Mentari pagi menyibak kabut gurun, memantulkan cahaya keemasan pada langit yang bersih. Seekor burung elang melintas anggun, mengepakkan sayapnya membawa gulungan paripus[¹] di kaki. Angin membawa aroma pasir dan harapan yang belum sempat tumbuh. Di tengah oase, elang itu singgah sejenak, paruhnya mencicipi permukaan air tenang. Tapi ia tak bisa berlama-lama.
“Dasar elang sialan! Kembali ke sini!” seru seorang pemuda dari balik semak.
Pemuda itu—Syamsi—muncul dengan langkah tergesa. Matanya mengikuti burung itu yang terbang menjauh ke arah barat, ke kota Reda, seolah sedang membawa pesan penting. Ia tahu, elang itu bukan sembarangan. Paripus yang terikat di kakinya jelas bersegel kerajaan. Dan Syamsi... gagal menangkapnya.
Ia mendecak. “Padahal tinggal sedetik lagi,” gerutunya.
Setelah mengisi penuh kendi air, Syamsi berlari kembali ke perkemahan. Tenda-tenda tampak ramai. Para pelayan sibuk menyiapkan sarapan dan menyembunyikan ketegangan dalam percakapan ringan. Tapi Syamsi tak peduli. Ia menuju tenda utama, membuka tirai, lalu berlutut.
"Hormat saya kepada Pangeran Harith."
Pangeran itu menatapnya sambil tersenyum. Sorot matanya hangat, tapi menyimpan keteguhan baja. “Kau lama sekali, Syamsi. Jangan bilang kau tersesat di danau,” ujarnya setengah bercanda.
Syamsi nyengir malu. Ia duduk bersila. “Bukan tersesat, Pangeran... hanya gagal menangkap elang. Burung itu membawa surat. Tapi sayangnya, terbang lebih cepat dari harapan saya.”
Harith tertawa kecil. “Dan kau lupa memiliki busur panah?”
Wajah Syamsi langsung merah seperti cabai kering. “Y-ya... saya... khilaf.”
Tawa Harith pecah, membuat ketegangan sejenak mencair. Namun kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Seorang pelayan wanita masuk setelah membunyikan lonceng kecil. Ia memberi hormat dan bicara lirih, “Maaf, Tuan Syamsi. Kami butuh bantuan Anda di luar.”
Syamsi bangkit. Harith hanya mengangguk, memberi isyarat bahwa tugas lebih penting dari candaan.
Syamsi pergi. Tapi tak lama kemudian, tirai kembali terbuka. Kali ini, seorang wanita tua melangkah masuk. Langkahnya lambat, namun anggun. Abaya panjangnya mengisyaratkan status bangsawan. Rautnya menua, tapi matanya masih tajam seperti singa betina yang tak pernah lupa cara berburu.
“Ah, Nyonya Chayra.” Harith segera berdiri dan memberi hormat.
Chayra mendekat, memeluknya erat seolah takut tubuh muda itu akan menghilang. “Harith... sebentar lagi kerajaan akan kembali ke tanganmu. Tolong, balaskan dendam Yang Mulia Raja Ghani dan Ratu Alea.”
Harith mengangguk pelan. Tangannya membelai punggung wanita itu penuh kasih. “Saya bersumpah di atas nama darah yang tertumpah. Raja Altair akan jatuh.”