Belum ada petugas TV yang datang padahal sudah jam tujuh lewat. Pax lain mulai berdatangan. Selain Feronica, ada juga segelintir orang kaya yang muncul. Seorang laki-laki dengan tampang dingin, berperawakan tinggi, gaya berjalannya juga acuh, benar-benar seperti seorang peragawan terkenal yang membawakan busana model terbaru. Seperti Feronica, dia diantar seorang pria berbaju hitam-hitam juga yang jauh lebih pendek, berhidung besar, yang ikut grogi saat pandangan orang-orang tertuju padanya—atau lebih tepatnya pada seseorang yang berada di sampingnya.
"Duncan." Petugas di kantor mengulang nama yang disebutkan laki-laki itu saat melapor. Dia juga segera keluar dari kantor kecil itu setelah mendapatkan buku berstempel.
"Kelihatannya musim ini akan seru," celetuk Made yang sedari tadi mengawasi bersama Clara dari tempat duduk mereka di peron.
"Keluarga mereka pasti tidak punya waktu mengantar anaknya ke acara seperti ini," tukas Clara.
"Yah begitulah." Made lalu melihat Clara. "Orang-orang sepertimu tentu tidak punya uang untuk membayar pengawalan seperti itu."
Clara terkekeh.
Menurut pengamatan Clara, ada sekitar enam pax lain yang sudah datang. Biasanya acara ini menampilkan empat belas pax.
Pekerja TV mulai berdatangan, memasang kamera di beberapa sudut. Clara menghela napas panjang. Tangannya terasa lebih dingin sekarang. Lalu terdengar bunyi berisik dari pengeras suara.
"Para pengantar diharap meninggalkan peron karena acara akan segera dimulai. Sekali lagi harap memerhatikan. Para pengantar diharap meninggalkan peron karena acara akan segera dimulai."
"Semoga beruntung," Made menjabat tangan adiknya.
Clara mengangguk, melihat Made melangkah pergi, seperti halnya para pengantar lain. Petugas memberi mereka batas di mana boleh mengawasi. Di luar area yang terjangkau kamera tentunya.
Tidak ada satu pun peserta yang saling menghampiri. Semua terpaku di tempat masing-masing. Tapi tunggu! Apa Clara tidak salah lihat? Anak kecil dengan gaun pink itu terlihat melambai gembira pada orang tuanya yang baru saja bergabung dengan Made. Tidak hanya itu, anak itu juga melambai ke arah kamera yang baru saja dinyalakan. Bahkan dia tahu kamera mana yang sedang merekam, dan melempar senyuman manis untuknya, seperti sedang menyapa penonton di rumah. Tak urung kameramen yang ada di belakang kamera itu tertawa.
Permainan macam apa yang mempertandingkan orang dewasa dengan anak kecil berusia delapan tahun? Bagaimana bisa orang tuanya mengizinkan anak sekecil itu menempuh perjalanan sendirian—meski sebenarnya, dia tidak akan benar-benar sendirian. Lihat saja ranselnya yang sepertinya hanya berisi buku-buku pelajaran. Ringan sekali! Tapi melihat gaun yang dipakainya, Clara bisa menebak ransel itu paling tidak berisi lembaran uang yang bisa membeli apa pun yang dijual di dalam kereta. Anak itu sendiri sepertinya tidak bisa diam—mencuri pandang ke pax lain, tapi takut untuk memulai pembicaraan. Dia mulai bergerak-gerak dengan gelisah sampai tiba pengumuman berikutnya.
"Para pax harap berbaris di depan gerbong nomor satu."
Clara dan pax lainnya bergerak menuju gerbong itu. Dia melihat anak manis itu mengikuti langkah orang dewasa di sekitarnya, menuju gerbong satu. Ingin dia mengajak anak itu berkenalan, tapi terlalu malu dan takut mengatakan hal-hal bodoh. Ketakutan yang selalu muncul setiap dia bertemu dengan orang baru.
"Hey, siapa namamu?" akhirnya peran itu diambil oleh Kei, seorang laki-laki berambut hitam sebahu, berperawakan atletis, dan sebenarnya terlihat menyeramkan jika tidak tersenyum. Wajahnya tipikal pemain musik cadas. Bagaimana bisa pemilihan anggota kali ini begitu berbeda? Barangkali acara ini butuh suasana baru. Biasanya para pax memang dari beragam profesi, atau beragam kota yang membawa budaya masing-masing. Tapi kali ini, mungkin mengusung tema beragam karakter.
"Lasha."
"Lasha?"