“Masalahnya,
aku dilahirkan lebih dulu,
tetapi dia menjadi lebih dalam segalanya.”
Tengtang Ikrimah, tubuhnya menjulang tinggi dan kulitnya putih berseri. Hidungnya proporsional di wajah ovalnya. Kepribadiannya menawan dan penuh kepercayaan diri. Kebahagiaannya dapat dia pastikan sendiri, tidak perlu berpangku tangan kepada orang lain. Dia mampu menentukan arah hidupnya sendiri meskipun belum lama dia mengarungi kehidupan. Ikrimah mengetahui caranya memperjuangkan hingga bisa sampai ke pelabuhan yang dia tuju. Begitulah Ikrimah menjalani kehidupannya sehingga dia berani memulai merangkai ceritanya sendiri lebih awal.
Sejak lahir, Ikrimah memang sudah berbeda. Warna kulitnya lebih terang daripada mamah dan bapak, apalagi aku. Tidak ada yang mengetahui dia mendapatkan pigmen warna kulit itu dari mana. Mungkinkah dari air kelapa yang senantiasa mamah minum semasa hamil? Atau, dia adalah titisan pemeran Sancai dari drama China yang sangat mamah gandrungi saat mengandung Ikrimah. Ah, mana mungkin kesukaan terhadap seseorang dapat memengaruhi susunan DNA-nya. Lalu, dari mana dia mendapatkan semuanya? Mungkinkah dia adalah pengecualian yang Allah sisipkan dalam keluarga kami? Kemudian, pembaharuan seperti apa yang menyertai kehadirannya kelak? Aku benar-benar menantikannya jika itu benar adanya. Tentu saja, jika itu bukan sekadar naluri.
Saat usianya menjelang delapan tahun, seorang tetangga pernah berkata kepada bapak, “Apakah Ikrimah ini benar-benar anakmu? Mengapa dia terlihat sangat berbeda?” Lalu tawanya pecah dan bapak sudah terbiasa dengan candaan seperti itu.
Jawaban bapak selalu sama, membanggakannya dengan segala kelebihannya. Ikrimah adalah anak emas yang memiliki nilai tersendiri dalam keluarga kami. Bahagianya menjadi Ikrimah. Kehidupannya mungkin saja lebih mulus daripada kulit putihnya. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang dapat menjaminnya. Bahkan, tingginya IQ seseorang tidak menjamin kesuksesannya pada masa depan. Semuanya bergantung pada usaha dan kerja kerasnya.
Selain fisiknya, Ikrimah juga memiliki kepribadian yang cukup menawan. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, sesungguhnya dia adalah orang yang paling awal dikhianati dalam hidupnya. Sejak di dalam kandungan, kasih sayang mamah dan bapak tidak pernah seutuhnya miliknya. Dia harus rela berbagi denganku. Semua kasih sayang yang tidak pernah utuh itu selamanya dia rasakan, bahkan hingga dia dilahirkan ke dunia. Tidak berselang berapa lama sejak kebahagiaanya membagi kasih denganku, muncul Ghanimah. Semakin berkuranglah bagiannya. Ah, padahal saat itu dia masih perlu lebih. Namun, ternyata tidak masalah bagi Ikrimah. Dia dapat menjalaninya dengan baik. Semua itu membantunya tumbuh menjadi pribadi yang lebih tangguh. Dia menjadi lebih memahami cara menempatkan diri sendiri. Sikapnya menjadi lebih terkendali. Atau, dia hanya berusaha menahan diri. Sesungguhnya, aku pun hanya menutupi ketidakpuasan hati atas kasih sayang yang terbagi.
Ikrimah kecil disayangi banyak orang. Namun, nasibnya tidak sebaik tampilan pisiknya, itulah yang dikatakan mamah.
“Kasihan sekali adikmu ini,” kata mamah saat Ikrimah berusia lima tahun.
“Kenapa?” tanyaku.
“Dia lahir saat perekonomian keluarga kita tidak baik.”
“Bukan salahnya.”
