"Ivy? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya," kata Reevs saat Duncan mengajaknya makan malam bersama.
"Ya. Memang sudah sekitar sepuluh tahun, kan kau lulus dari Sein Academy of Arts. Kau pasti lupa," kilah Duncan.
"Mungkin saja. Aku bertambah tua sekarang."
"Kakakku mendengar dari Ivy katanya kau benar-benar hebat urusan menggambar."
"Biasa saja. Tapi aku memang berusaha keras untuk itu," jawab Reevs bangga.
"Kau tahu kan ayahku mencetak majalah yang memuat orang-orang keren. Kali ini temanya adalah pekerja seni—lebih tepatnya, setelah tahu aku ditawari ikut acara ini. Dia terpikir untuk membuat edisi baru tentang itu. Dan kakakku merekomendasikanmu. Dia menyuruhku mencari, kalau-kalau sempat bertemu. Dan syukurlah, aku akhirnya bertemu denganmu."
Reevs tertawa. "Ya. Aduh. Di sini penuh ya. Kita makan di ruang santai saja?"
Baikkah. "Bagaimana kalau kau tunggu saja? Aku yang ambil makanannya?" tawar Duncan.
Reevs mengangkat alis. "Terima kasih banyak kalau begitu," katanya, lalu pergi ke gerbong santai.
Duncan bergegas menghampiri Clara. "Yang mana?" bisiknya
"Sebaiknya satu-satu saja. Aku takut malah kau yang menghabiskannya," kata Clara.
"Baiklah siapa dulu?"
"Dia dulu." Clara mengeluarkan bungkusan kecil yang berisi obat tidur yang sebelumnya sudah ditumbuknya halus, tapi dia lalu menyembunyikannya lagi ke bawah meja saat jean datang membawa nampan.
"Kurasa kita harus minta tambahan poin. Ini agak tidak adil," gerutu Jean sambil menyiramkan saus ke atas daging di piring. Duncan melihatnya, lalu Clara.
Clara tertawa. "Bukankah kau yang menawarkan untuk membantu tadi?" tukasnya memerhatikan, sementara tangan kirinya menaburkan obat tidur ke atas semangkuk kecil saus, membuang kertas pembungkusnya sembarangan, lalu dengan cekatan mengaduk sausnya.
Jean melihatnya sebentar. "Ya. Karena aku takut ada yang mengambil lebih dari jatahnya. Kasihan yang tidak kebagian."