AERITHRA: The Legend of the Last Light

Maylyns
Chapter #1

Jejak Cahaya yang Hilang

Tiga ribu tahun yang lalu, pertempuran dahsyat meletus di Veilthorne, langit kelima. Para Penjaga Langit—lima sosok agung pelindung Aerithra—berjuang mati-matian melawan bayangan kegelapan yang berusaha melahap lapisan-lapisan langit di bawahnya.

Di tengah medan perang, berdiri sebuah singgasana raksasa—terbentuk perlahan dari jiwa-jiwa manusia yang direnggut paksa. Semakin tinggi, semakin kelam.

Dari antara kobaran cahaya dan kabut hitam, muncul sosok wanita berambut putih. Zirah hitam membalut tubuhnya, dan di tangannya tergenggam pedang cahaya yang berkilau. Ia menembus barisan pasukan bayangan dengan gerakan anggun namun mematikan, hingga berdiri di hadapan sang penguasa singgasana.

“Inilah akhirmu, Veilvone.”

Ia berlutut, bertumpu pada pedangnya. Matanya terpejam. Di bawahnya, perlahan terbentuk lingkaran sihir—memancarkan cahaya menyilaukan.

Dari balik kabut hitam dan jubah bayangan raksasa, sang penguasa memperhatikan dengan sorot mata berlian putih yang menusuk. Wajahnya rupawan, namun tak sepenuhnya manusia.

“Cobalah sebisamu,” ujarnya angkuh. “Kegelapan tetap akan menyebar... ke mana pun aku menghendakinya.”

Sang penjaga mulai mengangkat pedangnya. Pancaran cahayanya membesar, mengguncang dunia di sekelilingnya. Keempat penjaga lain muncul di belakangnya—masing-masing menyalurkan energi, memperkuat satu serangan terakhir.

Pedang cahaya itu menghantam.

Ledakan kekuatan menyapu langit kelima. Benturan kekuatan cahaya dan bayangan bergemuruh, denting pedang mengoyak ruang.

Hingga akhirnya, sang wanita menemukan celah. Ia menusuk—tepat ke jantung Veilvone.

Kegelapan runtuh seketika. Lelaki itu terduduk, tubuhnya limbung, memegangi luka yang menyala. Namun sebelum kekuatannya sepenuhnya padam, ia melepaskan serangan terakhir—jutaan jarum hitam melesat dari tubuhnya.

Jarum-jarum itu menembus zirah empat penjaga lainnya. Mereka tumbang.

Sang wanita meraung marah.

“Kau masih menyembunyikan kekuatanmu!? Keparat! Harus berapa kali aku menusukmu?!”

Pusaran cahaya keemasan berkumpul di telapak tangannya. Ia melemparkannya ke tubuh Veilvone—meledakkannya hingga nyaris hancur, menyisakan hanya setengah raganya.

Namun sebelum binasa, sang bayangan merapal mantra terakhir.

Aura hitam menguar dari tubuhnya, membungkus sang penjaga wanita dan empat rekannya yang sudah sekarat. Wanita itu tak bisa bergerak. Terlalu lambat menyadari…

Tak seorang pun tahu, mantra apa yang telah ia ucapkan.

Dalam sekejap, tubuh mereka semua... melebur menjadi debu hitam, tersebar oleh angin.

Sebuah relik jatuh dari pusaran debu terakhir—seolah enggan hilang bersama mereka.

Bersinar redup, relik itu terombang-ambing di udara sebelum perlahan melayang turun, mendarat lembut di celah bebatuan suci, dan terkubur oleh waktu.

Tak ada yang menyaksikan.

Tak ada yang tahu bahwa sepotong cahaya terakhir masih tersisa.

Menunggu...

Hngga dunia kembali memanggilnya.

Karena bayangan itu—

belum benar-benar sirna.

Mereka hanya bersembunyi.

Bernafas dalam gelap, menanti celah untuk bangkit kembali.


********************************


Vileria, langit pertama Aerithra—

tempat paling damai yang pernah ada.

Di sinilah bayangan jarang berani muncul.

Berbeda dengan lapisan-lapisan langit di atasnya yang kerap diselimuti kegelapan,

Vileria menyimpan ketenangan yang unik, seolah memang diciptakan hanya untuk mengistirahatkan dunia.

Anginnya lembut, rumputnya tenang, dan langitnya… tidak sepenuhnya terang, tapi cukup untuk membuat seseorang percaya bahwa cahaya masih mungkin bertahan.

Di tengah rerumputan yang luas, ditemani gemerlap bintang di langit malam, Nara terbaring tenang—napasnya pelan, seolah menyatu dengan keheningan.

Rambut putihnya yang panjang terurai bebas, membingkai lehernya yang dihiasi seuntai kalung relik berwarna perak kusam, satu-satunya peninggalan dari ibu yang tak pernah sempat ia kenal.