“Memang, tapi betapa malang nasibnya. Asupan yang dia nikmati tidak sebaik yang kamu terima,” jelas mamah sambil mengelus tangan adik perempuanku itu.
“Bukan salahku juga,” jawabku tidak mau dikambinghitamkan.
“Bukan salah kami juga sebagai orang tua.”
Ketika Ikrimah dilahirkan, bapak sedang mengalami masa-masa sulit dalam pekerjaannya. Ikrimah tidak mendapatkan lebih daripada yang aku dapatkan sebelumnya dalam segala hal. Bahkan, ada yang tega mengatakan bahwa adik perempuanku ini tidak beruntung.
“Keberuntungan tidak menyertai anak ini, bahkan sejak dia dilahirkan,” begitulah kata mereka.
Akan tetapi, Ikrimah tidak melawan mereka. Padahal sungguh, mereka salah. Tidak pantas seorang pun menilaimu demikian rendah, bahkan mereka, Ikrimah. Bagaimana mungkin kumpulan manusia yang tidak beruntung itu dapat menilai orang lain tidak beruntung? Karena sangat kesal, pernah kukatakan kepada mereka, “Seberapa besar keberuntungan yang sudah kalian dapatkan? Nyatanya kalian hanya terlalu serakah. Sungguh, adik perempuanku ini lebih baik dalam banyak hal daripada kalian.”
Tentu saja, mereka tidak menerima pendapatku dan malah balik membenciku. Hati nurani tidak akan selamanya melindungi dan menjadikanku hidup dengan nyaman, apalagi kalau tidak dapat mengendalikannya. Setahuku, keberuntungan sesungguhnya adalah sesuatu yang diperjuangkan. Lalu, mengapa mereka memberikan penilaian bahkan saat adikku belum memulai apa-apa? Bukankah penghakiman ini terlalu dini untuk dilontarkan kepadanya? Namun, tidak dapat aku menentang isu yang sudah telanjur menyebar. Kabar angin hanya akan mereda saat tidak ada lagi angin yang menghembuskannya. Sementara mereka masih dengan siaga mengibas-ngibaskan sayapnya. Hanya pasrah dan menerima yang bisa dilakukan.
Bapak dan mamah saat itu hanya sedang tidak terlalu keras berusaha. Semuanya dilakukan sebiasanya, sebisanya. Hanya agar semunya tercukupi, ala kadarnya, sehingga semua yang terjadi kepada Ikrimah tidak dapat dibebankan dibebankan sepenuhnya pada kehadirannya. Ikrimah bukan tersangka yang telah melakukan tindakan kriminal sehingga berhak menerima hukuman sosial yang membebaninya. Dia tidak seharusnya menerima kejamnya tindakan verbal orang-orang yang bahkan tidak mengenalnya. Ikrimah adalah potret anak manusia yang memiliki harapan besar terhadap kehidupannya. Dia menggaungkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri.
Delapan tahun adalah waktu yang diberikan Allah untuk Ikrimah mendapat setengah bagian dari kasih sayang mamah dan bapak. Apa yang bisa didapatkan seorang anak hanya dalam waktu delapan tahun? Ikrimah mendapatkan banyak hal. Dia mendapatkan segalanya, keanggunan dalam berpikir dan bertindak, kemauan memperjuangkan, juga kesadaran tentang eksistensi dirinya. Dengan lapang, dia menerima keberadaan Ghanimah. Ikrimah menerimanya tanpa alasan. Bahkan, dengan riangnya Ikrimah menggendong Ghanimah untuk pertama kalinya. Dia seperti mendapat kebahagiaan karena mendapat hadiah yang diimpikan sejak lama. Ikrimah tidak mengetahui bahwa bayi laki-laki yang dia sebut adik itu akan menjadi orang yang mengambil sebagian dari miliknya. Mungkin, dia hanya belum menyadari.
“Teh, lihat, Ghanimah berkulit putih. Dia mirip denganku, bukan?”
Tidak tega aku merenggut kebahagiaan sederhana yang sedang dia rasakan sehingga aku hanya dapat menganggukkan kepala.
