ADURA

Deany Na
Chapter #6

Bab 5 - Mitri

Di Kota Denvail.

Yena menatap dalam buku yang ia pegang, tak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Bahkan kehadiran Sameer terasa nyaris tak ada.


“Setelah ini, apa yang akan Nona lakukan?” tanya Sameer, memecah keheningan.


Yena menoleh pelan. Matanya melirik ke buku, lalu kembali menatap Sameer. “Mungkin... membaca buku ini sampai selesai,” jawabnya. Senyum tipis menghiasi bibirnya. “Kalau kau, pasti banyak yang harus dikerjakan, bukan?”


Sameer mengangguk kecil. “Begitulah. Saya akan kembali bekerja seperti biasa.”


“Bagus. Pergilah. Jangan sampai telat menyelesaikan tugasmu.”


“Terima kasih, Nona. Saya pamit.”


Sameer membungkuk hormat sebelum berbalik dan meninggalkan Yena menuju tempat tugasnya.


Setelah kepergiannya, Yena kembali fokus pada buku misterius di tangannya. Buku itu terasa... ganjil. Sampulnya tua dan penuh simbol aneh. Ia memutuskan membacanya di dalam kamar penginapan.


Begitu tiba, Yena menaiki tangga tanpa menoleh sedikit pun pada pelayan di meja resepsionis. Ia membuka pintu kamarnya, lalu duduk di depan meja kayu bundar. Buku itu ia buka perlahan, jari-jarinya menyentuh lembaran yang mulai rapuh. Setiap aksara tampak asing. Simbol-simbolnya seperti hidup, berpindah-pindah di matanya.


“Aku menyerah...” gumamnya. “Bahasa dalam buku ini sangat aneh. Aku tidak bisa membacanya.”


Meski frustrasi, ia tetap mencoba. Sampai akhirnya—suara gaduh dari luar membuatnya bangkit. Yena mengintip lewat jendela... dan mengenali pemicu keributan itu.


Eden.


Sang Ketua Prajurit. Si bengis yang lebih memilih kekerasan ketimbang bicara. Apa yang dia lakukan di Denvail? Bukankah seharusnya dia sedang mengawal seorang menteri?


Tanpa pikir panjang, Yena melesat keluar kamar, meninggalkan buku terbuka di meja.

🍂🍂🍂


Di lobi penginapan.

Seorang pelayan pucat pasi memandangi pria tinggi bersurai merah. Sementara pemilik penginapan mencoba memohon agar Eden mengikuti aturan.


“Ma-maaf, Tuan... Anda harus memesan kamar dulu. Kami tidak bisa membiarkan Anda masuk begitu saja,” ujar si pemilik dengan suara gemetar.


Eden menarik kerah lelaki itu dengan satu tangan.


“Coba katakan sekali lagi,” desisnya. “Aku bisa mematahkan lehermu kalau kau terus menghalangiku. Di mana Yena?”


“Tu-Tuan, tolong—”


“Baiklah, kalau itu yang kau pilih....”


Tubuh si pemilik terangkat. Lehernya terancam putus dalam sekejap—jika bukan karena teriakan lantang...


“EDEN!!”

Lihat selengkapnya