“Mereka tidak meminta balasan, cukup tunjukkan tekadmu.
Perlihatkan kesungguhanmu, yakinkan mereka.
Abaikan siapa pun yang menghujanimu dengan ketidakberpihakan.”
Mereka yang kumaksud adalah mamah dan bapak. Merekalah orang yang telah bersedia menanggung luka dan derita atas kehidupan yang sering kali mengecewakan. Keberlangsungan hidup kami telah mereka jamin, katanya tanpa pamrih. Namun, mereka memikulkan beban yang memberatkan, kebahagiaan. Keinginan mereka hanya satu, melihat kami hidup lebih baik daripada mereka. Meskipun begitu, cara yang kami lakukan tidak mesti sama, bukan?
Hari ini mamah dan bapak harus merelakan Ikrimah pergi ke pesantren. Meskipun masih di rumah, mamah terlihat sangat tidak bersemangat. Raut wajahnya berbeda dari biasanya. Padahal, dia sudah mempersiapkan banyak hal untuk Ikrimah. Bahkan, untuk memastikan semuanya sudah disiapkan, mamah selalu bertanya kepadaku, “Apa lagi, ya, yang akan diperlukan Ikrimah nanti? Takut ada yang terlewat. Bagaimana kalau nanti dia harus mencarinya sendiri.”
Selalu kujawab bahwa semuanya sudah siap. Akan tetapi, masalahnya pasti akan selalu ada yang tertinggal dan pada akhirnya Ikrimah harus membelinya sendiri. Bagaimanapun, kebutuhan saat di pesantren dan di rumah pasti berbeda. Jadi, tidak perlu berlebihan menyiapkan segala keperluan Ikrimah. Itu pikiranku, berbeda dengan mamah. Banyak hal yang tidak aku pahami darinya sebagai seorang ibu. Sudah jelas bahwa Ikrimah akan pergi, tetapi mamah masih bertanya, “Ikrimah, sudah matang, kah, pilihanmu itu?” Bukannya sudah jelas-jelas Ikrimah menangisi banyak hal demi keberangkatannya ini? Aku semakin tidak memahami pola pikir kompleks yang ditunjukkan orang tua kepada anaknya. Atas dasar apa mereka melakukannya? Seharusnya ada jawaban tentang ini dan kamu pasti mengetahuinya juga.
Rupanya, mamah masih ingin memastikan kesungguhan Ikrimah atas pilihannya. Apalagi, di sana Ikrimah harus siap menjalani kehidupannya sendiri. Naluri seorang ibu memang tiada dua. Dia tidak akan meninggalkanmu meski kamu menyerah atas pilihanmu. Akan tetapi, tanggung malunya sendiri kalau kamu tidak bisa mempertanggungjawabkannya.
“InsyaAllah, Mah. Doakan Ikrimah, ya, Mah.” Senyum termanis terpatri di wajah adik perempuanku. Ikrimah mengibarkan bendera kemenangannya. Kepercayaan dirinya sedang membuncah-buncahnya kala itu.
Dipeluknya Ikrimah erat seolah tidak rela melepaskan permatanya hanyut dibawa arus kehidupan. Aku hanya diam, menyaksikan setiap ketabuan perbuatan mereka. Kusimak setiap pembicaraan mereka. Namun, tidak sedikit pun bapak mengeluarkan kata. Apakah keberadaan Ikrimah di sisinya tidak penting baginya? Ah, bapak memang begitu. Lami tidak perlu mengkhawatirkan pendapat bapak terutama untuk hal-hal krusial yang menyangkut anak-anaknya. Bapak tidak pernah menentang kami dengan begitu keras. Tidak akan pernah keluar suatu keputusan apabila mamah dan bapak belum bersepakat. Tidak akan mamah memutuskan suatu perkara tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan bapak. Pun bapak, dia hanya akan memberi keputusan apabila mamah sudah menyetujui dan menerima keputusan yang dia ambil. Sungguh, begitulah kehidupan kami berjalan selama ini. Demokratis dengan sedikit paksaan. Namun, kami menikmatinya, mensyukurinya. Setidaknya, kami masih diberi kebebasan untuk memilih meskipun hasil akhirnya belum tentu sesuai dengan pilihan kami.
“Belajarnya yang bener, Dek!” kata Bapak membunuh hening.
“Iya, Pak. Doakan, ya. Semoga aku bisa mempertanggungjawabkan pilihanku. Terima kasih karena Bapak dan Mamah sudah mau percaya dan menyetujui pilihanku. Memang ini bukan pilihan yang mudah karena aku lebih memilih masuk pesantren daripada sekolah konvensional. Tapi, aku akan buktikan kalau aku tidak asal pilih. Aku tidak ikut-ikutan. Biar orang lain berkata apa pun, tapi aku harap Bapak dan Mamah tetap percaya kepadaku.” Bibir Ikrimah mulai bergetar, nada suaranya pun demikian. Sepertinya dia sedang menahan tangis atau justru menimbun gembira. Tidak dapat kubedakan.
