Harith berdiri di tepian danau, menanggalkan pakaian kebesarannya—warisan mendiang Raja Ghani, yang dulu sempat disembunyikan para pelayan saat pemberontak menyerbu istana. Kini hanya celana dalam tipis yang menempel di tubuhnya. Ototnya berkilau diterpa sinar mentari pagi, menegaskan tubuh yang terlatih.
Ia melangkah masuk ke dalam air. Riak kecil berlarian di sekitar kakinya.
Dingin… menusuk sampai ke tulang. Tapi menyegarkan.
Ia menenggelamkan wajah, membiarkan rambut hitamnya basah. Netra emasnya, yang biasanya tajam, kini memantulkan cahaya bagaikan bara yang berkilau. Sudah seminggu ia tak menyentuh air—dan kini, tubuhnya seakan terlahir kembali.
Kusakkk—suara ranting patah. Pelan, samar. Harith mendadak terdiam, telinganya menajam. Ada bisikan-bisikan kecil dari balik semak.
“Kau saja!” pekik seorang perempuan melengking dibalik semak. Suara alas kaki terdorong dari sana. Dapat dipastikan ada seseorang di belakang Harith sekarang.
Harith tak menoleh, hanya melirik ke belakang. Suaranya datar, tapi berwibawa.
“Siapa di sana?”
Langkah ragu terdengar. “A-anu… saya membawa pakaian bersih untuk Anda, Pangeran.”
Harith mengenali suara itu. Kaila. Pelayan muda yang selalu terlihat gugup di hadapannya. Senyum tipis melintas di wajahnya. “Simpan saja di batu sana. Jangan lupa bawa pakaian kotornya.”
“B-baik!” Kaila meletakkan baju bersih, lalu mengangkat pakaian Harith yang basah kuyup. Namun, baru ia hendak pergi, suara santai itu kembali terdengar.
“Oh ya, celana dalamku jangan tertinggal.”
Kaila terpaku. Wajahnya mendadak panas. “C-ce… celana?” Matanya liar, mencari sesuatu berbentuk segitiga. “T-tidak ada…” gumamnya.
Harith terkekeh pelan, mmenyentuh kepalan tangan ke bibirnya. “Bukan di situ… di sini.”
Ia mengangkat celana dalam basah itu dengan satu jari. Air menetes, berkilau terkena cahaya. Kaila membeku. Darah menyerbu wajahnya hingga telinganya terasa panas.
Sebelum ia sempat meraih, Harith dengan jahil melemparnya tepat ke pelukan sang pelayan. Celana itu jatuh dengan 'pluk' yang memalukan.
“Pergilah. Dasar mesum.”
Tawa lirih terdengar dari balik semak. Kaila ingin berteriak, tapi kakinya justru menghentak-hentak marah. Ia berlari pergi, pipinya merah padam. Tega sekali, Pangeran…!
Selesai mandi, Harith memakai jubah berlapis dengan kain dililitkan sebagai ikat pinggang. Ia berjalan menuju lapangan latihan. Langkahnya ringan, rambutnya masih meneteskan air. Di sana, Syamsi berdiri tegang, memegang busur. Satu anak panah melesat… thukk! tepat membelah panah lain di pusat sasaran.
Harith bertepuk tangan. “Hebat! Bahkan lebih baik dariku.”
Syamsi terlonjak, buru-buru berlutut. “Yang Mulia terlalu berlebihan. Ampun, saya tak menyadari kehadiran Anda.”
“Bangunlah, tak perlu meminta maaf. Kau fokus berlatih, itu sudah cukup.”
Syamsi berdiri.
Saat itu senyum Harith pudar, berganti serius. Dia tampak berjalan menuju lingkaran target, mencabut anak panah yang tertancap dengan mudah di sana.
“Oh ya, ada kabar tentang Syamsir?”
Syamsi menunduk. “Belum ada. Itu yang membuat saya khawatir… Pangeran.”
🍂🍂🍂
Senja menggantung lemah di langit Altair. Suasana kota mulai lengang, dan angin membawa aroma debu yang lama tak turun hujan. Rumah kayu sederhana milik Tuan Guru Danma akhirnya terlihat.
Pandangan Yena dan Syamsir tertuju pada jendela kusam yang dipenuhi debu. Tak ada cahaya dari dalam.
"Aneh sekali. Biasanya rumah ini bersih meski sederhana. Sekarang bahkan terkesan ditinggalkan," ucap Syamsir heran. Lalu ia mengetuk pintu, berkali-kali. Tapi tetap Sunyi.
Yena menyipitkan mata. Rumah itu juga kotor, terlihat janggal. Ia tidak ingin menunggu lebih lama. Pintupun di dobrak. Sekali tendang, pintu seketika jebol.