Benda kecil itu tampak sederhana, tapi bagi Nara, keberadaannya lebih dari sekadar warisan—ia merasa kalung itu menjaga sesuatu yang bahkan ia sendiri belum mengerti.

Tatapannya selalu dalam, seolah tiap hal yang ia lihat sedang ia baca perlahan—bukan hanya dipandang, tapi diresapi.

Nara sangat mencintai langit malam. Ia tak pernah bosan menatapnya. Ada sesuatu yang menyejukkan dalam kelamnya, seolah langit itu mengerti kekosongan yang bersemayam dalam dirinya. Ia bisa terjaga sepanjang malam hanya untuk memandangi bintang-bintang yang ia tahu hanyalah ilusi—tercipta dari sisa kekuatan cahaya yang berkerumun di ujung tiap-tiap langit.

Sejenak ia penasaran, jika ia menutup matanya di tengah hamparan rumput yang luas malam itu—hal yang baru pertama kali akan ia coba—apakah yang akan terjadi setelahnya?

Nara pun memejamkan matanya perlahan, mulai larut dalam bisikan angin malam—hingga sebuah suara pelan-pelan menyusup ke telinganya… 

"Kemarilah."

Tubuhnya bergidik ketika suara itu berhasil mencapai indera pendengarannya. Namun, ia masih penasaran. Siapa yang memanggilnya itu? Ia melihat ke sekelilingnya. Tak ada siapa pun. Ia kembali memejamkan mata—dan suara itu terdengar lagi… 

"Aku di sini. Di langit atas. Ingatlah, Aelthira."

Setelah mendengarnya lagi, ia merasa bahwa suara itu bukanlah sebuah ilusi. Itu nyata. Ada sesuatu yang memanggilnya dari atas sana. Tapi… mengapa Aelthira? Nama yang tampak tidak asing baginya. Ia pun mulai mengamati lagi seluk-beluk langit yang sedang terpapar kegelapan di atasnya.

Ia membayangkan, dari mana asal suara itu. Dan sekelebat bayangan muncul dari balik salah satu bintang yang paling terang. Tubuhnya bergetar, seperti tersengat listrik. Ia tidak sedang berhalusinasi. Ia benar-benar merasakan energi kegelapan. Dengan langkah yang kacau ia berlari menuju rumahnya dan bersembunyi di balik selimut.

Ketakutan mencengkeramnya. Ia menghela napas, mencoba meredakan debar di dadanya. Telapak tangannya mendadak terasa panas—bukan sekadar panas biasa, tetapi seperti ada sesuatu yang bergerak dari dalam

Ia menatap—kaget, nyaris tanpa napas. Guratan perlahan muncul, membentuk simbol terlarang: simbol langit kelima, Veilthorne.

Simbol itu tabu. Simbol petaka. Dilarang untuk dibahas, apalagi diperlihatkan.

Nara panik. Ia buru-buru mencari sesuatu untuk menutupinya, lalu meraih kain pengikat rambut dan melilitkannya kuat-kuat di telapak tangan. Tangannya yang lain berusaha mengencangkannya, sampai denyut nadinya terasa berdetak liar di balik lilitan itu.

Tubuhnya kembali gemetar. Ia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.

Apakah ia cukup kuat untuk menghadapinya?

Atau ia hanya akan diam, pasrah pada penguasa bayangan?

Di dadanya, kalung relik itu ikut bereaksi—bergetar halus, seolah ikut merasakan gelombang kekuatan yang bangkit di dalam dirinya.

Benda itu menghangat, berdenyut lembut seperti detak jantung kedua, tapi tak memberinya jawaban—hanya diam, menyimpan sesuatu yang belum siap dilepaskan.

Malam itu terasa sangat panjang. Ia baru tertidur setelah semalaman bergulat dengan ketakutannya sendiri. Tapi bahkan dalam tidur, ia tidak tenang.

Sesuatu terus bergerak di sudut-sudut ruangannya. Seolah memberi isyarat, menariknya untuk datang.

Tapi Nara tak kunjung bangun, masih tenggelam dalam tidurnya. Meski indranya tahu—ada sesuatu yang menunggunya. Diam, mengintai, di sekelilingnya.


***********************************


Waktu bergerak pelan. Tak ada pagi yang benar-benar cerah di Aerithra. Cahaya samar menyelinap di antara celah bangunan tua tempat Nara tinggal—bukan dari matahari, tapi dari kilau lemah langit kelima yang muram.

Kegelapan tak pernah benar-benar pergi, hanya berubah wujud jadi bayangan yang lebih jinak.

Angin yang berembus dingin membawa aroma tanah basah dan kabut malam yang belum sepenuhnya surut. Burung-burung—makhluk kecil penghuni senyap, mulai bersuara lirih dari kejauhan—kicauan yang lebih mirip isyarat bahaya ketimbang sapaan pagi.

Lihat selengkapnya