Sore menjelang malam, pasir beterbangan semakin rapat. Yena dan Eden sudah terbiasa dengan kondisi bumi tempat mereka berpijak. Itu sebabnya, mereka mengenakan jubah coklat bertudung sebagai pelindung dari badai yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Jarak dari kota Denvail ke kota Mitri cukup jauh. Tanpa istirahat malam, mereka bisa tiba 1×24 jam atau satu hari satu malam perjalanan. Namun, jika mereka terlalu banyak beristirahat, waktu tempuh akan semakin panjang. Karena itu, meski terhalang badai sekalipun, mereka tetap menerjangnya tanpa gentar karena waktu istirahat sudah sampai batasnya untuk hari ini.
Yena dan Eden melewati beberapa kota mati hingga akhirnya kota Mitri mulai terlihat dari jauh.
Yena dan Eden melihat jelas keadaan Menteri Kaide. Seperti pembunuhan-pembunuhan sebelumnya, kepala Menteri Kaide hilang. Tampak seperti diambil dengan sengaja. Meski sudah sering melihat mayat dan mencium bau darah, Yena tetap tidak terbiasa melihat jasad para petinggi tanpa kepala. Ia menutup hidungnya dengan satu tangan. Hal itu tidak berlaku bagi Eden.
"Yang Mulia, lalu kami harus bagaimana?" tanya Eden. Ekspresinya masih datar sejak awal perjalanan.
Raja termenung. Penasihat Zain membisikkan sesuatu padanya. Yena bertanya-tanya mengapa Tuan Zain selalu berbisik seperti itu, padahal Raja tidak tuli. Mungkin demi kerahasiaan?
"Untuk sekarang, kalian ikut bersamaku. Kita perlu mengadakan pertemuan. Jika tidak, assassin itu akan semakin mudah beraksi," ucap Raja akhirnya.
"Baik, Yang Mulia." Semua bawahan menjawab serentak.
Yena selalu kagum tiap kali Raja Firan berbicara. Kalimat-kalimatnya terdengar cerdas dan berkelas—berbanding terbalik dengan sistem kekuasaannya. Apa yang mendasari tindakan sang raja? Pertanyaan itu terus mengganggunya. Tapi untuk mengulik lebih dalam? Sepertinya tidak perlu. Yena masih ingin hidup bersama keluarganya. Meski pernah terpikir ingin mengikuti jejak sang pembunuh, sumpahnya terlalu riskan untuk dilanggar.
Para pengawal Kaide memberi hormat sebelum pergi. Tandu mereka berada sangat jauh dari lokasi pembunuhan. Rombongan Raja Firan berbalik arah menuju kuda yang terikat pada tiang rumah.
Yena dan Wakil Syamsir mengekor Eden dan Tuan Zain, sementara sang Raja memimpin di depan. Mereka menunggang kuda menyusuri jalan setapak kota Mitri.
Yena menebak kota ini sebentar lagi akan menjadi kota mati seperti kota-kota lain yang menentang Pemerintahan Altair. Ia hanya bisa memandang iba rumah-rumah penduduk, tanpa bisa berbuat apa-apa. Penduduk hanya mengintip dari jendela usang. Tatapan mereka menyiratkan penderitaan.
Yena menunduk, takut kesedihannya disadari Syamsir.
"Menangislah jika Anda tidak sanggup melihat penderitaan di sini. Tenang saja, saya tidak akan memberi tahu siapa pun," ujar Syamsir pelan, seperti berbisik.
Yena menoleh. Pria itu tampak biasa saja. Apakah suara itu hanya ilusi? Tapi saat Yena memperhatikannya lebih lekat, Syamsir menoleh. Tatapan mereka bertemu.
"Saya serius, Nona. Silakan menangis, tapi jangan sampai terdengar," ucap Syamsir sambil tersenyum, lalu kembali menatap ke depan.
Yena menunduk. Bukannya menangis, ia justru tersenyum. Kata-kata Syamsir tadi-entah kenapa-terdengar lucu. Kesedihannya sedikit teralihkan berkat Syamsir.
🍂🍂🍂