“Dia sangat mirip denganmu,” jawabku untuk menyenangkannya, “Mata kalian bahkan terlihat sangat mirip.”
“Masa?” tanyanya sangat riang.
“Aku bersungguh-sungguh. Hanya aku sendiri yang berbeda. Benar, bukan?”
Dia tertawa, tidak berkomentar. Akan tetapi, aku dapat menyimpulkan kebenaran perkataan yang kusampaikan. Dalam benakku muncul beragam prasangka yang membuatku sangat khawatir. Aku menyadari bahwa kalian sama-sama berperan besar dalam mengkhianatiku. Kalian akan menjadi penyebab kesalahan-kesalahan kecilku menjadi sangat besar. Kalian akan menjadi penyebab aku harus berjuang lebih keras agar mamah dan bapak menyadari keberadaanku. Kalian akan menjadi alasanku mau menyeberang lautan walaupun tidak nampak daratan di depan mata. Apakah sama halnya denganmu, Ikrimah? Sungguh, aku ingin bertanya kepadamu, tetapi kamu masih tampak sangat bahagia. Mungkin aku akan memberanikan diri saat kamu sudah lebih memahami. Ikrimah tertawa nyaring membuyarkan lamunanku.
“Apa yang membuatmu tertawa, Ikrimah?”
“Ghanimah menjulur-julurkan lidahnya. Dia seperti ular.”
“Dia mungkin memang ular, Ikrimah.”
“Iya. Dia ular yang sangat menawan. Dia akan menerimaku sebagai kakaknya, bukan?” tanya Ikrimah. Ditekan-tekannya pipih merah Ghanimah dengan telunjuknya. Ada binar di mata Ikrimah yang tidak kukenali. Ini pertama kalinya aku menyaksikan cahaya yang tidak dapat kugambarkan dalam bayangan, kerelaan menerima.
“Kamu akan jadi orang pertama yang dia teriaki kalau dia kesal terhadap sesuatu. Percayalah, itu artinya dia sangat menerima keberadaanmu.”
Entahlah, mungkin Ikrimah belum memahami perkataanku soalnya dia hanya tersenyum dan menangguk berkali-kali. Adik perempuanku hanya belum mengerti bahwa akan ada saatnya dia menyesali. Ah, dia hanya pemain amatiran.
Kehadiran anggota keluarga baru seringnya tanpa direncanakan, termasuk kehadiran Ikrimah dan Ghanimah. Mamah dan Bapak tidak pernah mendambakan kehadiran mereka setelah memiliku, tetapi mereka datang juga. Tidak ada yang dapat menolak kehadiran jika waktu sudah menunjukkan. Pada akhirnya, aku hanya bisa menerima teman hidup yang akan selalu menjadi alasan dan penyebab berbagai kemungkinan dalam kehidupanku. Kami akan berbagi banyak hal menakjubkan juga menyakitkan. Kami akan saling mengalah, menerima setiap kelebihan dan kekurang. Kadang kami akan saling menyalahkan, juga saling meninggikan. Bukankah begitu rasanya menjadi saudara? Meskipun menjengkelkan, tetapi disyukuri juga.
***
Entah sejak kapan Ikrimah mulai berubah. Dia menjadi tidak banyak bicara, bahkan cenderung tertutup dalam tindakannya. Itu semua terjadi seiring dengan pertumbuhan Ghanimah. Memang, mamah dan bapak menjadi lebih perhatian kepada Ganimah, anak laki-laki mereka satu-satunya. Tebersit dalam benakku, apa gunanya membesarkan anak perempuan? Setelah dibesarkan dengan susah payah, mereka hanya akan pergi dan meninggalkan. Lebih baik membesarkan anak laki-laki. Mereka akan berbakti, bahkan sampai mati. Mungkinkah pikiran-pikiran seperti itu juga sempat terlintas dalam pikiran mamah dan bapak? Yang jelas, Ikrimah mulai berubah.
