikan kebahagiaanku demi senyuman yang terlukis di wajah mereka. Terdengar palsu, bukan? Bagaimana aku dapat mencintai orang lain jika mencintai diri sendiri saja aku belum mampu? Semua yang kusampaikan bagiakan omong kosong, tetapi aku sedang sangat serius. Aku selalu berusaha untuk bersungguh-sungguh saat memosisikan diriku sebagai kakak, anak sulung.   

Tentang kepribadianku yang ini, aku yakin pasti ada yang memahaminya. Pengalaman hidup yang penuh dengan ketidakberpihakan telah mengajarkan banyak hal, termasuk tentang pola pikir yang mengakar hingga menjadi prinsip hidup. Kesulitan mengajarkan kesakitan sehingga membuatku lebih peka terhadap segala bentuk yang berkorelasi dengannya. Begitulah hingga aku tumbuh menjadi tipikal orang yang perasa dan cenderung lebih memedulikan perasaan orang lain daripada diriku sendiri. Seringnya, aku memikirkan bagaimana jika diriku berada di posisi orang yang mungkin kusakiti? Bagaimana jika ini dan bagaimana jika itu adalah aku? Aku tidak habis pikir, mengapa bentukan diriku menjadi seperti ini? Sungguh, sangat tidak menyenangkan ketika menjadi terlalu peduli kepada orang lain. Apalagi, jika sudah disalahpahami dengan pernyataan bahwa terlalu mementingkan pemikiran orang lain artinya tidak mau menjadi jelek di mata orang lain. Padahal, tidak begitu. Sesak juga rasanya harus selalu menelan keinginan, pendapat, bahkan perasaan sendiri demi tidak menyakiti orang lain. Rasanya seperti segumpal kapas menyumbat saluran pernafasan hingga perlu kekuatan ekstra untuk menghirup udara. Rasanya seperti terpenjara dalam pemikiran sendiri yang tidak kunjung menemukan kejelasan. Semuanya hanya terpusat dalam akibat-akibat dari setiap kesalahan yang pernah dilakukan.

Pada akhirnya, keberadaanku hanya seperti bayangan yang mengikuti pemiliknya ke mana pun pergi dan hanya akan berubah arah jika cahaya matahari memengaruhi. Aku akan menghilang jika kegelapan datang seiring dengan kelamnya penglihatan. Memang begitulah keadaannya, menyebalkan. Seperti manusia tidak berpendirian, bahkan diriku sendiri tidak bisa memungkiri hal itu. Lalu, apa yang harus kulakukan untuk mengukir masa depan yang bagi sebagian orang tidak perlu dipikirkan itu? Bahkan, seorang yang tidak kukenal pun menyarankan agar aku tidak terlalu memikirkannya karena menurutnya aku akan menjadi manusia yang berhasil. Akan tetapi, aku tetaplah diriku yang tidak pernah merasa tenang menghadapi setiap kemungkinan terburuk yang dapat menimpa diriku.

Ketidakpuasan kedua adikku hanyalah cara mereka mendapatkan perhatianku. Mereka hanya terlalu merindukanku sehingga tidak dapat memikirkan cara lain selain membuatku kesal. Buktinya, mereka tetap menikmati setiap makanan yang kubawa, termasuk tapai singkong. Syukurlah, mereka masih mau menerima setiap ketidaksesuaian yang melekat dalam diriku, menoleransi setiap ketidakmampuanku mengikuti setiap ingin mereka. Seperti lelaki lusuh yang kutemui di bus, aku juga sedang mengorbankan diriku sendiri demi mereka yang menungguku dengan setia di rumah. Semoga aku bisa menjadi seperti lelaki itu yang dengan ikhlas menerima setiap perjuangan, termasuk ketidakberhasilan yang selalu mengintai.

 

Hidup seperti ini membuatku semakin menyadari bahwa kesendirian tidak selamanya tentang menghitung kesepian. Semuanya bisa jadi berlangsung lebih memuaskan dan menyenangkan karena tidak ada yang memberikan penilaian kecuali diri sendiri. Semua tolak ukur tidak perlu mengalami penyesuaian karena yang ada hanyalah tentang diri sendiri. Namun, di balik itu ada ruang yang senantiasa tidak terisi, yaitu kehampaan yang tidak pernah mati. Terpujilah mereka yang senantiasa bersabar menghadapi setiap kekosongan hingga hidup tidak lagi mengundang dahaga, hingga semuanya cukup memuaskan.

 ***

  Masih jelas dalam ingatan saat aku meninggalkan rumah ini dua tahun lalu, saat mamah terisak dan bapak menahan kesedihannya karena keputusan sepihak yang kubuat. Bukan salahku karena tidak pernah merasa puas dengan setiap pencapaian yang sudah dalam genggaman, mereka juga turut mengambil bagian. Tentang perspektif kesuksesan, merekalah yang paling banyak memengaruhi sudut pandang yang kutetapkan. Terutama mamah, dia selalu menekankan bahwa kehidupan yang lebih baik adalah tentang kehidupan yang melebihi setiap kebaikan yang didapatkan di rumah ini. Meskipun tidak mutlak, kesuksesan erat kaitannya dengan kekayaan finansial. Mereka hanya memberiku sudut pandang akhir, tanpa memberi petunjuk langkah pasti untuk menggapainya. Berusaha mencari cara sendirian sungguh tidak semudah yang dibayangkan. Semuanya perlu perjuangan dan sangat sering menemukan kegagalan. Kesalahan menjadi hal yang sangat biasa ditemui, terutama saat benar-benar ingin mendapatkan suatu pembelajaran.

Lihat selengkapnya