Aero school

Rain Dandelion
Chapter #5

ADA APA DENGAN AVELYN?

Disisi lain, Ave ternyata sedang berada di ruangan luas yang kosong, tanpa ada perabotan apapun. Ruangan itu adalah tempat latihan dance bagi para murid.

Ia sendirian, duduk menjeplak diatas lantai. Dengan gitar kesayangan di atas pangkuannya.

Ave mulai memetik senar gitarnya, menciptakan melodi tak beraturan namun tetap terdengar sangat indah. Setiap kali merasa harinya buruk, Ave hanya ingin semuanya baik-baik saja, seperti dulu, sebelum Mum dan Dad berpisah.

Seperti dulu ketika keluarganya masih utuh, agar ia bisa leluasa bercerita kejadian hari-harinya di sekolah kepada Mum, seperti anak perempuan pada umumnya.

Namun, realitanya Ave hanya bisa membuat nada. Ketika kerinduan itu datang, Ave hanya bisa menyalurkan emosi lewat alunan melodi yang diciptakannya. Tanpa nyanyian tertentu, hanya kadang gumaman bernada untuk menyeimbangkan melodi yang ia buat sendiri.

Karena mengeluh kepada Dad ataupun Denan, hanya akan menambah beban kesedihan mereka.

Petikan gitarnya terdengar pelan, indah, namun menyedihkan.

Setelahnya Ave terdiam, ia menatap kosong ke depan. Tangannya, perlahan tergerak mengeluarkan kalung liontin dari balik kerah baju.

Liontin itu bisa dibuka, dan foto keluarga kecil mereka muncul ketika Ave membukanya.

Menatapnya, Ave tersenyum manis. Ia merasa cukup tenang hanya karena melihat foto itu.

Liontin itu selalu ia pakai kemanapun, agar ketika ia ingin mengeluh tentang kehidupannya, ia dapat bersyukur karena pernah menikmati kebahagiaan bersama keluarga kecil yang utuh—meskipun itu dulu, telah berlalu lama sekali.

"Gue kira ada hantu sore-sore begini, ternyata adanya bidadari." Sebuah suara terdengar membuat Ave segera menutup liontin dan mendongak, mendapati Rovero telah berdiri didekatnya.

Dengan bertumpu tembok di belakangnya, Ave hendak bangkit pergi tanpa menggubris kehadiran Rovero yang sangat mengganggu—dan anehnya selalu muncul tiba-tiba di sekitarnya. Namun Rovero mendekat, dan menahan lengan Ave yang segera ditepis oleh perempuan itu.

"Duduk!" Perintahnya yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Ave.

Ayolah, siapa dia sampai memerintahnya dengan seenak jidat? Rovero beruntung, karena kakinya sedang sakit, jadi tak bisa menerima tendangan maut darinya.

Ave memutar bola mata malas. Karena Ave sudah malas mengeluarkan suara dan berdebat, akhirnya dia memilih menurut, kembali duduk dengan berdecak kesal.

Rovero berlutut di depannya, tidak untuk mengikat tali sepatunya lagi. Tapi ia justru melepaskan sepatu Ave dan menggantinya dengan sendal jepit pink yang entah ia dapatkan dari mana.

"Emang bakat lo itu musik doang ya, ketimbang urus diri lo sendiri," sindir Rovero yang tahu, Ave memaksa berjalan memakai sepatu yang jelas memberatkan dan menambah sakit di kakinya.

"Ya ..., daripada ngurusin hidup orang lain? Lebih gak berguna, kan?" Ave memutar bola matanya malas.

Rovero tertawa kecil. Perempuan ini, selalu pintar membalikkan perkataan orang lain.

"Lo gak tahu kan? Seheboh apa Denan cariin lo dari tadi. Setidaknya, kalo lo pengin menyendiri, kasih kabar. Denan juga punya perasaan yang pasti khawatir sama lo, lo hidup gak sendiri, Ave."

Ave terdiam, menatap iris kelabu di hadapannya.

Beginilah jadinya jika Ave sedang merindukan Mum. Ia hanya terfokus dengan rasa sedihnya, tanpa melibatkan Denan karena ia tak mau saudaranya itu terbebani dengan emosinya yang mudah berubah. Meskipun sebenarnya, justru membuat Denan menanggung rasa khawatirnya.

Tak ingin mengakui kesalahannya, Ave memalingkan wajah tanpa menjawab perkataan Rovero.

"Udah sore, mending lo pulang. Gue anter," ucap Rovero membuat Ave menoleh cepat.

"Gue? Dianterin lo? Nggak, Terima kasih." Ave menolak tanpa perlu berpikir.

"Kenapa? Tenang aja, gue cowok baik-baik, kok." Rovero tersenyum lebar, sedangkan Ave berdecih sinis.

"Ucapan lo yang meyakinkan ini, justru buat gue semakin nggak yakin." Rovero kembali tergelak.

Lihat selengkapnya