Aku pernah melihat Ikrimah sedang termenung sendirian di balik jendela ruang tengah. Kusadari bahwa sebagai manusia, dia mulai menyadari keinginan-keinginannya. Dia mulai merasakan ketidaknyamanan atas ketidakberpihakan berbagai aspek kehidupannya, termasuk tentang orang-orang di sekitarnya. Berada pada fase ini memang tidak mudah, aku yakin juga bagi Ikrimah. Ada hal asing yang bermunculan dan sulit untuk didefinisikan, tidak cukup bekal dan pengetahuan untuk menafsirkan. Biasanya, kalau sedang tidak beruntung, tersesat adalah pertemuan mutlak.
“Apa yang membuatmu begitu gelisah?” tanyaku.
“Tidak ada.”
Ikrimah mengubah posisi duduknya dan menatapku.
“Apakah memiliki saudara yang lebih muda artinya merelakan sebagian besar kasih yang sudah dalam genggaman? Aku merasa ditikung dari sudut yang paling tidak kusadari.”
“Apa maksudmu?” jawabku pura-pura tidak memahami perkataannya.
Ikrimah semakin banyak belajar, tetapi dia belum memahami dengan benar. Wajar karena dia memang baru mulai. Sementara itu, aku sudah tidak pantas mempermasalahkan perihal kasih yang telanjur terbagi karena aku sudah menyadari bahwa memiliki saudara artinya merelakan untuk memberi dan berbagi. Jika mampu mengikhlaskan, akan menemukan kebahagiaan baru yang tidak pernah digapai sendirian. Akan tetapi, jika tidak sanggup bertahan, semuanya hanya akan menjadi sia-sia, bahkan menjadi bumerang yang mencelakakan.
“Aku merasa diasingkan, dikalahkan tanpa berperang,” katanya.
“Lalu, bagaimana denganku jika kamu merasa demikian?”
Ingatan masa lalu tentang kehadirannya mengelebat dalam benakku. Dia juga turut berperan dalam membuyarkan seluruh kasih yang pada awalnya hanya tercurah kepadaku.
“Aku tidak tahu.”
“Saat kamu hadir, aku juga seusiamu sekarang. Tapi, aku menerimamu tanpa alasan, tanpa takut dikalahkan.”
“Kita sama-sama perempuan, sementara dia laki-laki satu-satunya.”
Jawabannya membuatku tercengang. Mengapa pemikirannya menjadi seliar itu? Kekhawatirannya semakin mengikis kepercayaannya terhadap orang tua kami. Sejak kapan dia menyelami kesuperioran laki-laki? Ikrimah tidak boleh terdistorsi, dikalahkan persepsi. Dia perlu menyadari bahwa dirinya sebagai perempuan pun sangat berharga. Tidak akan pernah orang tua kami meninggalkannya dengan alasan gender, sepertinya. Apalagi aku. Sunguh, bagiku perempuan dan laki-laki sama saja, kecuali dalam beberapa hal yang secara syariat tidak dapat kukekang. Pandanganku cukup merdeka tentang potensi laki-laki dan perempuan. Tidak ada yang membatasi satu dengan yang lainnya. Perempuan berhak melangkah sebagaimana langkahnya laki-laki, pun sebaliknya.
“Apa bedanya? Kalian sama-sama hadir dan meruntuhkan menara kepercayaan yang kubangun untuk mamah dan bapak. Aku juga sempat khawatir, takut, dan berharap kalian menghilang. Apa dayaku, aku tidak memiliki kapasitas untuk melakukan itu.”
Nada suara Ikrimah bergetar, dia menahan tangis. “Apa yang harus kulakukan?”
“Terima saja apa adanya. Lagian, kita hidup di dunia ini tidak dapat berdiri sendiri. Selagi bisa berlari bersama, mengapa harus merangkak terseok-seok sendirian?”
“Tapi, aku lebih nyaman sendirian.”
