ADURA

Deany Na
Chapter #10

Bab 9 - Reda

Hari itu cerah. Yena membeli sepotong roti tamis untuk sarapan sambil mengamati suasana kota Reda, pusat berdirinya Kerajaan Altair.


Dari luar, kota tampak makmur. Rakyat hilir-mudik menjalankan aktivitas, pedagang sibuk menawarkan dagangan, dan anak-anak berlarian di jalan.


Namun, jika menelisik lebih dalam, wajah sejahtera itu hanya topeng. Orang-orang tak berharta diperlakukan semena-mena. Banyak yang dijual lalu dijadikan budak, atau lebih buruk—dipaksa bekerja tanpa makanan hingga tubuh mereka remuk dan mati.


Yena, Adam, dan ibunya hanya bisa bertahan berkat pedang yang dikuasai Yena. Seandainya ia bukan siapa-siapa, mungkin dirinya sudah lama menjadi milik saudagar kaya.


Bangunan di kota Reda menjulang mewah. Dinding-dindingnya menggunakan kayu berkualitas tinggi dari Negeri Tropis, bahkan kini sebuah pohon bisa tumbuh di Negeri Alraml, bukan sekadar di sekitar oase.


Orang-orang dahulu pernah berkata, Negeri Alraml dulunya jauh berbeda. Bangunan masa lampau kebanyakan dibuat dari lumpur dan susu. Baru di tangan Raja Firan, kayu kualitas tinggi bisa mengalir deras ke negeri ini dengan harga murah. Meski begitu, tanah yang diolah dengan cara lama masih disulap menjadi bahan bangunan kokoh—lebih tahan air daripada lumpur dan susu. Bagi orang-orang kaya menengah ke atas, bahan lama itu tetap menjadi primadona, seakan menyimpan nilai sejarah sekaligus kekuatan.


Namun, di balik kemewahan, beberapa kota di Negeri Alraml justru mati perlahan. Dulu kota-kota itu sejahtera; salah satunya Mitri, yang bahkan pernah diganjar penghargaan khusus oleh raja terdahulu. Penduduknya dikenal setia dan penuh kebajikan. Akan tetapi, kesetiaan mereka pada penguasa justru membawa petaka. Kota Mitri runtuh, tenggelam dalam keterpurukan.


Mereka berakhir.


Dalam kesengsaraan.


Mungkin bagi orang seperti mereka, mati dalam derita lebih baik daripada hidup bahagia di atas penderitaan orang lain.


🍂🍂🍂


Roti habis dilahap, seiring langkah Yena yang kini mengarah ke istana. Dua pengawal membuka gerbang, membungkuk hormat, lalu mempersilahkannya masuk.


Dalam perjalanan, ia teringat sesuatu. Kakinya berbelok menuju tempat pelatihan calon prajurit.


Di sana, Syamsir tengah melatih murid-muridnya. Tubuhnya tinggi besar, berwibawa. Menurut Yena, sosok itu lebih cocok menjadi Panglima Perang dibanding Eden—dan pendapat itu tampaknya bukan hanya miliknya.


“Selamat pagi, Nona,” sapa Syamsir dengan senyum lebar, membiarkan anak didiknya berlatih satu sama lain.


Akibat kejadian semalam, Yena jadi gugup. Senyumnya kaku, seakan dipaksakan. Syamsir langsung menangkapnya.


“Ada yang salah? Mengapa Nona menatap saya seperti itu?”


“Ekhm, tidak. Saya hanya heran. Semalam Anda mabuk sekali. Tapi sekarang … Anda terlihat baik-baik saja.” Yena menyampirkan rambut hitamnya ke telinga, berusaha setenang mungkin.


Hari ini ia membiarkan rambut panjangnya terurai. Hitam berkilau, bergoyang lembut setiap langkahnya. Para lelaki di sana gagal fokus, termasuk Syamsir. Untung ia masih sanggup menjaga wibawa.


Syamsir berdehem keras, memberi peringatan pada murid-murid yang mencuri pandang. “Mari, Nona. Jangan berlama-lama di sini. Mereka tak akan bisa berlatih jika terus melihat Anda.”


Lihat selengkapnya