"Salah kunci, Amora .... " Ave menatap Amora dengan kesal, sedari tadi Amora terlihat tidak fokus dan selalu melenceng dari nada yang harus dihafal.
Amora justru cengengesan dan menunjuk sekat kaca yang memisahkan mereka dengan para cowok.
"Gue galfok liat Regan dari tadi, ngerusuh mulu. Tuh liat! Sekarang disuruh Vokal sama Denan, otw hancur dunia." Amora sibuk tertawa ngakak, mengabaikan raut wajah Ave yang mulai kesal.
Sekat kaca diantara mereka membuat suara dari ruang studio sedikit teredam tapi masih dapat terdengar dari tempat alat musik, jadi Ave dan Amora masih bisa latihan dengan tenang sembari menikmati suara dari para cowok.
Ave menatap Amora malas. Ia kadang terpikirkan, meskipun Amora dan Regan sering bertengkar seperti kucing dan tikus, nyatanya selama ini mereka selalu memperhatikan satu sama lain. Dan semakin kesini membuat Ave jadi yakin kalau Amora memendam perasaan lebih untuk Regan, dan Amora terlihat belum menyadarinya.
Sedangkan Jasmine yang niat awalnya ingin melihat Vanka berlatih band, justru terpana melihat begitu lengkapnya alat musik milik keluarga Aerosteen. Ruangan luas ini terlihat penuh dengan beragam alat musik yang ditata dengan rapi.
Jasmine berdecak kagum. Pantas saja Mr. Melvion memiliki sekolah khusus musik sebesar itu, semua anggota keluarganya saja mahir dalam memainkan beragam alat musik.
"Heh! Lo sentuh gitar gue, gue depak lo dari sini," cegah Ave ketika melihat Jasmine hendak menyentuh gitar kesayangannya, yang berada di atas rak khusus diantara jejeran gitar yang lain.
Jasmine menoleh dan memamerkan cengirannya.
"Kalau mau pegang-pegang yang lain aja, jangan milik gue, sama milik Denan." Ave menunjuk sebuah piano yang berada di pojok ruangan, piano itu terlihat berbeda dengan hiasan kelir emas di penutupnya. Piano kesayangan Denan.
Jasmine mengangguk kecil, ia beranjak duduk bersama Ave dan Amora.
"Kak Ave sayang banget ya, sama gitarnya?" Jasmine bertanya penasaran.
"Hm ..., itu gitar kesayangan Mum, dia juga nggak suka kalo ada orang lain yang nyentuh barang kesayangannya," jawab Ave sembari tersenyum menatap gitar kesayangannya.
"Coba deh lo sayang sama cowok gitu, bakal over protektif juga nggak ya," ucap Amora tertawa sendiri membayangkan jika ucapannya menjadi kenyataan.
"Ngaco." Ave menatap Amora malas.
"Eh? Kak Ave nggak pernah punya cowok dari dulu?" Jasmine kembali menatap Ave dengan penasaran. Dulu pertama kali mereka saling kenal ketika Jasmine kelas 10 SMA sedangkan Ave dan Amora kelas 12, sejak saat itu memang Jasmine tak pernah melihat Ave berinteraksi dengan lawan jenis selain dengan Vanka dan Regan. Hal itu yang membuat Jasmine selalu heran, bagaimana mungkin perempuan secantik Avelyn yang standar Aprodhite ini tidak pernah menjalin hubungan dengan lelaki mana pun? Sangat susah dipercaya. Tapi disini yang menjadi masalahnya, bukan karena tidak ada yang tertarik dengan Aveātidak mungkin jika mengingat wajah cantiknya, tapi memang karena Ave yang tidak ingin membuka hati untuk siapapun.
"Nggak percaya kan, lo? Tuh Ave, kalah lo sama bocil," Amora menoyor pundak Ave dengan tatapan mengejek.
"Mor, minimal ngaca, tuh ada kaca gede, biar omongan lo lebih berguna dikit." Ave memutar bola matanya malas. Dasar Amora, apakah dia lupa jika dirinya juga sama? Amora juga belum memiliki pasangan sampai sekarang.
Niat mereka berdua untuk berlatih pun kini melenceng menjadi ajang ghibah sembari menonton para cowok latihan. Suara para cowok itu cukup terdengar jelas dari posisi mereka.
"Ver, gantian lo yang nyanyi." Denan terlihat menunjuk Rovero.
"Ogah." Rovero tetap duduk anteng memegang stik drumnya.
"Lo deh, Van. Serak nih suara gue." Denan berganti menoleh ke arah Vanka dan Vanka ikut menggeleng, tetap stay dengan gitar di pangkuannya.
"Elah, sini gue aja, deh!" Regan menimpali dengan menyengir tanpa dosa.
"Wooo! Sadar diri Re! Suara lo kan perpaduan antara nervous sama nada seriosa, merdunya kebangetan!" Soal Regan, Amora selalu gatel jika tidak ikut menyahut untuk membullynya. Teriakannya menginterupsi keributan para cowok, mereka ikut tertawa membenarkan. Di antara mereka, memang hanya Regan yang memiliki suara yang pas-pasan.
"Apa lo, cil? Ini gue niat bantu loh, daripada nggak ada yang gantiin Denan, kan." Regan tertawa kecil, tidak tersinggung karena sudah biasa.
"Mending nggak usah deh," sahut Denan ikut nyengir, awal tadi saja dia memang iseng menyuruh Regan bernyanyi.
"Break dulu, gue pesenin makanan!" Ave berseru. Ia beranjak untuk mengambil handphonenya yang tertinggal di kamar.
"Asek! Kanjeng ratu lagi berubah jadi malaikat nih!" Regan bersorak antusias.
"Yang banyak Ave! Sultan nggak boleh pelit!" Rovero ikut meramaikan, Ave menanggapi dengan mengacungkan jempolnya. Mood Ave lumayan membaik, jadi ia mau berbaik hati dengan teman-temannya. Ave memilih memesan beberapa boks pizza dan steak kesukaannya untuk di makan bersama.
Setidaknya, Ave tidak berteman dengan sepi ketika ada mereka yang meramaikan rumahnya. Dan Ave baru menyadarinya, ternyata menyenangkan juga memiliki teman seperti mereka.
***
Pukul sebelas malam.
Ave mendatangi kamar Denan dengan piama polkadot dan kupluk beruang yang bertengger lucu di kepalanya. Tangan kirinya memegang handphone dan tangan kanannya membawa susu kotak blueberry yang sedang ia minum dengan wajah setengah mengantuk. Denan yang masih berkutat dengan laptopnya menoleh mendapati kedatangan sang adik.
"Kenapa lo? Nggak bisa tidur?" Denan bertanya sembari menahan senyum, ia selalu tergelak jika melihat pakaian tidur Ave yang sangat bertolak belakang dengan pakaian yang digunakannya untuk keluar. Pakaian tidurnya terlalu imut untuk kepribadian Ave yang tidak ada imutnya sama sekali.
Ave tak menjawab dan beranjak duduk di atas kasur Denan. Matanya menatap sayu ke arah Denan yang duduk di kursi belajarnya.