Kesadaran Ikrimah tentang kesendirian sangat terbatas karena aku telah membersamainya bahkan sejak dia dilahirkan. Ikrimah tidak pernah benar-benar untuh diselimuti sendiri yang sepi sehingga perkataannya saat itu tidak dapat kuseriusi. Bagaimana caranya aku mempercayai persepsi kesendirian yang keluar dari seseorang yang belum pernah menikmati esensi sendiri? Aku hanya belum memahami bahwa seorang manusia bisa merasa sangat kesepian meskipun ada yang membersamai. Bahkan, sering kali ramai dan kesepian datang secara bersamaan. Merasa sendiri dalam riuhnya hiruk dan pikuk mungkin saja terjadi.
“Yakin? Padahal sejak lahir kamu belum pernah merasakan kesendirian.”
“Kamu benar, aku memang tidak pernah merasakan benar-benar sendirian. Selalu ada kalian yang membersamaiku dalam setiap langkah dan perubahan yang terjadi dalam diriku. Aku mungkin sedang terlalu sensitif.”
“Wajar, kita tetaplah perempuan.”
Selain persamaan, Ikrimah juga perlu untuk selalu memaknai hakikat menjadi seorang perempuan. Menjadi perempuan tidak perlu menjadi terkungkung dalam segala hal. Akan tetapi, perempuan tetaplah perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Keberadaan perempuan tidak bisa selalu dibandingkan dengan kehadiran laki-laki. Keduanya memiliki peran dan kedudukannya masing-masing. Laki-laki bukan berarti lebih unggul dalam segala hal serta perempuan dapat juga menjadi setara bahkan lebih unggul daripada laki-laki. Karena bukan pertunjukan kemampuan, apa pun gendernya, keduanya tetaplah hidup berdampingan di dunia ini. Ikrimah tidak boleh mengecil seiring dengan kehadiran Ghanimah. Pun Ghanimah yang tetap harus menunjukkan kelaki-lakiannya meskipun dia tumbuh bersama dua saudara perempuannya.
“Menyesalkah kamu dilahirkan sebagai perempuan, Ikrimah?” tanyaku membungkam hening yang membekukan.
“Apakah aku berdosa jika menjawab iya?”
“Entahlah! Aku bukan malaikat pencatat amal buruk. Tidak sampai pemahamanku terhadap hal itu. Yang kutahu, dilahirkan ke dunia ini adalah nikmat tiada tara, mensyukuri setiap karunia-Nya adalah kebaikan yang kita usahakan.”
“Aku bukannya tidak pernah bersyukur, hanya kepercayaan diriku mengalami krisis setelah kehadiran Ghanimah.”
“Tidak bisakah kamu hanya menerima dan berbaik sangka atas kehadirannya? Meskipun sempat meragukan kehadiranmu, aku pun pada akhirnya bersedia menerima kehadiranmu.”
“Saat aku ingin berusaha, kemudian muncul penyesalan dalam diriku. Mengapa aku tidak dilahirkan sebagai laki-laki sehingga aku akan menjadi yang terakhir dan orang tua kita tidak perlu lagi membagi kasih.”
“Jangan pernah berhenti berusaha, Ikrimah. Kenyataannya kamu dilahirkan sebagai perempuan dan bukan yang terakhir. Menjadi perempuan pun perlu selalu disyukuri karena keutamaannya pernah disampaikan Sang Pemimpin umat, Nabi Muhammad saw.”
Ikrimah memandang langit-langit rumah, melukis bayangan di bola mata coklatnya. Ditariknya napas panjang, sesak. Pahamkah dia dengan setiap penjelasanku? Aku tidak bermaksud mendiktenya, tetapi rasanya seolah aku memaksanya menelan segalanya. Padahal, Ikrimah mungkin belum mengerti. Dia masih terlalu dini untuk memahami. Akan tetapi, dia yang memulainya sendiri.
“Sudahlah, Ikrimah. Jangan mulai untuk berperang saat kamu belum mengetahui masalahnya. Kamu hanya harus merasakan sendiri setiap dampak dari kehadiran Ghanimah. Siapa yang tahu kamu malah menjadi lebih bahagia dan kehidupanmu menjadi lebih berarti.”
Selengkung senyum tergores di wajahnya. Ikrimah mengangguk. Diangkatnya tangannya lalu dia berdiri. Ikrimah berteriak, “Ah ...! Aku tidak tahu apa yang salah, tapi hatiku selalu resah.”
