Malam turun perlahan di kota Denvail—kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Setelah sehari semalam di perjalanan, Yena akhirnya tiba. Tubuhnya lelah, langkahnya berat, tapi matanya tetap awas seperti kucing yang tak ingin kehilangan mangsa.
Badai pasir tadi siang membuatnya hampir kehilangan arah. Untung saja pemilik penginapan di pinggiran kota itu baik hati—ia bahkan menyimpan buku Yena yang tertinggal, sebagai bentuk terima kasih karena Yena sempat menyelamatkannya dari kematian.
Kini, meski tubuhnya meminta istirahat, pikirannya menolak diam.
Denvail bukan kota biasa. Ini adalah tempat berkumpulnya para pembunuh bayaran, para assassin yang menukar nyawa dengan emas. Jika “pembunuh gurun” itu seorang assassin, maka di sinilah Yena harus menemukannya.
Kini Yena berada di dalam Bar Baffet. Jantungnya Denvail di malam hari—berdenyut oleh tawa, musik, dan aroma arak yang menusuk. Di dalamnya, asap tipis dari rokok membentuk kabut berwarna tembaga di bawah lampu gantung.
Para wanita penghibur menari di panggung, gerak tubuh mereka seperti ular berbisa yang menari di hadapan harimau lapar. Musik berdentum. Sorak para lelaki menggema.
Yena berdiri di antara kerumunan, wajahnya tersembunyi di balik masker hitam—meniru gaya si pembunuh gurun. Ia tahu, di tempat ini, satu tatapan salah bisa berarti maut.
“Jangan gagal fokus, Yena,” gumamnya dalam hati. “Kau datang untuk menemukan dia, bukan untuk tersesat di antara lampu dan arak.”
Sebuah suara memanggil pelan dari balik kerumunan. “Nona Yena?”
Yena menoleh cepat. “Eh? Mysha? Kau bisa mengenaliku?”
Mysha—wanita berambut merah muda yang dulu pernah ia selamatkan—bergegas menarik Yena masuk ke ruang rias di belakang bar. Di ruangan itu, aroma parfum dan bubuk bedak memenuhi udara.
“Ya Tuhan, mengapa Anda berpakaian seperti ini?” serunya terkejut. “Anda… terlihat seperti salah satu dari mereka!”
Yena menghela napas kecil. “Ceritanya panjang, Mysha. Aku sedang mencari seseorang.”
“Siapa?” Mysha mencondongkan tubuh, suaranya menurun.
“Pembunuh gurun.”
Raut wajah Mysha langsung berubah. Ia duduk di kursi rias, menatap bayangannya di cermin yang retak di sisi kanan. “Nona salah kalau mencarinya di sini. Pria bermasker itu sudah lama tidak datang sejak… kejadian malam itu.”
“Ke mana dia pergi?”
Mysha terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku sering melihatnya di taman kota. Sendirian. Biasanya tengah malam, duduk di bawah pohon besar yang kering sambil membaca buku di bawah cahaya lentera.”
Ia tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Aneh, kan? Siapa yang membaca buku di tengah malam seperti itu?”
Namun bagi Yena, kalimat itu seperti tanda dari langit. Matanya menyala. “Jadi dia mungkin ada di sana sekarang?”
“Sepertinya begitu. Mau saya antar?”
Yena menggeleng. “Tak perlu. Aku bisa sendiri. Terima kasih, Mysha. Kalau sempat, aku traktir minum nanti.”