AERITHRA: The Legend of the Last Light

Maylyns
Chapter #2

Bisikan dari Masa Lalu

Siang masih redup di langit pertama, Vileria. Kabut tipis menyertai hawa dingin mulai menyelimuti Desa Eurgin—tempat Nara dan Arlene dibesarkan. Langit kelabu menggantung rendah, seolah enggan mengizinkan cahaya masuk sepenuhnya. Desa itu tampak sepi, nyaris seperti dunia lain yang terjebak di antara mimpi dan kenyataan.

Dua gadis itu berjalan perlahan dari arah gerbang kayu desa menuju jalan utama yang sunyi. Semak belukar tumbuh liar di kanan-kiri jalan, dan akar-akar tua bergelantungan di udara, menambah kesan bahwa desa ini telah berdiri sejak lama—tua, tenang, namun tetap bernapas.

“Eurgin selalu terasa lebih dingin saat siang, ya?” gumam Nara pelan, memeluk tubuhnya sendiri.

Arlene melirik sekilas. “Dingin… dan terlalu sepi,” sahutnya, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya. “Seolah desa ini memang dibuat untuk menyimpan rahasia.”

Ia melangkah lebih dulu, seperti biasa, dan Nara mengikuti di belakangnya—tak pernah bisa menyamai kecepatan langkah itu. Tapi Arlene tak pernah benar-benar meninggalkannya. Selama Nara masih dalam jangkauan pandang, ia akan terus berjalan tanpa menoleh, hanya sesekali memperlambat langkah agar jarak mereka tak melebar terlalu jauh.

Tawa kecil sempat pecah di antara mereka, meski hanya sebentar. Arlene selalu punya cara untuk merasa gemas pada kepolosan Nara, yang sering kali bertingkah seperti anak kecil—meski pikirannya menyimpan kedalaman yang sulit ditebak. Namun sore itu terasa berbeda. Kabut mulai menebal, dan udara yang tadinya hanya dingin berubah menjadi berat. Sunyi terasa lebih panjang, nyaris menelan langkah kaki mereka.

“Kau bilang akan terjadi sesuatu, bukan?” tanya Nara dengan suara rendah, seolah takut membangunkan sesuatu dari balik kabut.

Arlene mengangguk pelan. “Aku sangat yakin. Tapi entah apa itu…”

“Kurasa… sebentar lagi.”

Langkah mereka terhenti. Bukan karena lelah, tapi karena sesuatu—entah apa—seolah menahan kaki mereka dari dalam tanah.

Dari balik kabut, perlahan muncul sebuah siluet. Tinggi. Diam. Samar. Terlalu tenang untuk hanya sekadar orang lewat.

“Siapa itu?!” seru Arlene tiba-tiba, nadanya tajam dan tegas. Ia berdiri tegak, tubuhnya bergerak sedikit ke depan, melindungi Nara yang berdiri nyaris tepat di belakangnya. “Hei! Keluarlah!”

Tak ada jawaban. Hening.

Tapi Nara… melihatnya.

Siluet itu berpindah. Terlalu cepat untuk mata biasa, tapi Nara menangkapnya—sebuah gerakan lincah, nyaris seperti bayangan yang menari di antara kabut.

Dan kemudian, Nara melihatnya.

Seorang pria berjubah gelap berdiri diam di balik tirai kabut. Tudungnya menutupi sebagian wajah, menyisakan hanya mata—gelap, dalam, dan sulit ditebak. Ia menatap lurus ke arah Nara, lalu tersenyum. Senyum tipis. Bukan menyeramkan… justru menyesakkan dada, seperti tekanan dari kenangan yang belum sempat terbentuk.

Lalu ia menghilang. Begitu saja, seolah diserap kembali oleh kabut yang menyembunyikan segalanya.

“Kau melihatnya?” Arlene menoleh cepat, nada suaranya tegang. Napasnya sedikit terputus.

“Ya…” sahut Nara perlahan, pandangannya masih terpaku pada tempat siluet itu berdiri tadi. “Tapi… dia tak berniat menyakiti.”

Arlene terdiam. Matanya menyipit tipis, seperti mencoba menembus kembali kabut yang sudah menelan sosok itu.

“Kau tahu siapa dia?” tanyanya hati-hati.

Nara menggeleng pelan. “Belum.”

Di dalam dirinya, bukan ketakutan yang tumbuh—melainkan sesuatu yang lebih dalam. Resonansi. Seolah ada jiwa yang telah lama memanggilnya… dan kini, untuk pertama kalinya, menjawab kembali.

Mereka mulai berbalik arah tanpa banyak bicara. Tapi sebelum melangkah lebih jauh, Arlene sempat menoleh sekali lagi. Tatapannya bukan sekadar waspada—ada keraguan yang menempel di dalam benaknya.

Terlalu cepat… terlalu tenang…

Dan mata itu... seperti pernah menatapnya sebelumnya.

Lihat selengkapnya