Sejak itu, Ikrimah tidak lagi menghindari setiap interaksi dengan Ghanimah. Penerimaan yang dia putuskan dengan beragam pertimbangan itu sudah membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dia menjadi seorang perempuan yang lebih pemberani dalam menghadapi situasi-situasi di depan matanya. Saat ada yang tidak sesuai dengan kehendaknya, dia akan berkata tidak. Saat suatu perbuatan tidak sesuai dengan hati nuraninya, dia akan menjauhinya. Juga, saat ada keinginan dan harapan yang dia tanamkan, dia akan memperjuangkannya. Tidak ada yang boleh menghalanginya, nitanya. Ikrimah menjadi lebih kuat dengan caranya. Seperti saturnus dengan cincinnya, Ikrimah menjadi lebih percaya terhadap dirinya sendiri. Ikrimah, kamu sepertinya sudah banyak mengerti sehingga aku tidak perlu lagi menutupi. Sungguh, tebing curam masih senantiasa menemani di setiap langkah yang kamu pilih.
Kekhawatiran terbesar seringnya datang dari diri sendiri. Identifikasi terhadap masalah pun menjadi kian samar dan tidak berdasar. Beragam kekhawatiran muncul tidak terkendali dan membuat diri semakin terasuki. Bahkan, saudara sendiri menjadi musuh yang paling tidak dapat dihindari. Apa daya, darah yang mengalir tetap sama.
***
Satu tahun sudah Ikrimah menjadi santri, melepaskan kebebasannya demi menggapai nalurinya. Dia memilih untuk menjadi berbeda dengan orang lain seusianya. Saat mereka berbondong-bondong mempersiapkan diri agar diterima di sekolah menengah atas favorit, Ikrimah justru mengambil langkah tidak biasa. Konsekuensinya, Ikrimah harus rela menerima penindasan emosianal dari orang-orang yang tidak memahami hakikat tujuannya. Bahkan, aku pun pernah menjadi orang yang melukainya. Aku memang tidak pernah benar-benar memahami Ikrimah, termasuk tentang dia yang memilih jalan yang tidak semua orang mau melaluinya. Sungguh, pilihan yang berani dan menguji nyali.
Masih kuingat saat Ikrimah menangis sejadi-jadinya memperjuangkan harapannya. Dia meminta restu orang tua kami untuk bisa memilih pesantren sebagai tempatnya menimba ilmu. Memang, selama menjalani sekolah formalnya, Ikrimah tidak pernah menunjukkan ketertarikan yang sangat terhadap mata pelajaran di sekolah. Nilainya pun tidak bagus-bagus amat, biasa saja. Pernah aku bertanya kepadanya, “Ikrimah, apakah sekolah menyenangkan?”
“Biasa saja,” jawabnya tanpa gairah.
Sekolah memang tidak pernah memiliki keistimewaan, selain pertemanan. Masa sekolah adalah masa yang menyulitkan karena selalu ada tuntutan tentang banyak hal, bukan hanya tentang pelajaran. Sekolah menuntut untuk belajar, terutama menoleransi setiap hal, kekurangan dan kelebihan. Kadang, sekolah terasa sangat melelahkan. Namun, kadang juga tidak demikian, sekolah dapat menjadi pelarian saat rumah tidak menyenangkan.
“Bagaimana dengan teman? Kamu punya?”
“Ada, beberapa.”
“Aku juga tidak punya banyak.”
“Ah, berteman itu memang tidak semudah itu. Kadang, orang-orang itu hanya ingin dimengerti tanpa mau mengerti.”
“Makanya itu, berteman itu tidak mudah. Ada ego yang senantiasa kita tekan atau dilambungkan agar bisa menyesuaikan.”
“Itulah yang membuatnya melelahkan. Memiliki beberapa saja sudah cukup asal sejalan. Aku malas berteman dengan orang yang suka memaksakan.”
“Tapi, ada saatnya pertemanan yang luas itu menggairahkan, memperluas jangkauan kehidupan.”