Setelah berhasil membuat pria tak dikenal yang tiba-tiba muncul di kamarnya tersebut menunggu di luar kamar, Rindu segera melaksanakan apa yang hendak ia lakukan sebelumnya. Ia juga buru-buru mandi dan berpakaian rapi layaknya hendak ke kantor. Sehingga, jika ia bertemu lagi dengan pria aneh itu, Rindu tak memperlihatkan rambutnya lagi.
“Cantik? Masih lama, ya? Kok malu dengan suami sendiri?” tanya pria aneh itu dari depan pintu kamar.
Rindu melotot, menutup mulutnya agar tak memekik.
Ganteng-ganteng kok gila?! Sejak kapan dia jadi suami Rindu? Dan mengapa dia mengaku sudah berada di kamar ini selama dua tahun terakhir ini?
Rindu buru-buru meraih ponselnya. Ia hendak menghubungi sepupu Ridwan, meminta tolong agar pria itu mengurus pria gila yang entah dari mana munculnya itu.
Namun, alangkah terkejutnya Rindu saat melihat layar ponselnya. Sebelum ia sempat membuka kuncinya, layar tersebut menampilkan deretan kata-kata yang bisa ditebak berasal dari siapa. Huruf-hurufnya berwarna merah muda dan berpendar. Norak.
Cantik, sudah siap? Aku ini RLR, suamimu sendiri. Kenapa harus malu? Aku boleh masuk, ya?
Rindu bergidik ngeri. Dengan tangan gemetar, ia mencoba membuka kunci ponselnya, tapi gagal. Layar ponsel tetap menampilkan kata-kata tersebut. Entah bagaimana caranya pria gila dengan nama aneh di depan kamarnya itu meretas ponsel Rindu. Namun, bukan hal itu yang menjadi perhatian Rindu sekarang.
Tidak bisa menggunakan ponselnya membuat Rindu melirik jendela kamarnya. Tidak bisa kabur melalui jendela berjeruji itu membuat Rindu mulai menangis. Ia benar-benar kebingungan dan ketakutan.
Saat sedang mondar-mandir memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya, langkah Rindu terhenti di depan pintu kamar mandinya. Ia teringat sesuatu, lalu bergegas memasuki kamar mandi. Akhirnya, ia menemukan jalan keluarnya.
***
Pria bercambang tipis itu menyulut api rokoknya. Ia duduk dengan santai di dekat jendela kamar hotel, menatap nanar pada seorang wanita yang masih pulas di ranjang.
“Kasihan juga kalau terpergok di sini,” gumam pria tersebut.
Masih dengan sebatang rokok terselip di bibir, pria berotot itu menghampiri wanita tersebut. Dengan sedikit kasar, ia mengguncang tubuh wanita itu.
“Bangunlah. Kau harus segera pergi,” usir pria tersebut dengan nada datar, sedater wajahnya.
Wanita tersebut berdecak kesal. Dengan terburu-buru, ia memungut pakaiannya yang berserakan. Wanita itu mengenakannya sambil menggerutu pelan.
“Jangan lupakan itu,” kata pria bercambang tipis sambil menunjuk puluhan lembar uang di atas nakas.
Wanita yang menjadi teman kencan pria tersebut mendengus, lalu menyambar bayarannya. Ia berlalu tanpa mengatakan apa-apa. Barangkali masih kesal karena dibangunkan lalu diusir begitu saja.
Pria bercambang tipis itu terkekeh. Setelah pintu kamar sewaannya tertutup rapat, ia membuka lemari dan mengeluarkan sebuah box hitam dan panjang yang ternyata berisi sebuah senapan laras panjang yang siap dirakit.
Pria itu tersenyum saat memeriksa Barrett M95 itu. Menyamar menjadi karyawan hotel untuk menyelundupkan senjata mematikan itu ternyata membawa hasil yang memuaskan.