Siapa yang sangup menahan haru saat menyadari bahwa dua orang yang paling ingin kau yakinkan di dunia ini ternyata mendukung pilihanmu? Aku pun memahami kebahagiaan yang dirasakan Ikrimah. Setiap penolakan dan ketidakberpihakan setiap orang seolah bekasnya hilang begitu saja saat orang tuamu mengiyakan. Meskipun banyak hal yang perlu dipertanggung jawabkan kemudian, tetapi semuanya akan berjalan dengan sendirinya. Apalagi, dengan adanya restu mereka, pasti semuanya akan berjalan dengan lebih mudah. Semoga.
Aku memperhatikan raut wajah adik perempuanku itu. Baru kali ini aku mendengarnya bicara dengan benar. Dia terlihat sungguh-sungguh. Meskipun niqab menutupi hampir seluruh bagian wajahnya, tapi dari mata dan perkataannya, aku yakin dia memahami setiap ucapannya. Dia memiliki keyakinan atas pilihannya. Dia sama sepertiku saat meyakinkan mereka tentang pilihanku bahwa aku ingin kuliah. Aku bisa melakukannya dan beasiswa dapat menutupi segala kebutuhan kuliahku. Ikrimah sama sepertiku yang menangis tersedu-sedu karena berharap mereka meyakini keputusanku. Perkataan yang hampir sama kuucapkan saat itu kepada mamah dan bapak. Orang lain bisa berkata sesuai dengan pemahaman dan pandangan mereka, tetapi aku akan menjalani pilihanku dengan caraku atas restu mereka. Orang tuaku tidak perlu khawatir. Semua kekhawatiran yang muncul sebelumnya, itu hanya akan berlalu dan berganti dengan kebaikan. Kebahagiaan akan aku berikan setelahnya. Tentu saja jika Allah mengizinkan. Apa dayaku di dunia yang fana ini.
“Ih, nangis. Cengeng!” ejek adik laki-lakiku yang masih berusia lima tahun.
Tidak seperti anak laki-laki seusianya, Ghanimah cukup terlambat menguasai kata dibanding anak-anak seusianya. Pelafalannya terhadap beberapa huruf kurang baik sehingga sering kali perkataannya menjadi tidak jelas. Namun, kali ini dia begitu jelas mengucapkan perkataan itu kepada Ikrimah. Dari mana dia tahu bahwa Ikrimah menangis? Padahal, Ghanimah seolah acuh terhadap kakaknya itu. Ternyata dia juga memiliki sisi peduli yang tidak bisa dia sembunyikan selamanya. Tentu saja, kami pernah merasakan tumbuh dan berkembang di dalam rahim yang sama. Selama hidup di dunia pun, kami dibesarkan oleh keringat bapak dan kasih sayang mereka.
“Siapa yang nangis?” bantah Ikrimah. Dia berusaha menutupi air yang mengalir dari matanya.
Ghanimah hanya tertawa. Dia seperti tidak peduli atas kepergian Ikrimah. Padahal, pasti ada juga bagian yang menjadi kosong dari dirinya setelah Ikrimah pergi, nanti. Waktunya tiba, kami mengantar Ikrimah ke pesantrennya. Menakjubkan, adikku akan tumbuh dan menjadi dewasa di lingkungan ini. Meski asing dan bising, ini bukanlah tempat yang buruk untuk menempa diri selama kamu tidak malas, tentu saja. Mamah dan bapak mengikuti ustaz yang membantu pendaftaran adikku masuk pesantren. Mereka berjalan menuju gedung terbesar di pesantren untuk melakukan pendaftaran ulang. Tinggallah aku dan Ikrimah duduk berdua. Aku melihat matanya yang memerah dan tatapannya yang kosong. Air matanya menggenang lagi. Dia berkata, “Teh, apa ini pilihan yang tepat?”
Ikrimah membenamkan wajahnya ke balik pundakku. Dia menangis. Kugenggam tangannya, “Kenapa? Kamu ragu?”
“Masalahnya, aku akan semakin membebani mereka. Aku tahu itu. Aku juga tahu kalau aku terlalu egois. Tapi, hati kecilku seolah berkata bahwa aku tidak bisa mundur. Aku tidak bisa meninggalkan pilihanku ini begitu saja.”
Ikrimah berkata sambil menahan air matanya yang kian berurai. Bajuku semakin basah di bagian pundak. Ah, adik perempuanku ini terlalu lama menahan tangisnya sehingga sekarang dia sulit membendungnya. Tangannya yang sebelumnya kugenggam erat pun berbalik menggenggamku lebih erat. Seandainya menggenggam tangan mampu mentransfer suasana hati, sudah kupahami dengan pasti inginnya dari lama. Sayangnya, hanya suhu tanganya yang kurasakan semakin mendingin. Dia khawatir juga.