Angin kering menyapu hamparan gurun, menggulung bulir-bulir pasir yang beterbangan di udara. Di kejauhan, rumput-rumput kuning yang nyaris mati bergulung seperti bola kecil di antara debu dan terik. Dari langit, seekor elang melayang tinggi, mengamati sekelompok manusia kecil yang berjalan di kota mati. Bangunan lumpur rapuh berdiri membisu, seolah menyembunyikan sejarah yang tak ingin diungkap.
Di dalam tandu beratap bundar yang terbuat dari kayu mahal, seorang pria bergelar Tuan duduk bersandar dengan angkuh. Di sampingnya, seorang wanita muda menempel manja, tangannya menelusuri dada pria itu seperti madu melekat pada sarangnya.
“Tuan... saya ingin jadi satu-satunya. Kenapa Anda belum menceraikan Nyonya Senna?”
suaranya lembut, nyaris seperti bisikan di tengah badai yang belum datang.
“Bersabarlah, Mayra. Setelah urusanku selesai, semuanya akan kuakhiri.”
“Kau selalu bilang begitu,” balas Mayra sambil tersenyum getir. “Kau pasti ingat janjimu, kan?”
“Aku lelaki yang menepati kata-katanya. Apapun akan kuberikan padamu.”
Namun janji tak selalu sampai pada takdir.
Tiba-tiba, tandu itu berhenti mendadak. Para pelayan menurunkannya dari bahu, napas mereka berat, keringat bercucuran.
Ketua Pengawal mendekat, mengetuk sisi tandu sebelum membuka tirai dengan sikap hormat.
“Maaf, Tuan. Kami harus berhenti. Dua unta mengalami luka serius.”
“Lama?” tanya sang Tuan, alisnya naik sedikit.
“Kami akan berusaha secepat mungkin... Tapi kami tak bisa menjamin.”