Angin sore berhembus lembut dari arah barat, membawa serpihan daun kering yang menari di atas permukaan air. Cahaya matahari menembus tipis melalui awan jingga, memantulkan kilau keemasan di rambut Chayra yang dibiarkan terurai. Di tangannya, tergenggam erat selembar gulungan kertas yang telah kusut—pesan terakhir dari Hazard.
Dari kejauhan, Harith mendekat perlahan. Bayangan tubuhnya memanjang di antara pantulan cahaya air dan rerumputan.
“Nyonya Chayra,” suaranya lembut, tapi bergetar oleh rasa segan.
Wanita itu tidak segera menoleh. Hanya helaan napas panjang yang menjawab.
“Harith… kau masih ingat saudaramu? Yang seayah denganmu,” ujarnya lirih, seolah takut suaranya akan memecah keheningan senja.
“Namanya Hazard.”
Harith mengerutkan kening, berdiri di sisi Chayra. “Saya ingat, Nyonya. Tapi banyak orang bernama Hazard. Apakah mungkin pembunuh gurun itu… dia?”
Chayra akhirnya menoleh, matanya redup memantulkan semburat langit senja. “Bisa saja. Tapi kita perlu kepastian.”
Keheningan kembali turun. Dari balik rambutnya, sinar terakhir matahari seperti menggores wajah Chayra—membentuk garis kesedihan yang samar. Harith menatap wajah itu dan sadar betapa berat beban yang disembunyikan wanita itu selama ini.
“Bagaimana kalau kita mencari tanda lahirnya?” tanya Harith hati-hati.
“Tanda lahir?” Chayra menatap jauh ke air, suaranya semakin pelan. “Ya… Pangeran Hazard memang punya. Tapi masalahnya…”
“Masalahnya apa?”
“Letaknya di bawah pusar,” jawab Chayra akhirnya, lirih tapi cukup untuk membuat udara seolah membeku.
Harith menatapnya dengan mata membulat, dan untuk sepersekian detik, imajinasi yang tidak seharusnya muncul memenuhi kepalanya. Dalam bayangannya, ia bisa melihat dirinya berdiri di hadapan Hazard sambil berkata dengan gagah tapi konyol:
“Tuan Hazard, buka pakaian Anda. Saya ingin memastikan sesuatu… untuk kepentingan kerajaan.”
Wajahnya memanas. Ia cepat-cepat menepuk kening, mencoba menghapus bayangan itu dari pikirannya.
“Tidak… tidak mungkin aku melakukannya. Wibawaku bisa hancur,” gumamnya pelan.
Chayra melirik, menahan tawa kecil yang akhirnya lolos juga dari bibirnya. Untuk pertama kalinya sore itu, udara di tepi danau terasa lebih ringan.
Lalu dari kejauhan terdengar derap kuda yang tergesa. Debu tipis mengepul di antara cahaya oranye yang memudar. Sosok pria melompat turun dari kudanya dan berlari, menggenggam selembar gulungan di tangannya.
“Pangeran Harith! Saya kembali!” Syamsir datang dengan napas memburu, lututnya langsung menyentuh tanah.
“Ho–hormat saya kepada Pangeran Harith,” ujarnya terbata di antara debaran napas.
Harith menatapnya tenang, matanya memantulkan sisa cahaya jingga sore.
“Berdirilah. Sepertinya kau membawa sesuatu yang penting,” ucapnya perlahan.
Syamsir bangkit, tangannya bergetar saat mengulurkan gulungan kertas.
“Ini… dari Guru Danma, Pangeran.”
Nama itu membuat udara seolah berhenti sejenak. Chayra menatap tajam. “Danma? Pengawal pribadi Raja Ghani? Setahuku… dia itu pengkhianat.”
Nada suaranya menegang, namun Harith mengangkat tangan, memberi isyarat agar Chayra tenang. “Izinkan aku membacanya terlebih dahulu,” katanya lembut.
Gulungan itu dibuka. Helaian paripus bergoyang di tangan Harith saat angin melintas. Matanya bergerak cepat membaca isi pesan, dan perlahan—senyum tipis muncul di wajahnya.
“Nyonya perlu membacanya juga,” ucap Harith, menyodorkan gulungan itu.
Chayra menerima dengan tangan gemetar. Begitu matanya menyusuri tulisan tinta hitam itu, air bening segera berkumpul di pelupuk. “Astaga… aku salah menilai. Tuan Guru ternyata bukan pengkhianat.”
Harith mengangguk kecil. “Ya. Sepertinya beliau berpura-pura. Semua sudah direncanakan sejak awal.”
Senyumnya mengembang—hangat tapi penuh haru. Dalam benaknya, sosok Raja Ghani terbayang seperti cahaya di tengah kegelapan: kuat, bijak, dan tetap hidup di hati orang-orangnya. Namun ketenangan itu tak bertahan lama.